Cerita Rakyat dari Loka: Menjaga Tradisi, Menyemai Pengetahuan

Serambi Baca Tau Macca: Cahaya di Tengah Desa

Di Dusun Barabatua, Desa Bontomarannu, Kecamatan Uluere, di tengah hamparan pegunungan dan hawa sejuk pedesaan, berdiri sebuah ruang kecil bernama Serambi Baca Tau Macca. Bukan bangunan megah, hanya sebuah teras rumah yang disulap menjadi tempat bertumbuhnya harapan: tempat di mana anak-anak dan warga desa bisa membaca, belajar, dan bermimpi.

Serambi ini berdiri pada tahun 2011, tak lama setelah saya dan istri, Anty, membangun rumah tangga. Kami percaya, membangun keluarga bukan hanya tentang mendidik anak-anak kami sendiri, tapi juga tentang berbagi ilmu dan kesempatan kepada generasi desa kami.

Awalnya, tujuan kami sederhana: mengajarkan baca tulis Al-Qur’an kepada anak-anak di sekitar rumah. Dari sanalah semuanya bermula—dengan lantunan ayat-ayat suci, kami menanamkan kecintaan pada ilmu.

Tradisi Mengaji dengan Metode Lepu-Lepu

Metode lepu-lepu, yang berarti pelan-pelan atau perlahan-lahan, merupakan pendekatan lokal dalam mengaji yang menekankan kesabaran dan pengulangan. Anak-anak duduk bersila satu per satu di depan guru, membaca ayat demi ayat dengan bimbingan langsung. Tidak ada tekanan untuk cepat tamat. Jika salah, dibimbing kembali.

Pengenalan dimulai dari satu huruf, lalu dilanjutkan dengan huruf kedua, ketiga, dan seterusnya sampai pada satu ayat dengan menggunakan instrumen khusus atau irama lagu yang mudah diingat. Ini membuat anak lebih menikmati proses belajar dan lebih cepat menghafal karena nuansa musikal yang lembut dan akrab.

Sementara itu, metode Iqra’ cenderung menekankan pada cara mengucapkan huruf dan mengatur nada dengan benar secara teknis dan sistematis, dengan target pencapaian yang lebih terukur.

Yang kami jaga dari lepu-lepu bukan hanya cara membaca, tetapi sikap belajar. Anak-anak diajarkan untuk sabar, tekun, dan tidak terburu-buru. Ada keintiman antara guru dan murid yang memungkinkan tumbuhnya kedekatan emosional dan rasa hormat terhadap proses menuntut ilmu.

Metode lepu-lepu bukan hanya mengajarkan bacaan, tapi juga menanamkan ketekunan, keikhlasan, dan rasa hormat. Walaupun kini metode Iqra’ lebih umum digunakan karena lebih sistematis dan cepat, kami percaya bahwa ruh dari metode lepo-lepo tetap penting: belajar itu bukan semata mengejar cepat, melainkan memahami makna.

Appatamma dan Ammaleanggang: Tradisi Adab dalam Belajar

Saat anak-anak menamatkan Al-Qur’an, digelarlah appatamma, sebuah momen perayaan spiritual yang juga menjadi kebanggaan keluarga dan masyarakat di kampung. Setelah itu, berlangsung ammaleanggang, yaitu tradisi menghaturkan penghormatan kepada guru mengaji.

Secara teknis, keluarga santri akan membawa berbagai perlengkapan ke rumah guru. Bukan sebagai bayaran, tetapi sebagai lambang rasa terima kasih dan penghargaan. Tradisi ini menanamkan adab: bahwa ilmu tak sekadar dipelajari, tapi juga disertai dengan hormat kepada yang mengajarkannya.

Dalam tradisi masyarakat kami, perjalanan belajar Al-Qur’an mencapai puncaknya saat appatamma—khatam Al-Qur’an. Anak-anak yang telah menyelesaikan bacaannya akan memperdengarkan bacaan di hadapan keluarga, tetangga, dan masyarakat. Ini adalah momen sakral, menandai kedewasaan rohani seorang anak.

Setelah appatamma, keluarga santri mengadakan ammaleanggang, yaitu tradisi “mengembalikan” atau memberikan penghormatan kepada guru mengaji. Dalam acara ini, keluarga membawa perlengkapan seperti pakaian (baju, celana, kopiah), bantal, karpet, sarung, serta makanan tradisional seperti baje’, onde-onde, dan cucuruk ke rumah sang guru.

Ammaleanggang mengajarkan kepada kami bahwa ilmu bukan sekadar benda yang diperoleh, melainkan amanah yang harus dibalas dengan rasa hormat dan ucapan terima kasih. Barang-barang yang diberikan dalam ammaleanggang bukan untuk membalas jasa guru—karena ilmu tidak bisa dibeli—melainkan simbol ketulusan dan penghormatan kepada orang yang telah membimbing jalan hidup seorang anak.

Serambi Baca: Menyatukan Tradisi dan Kemajuan

Seiring berjalannya waktu, kami menyadari kebutuhan masyarakat akan bacaan dan pengetahuan yang lebih luas. Pada tahun 2016–2017, dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, Serambi Baca Tau Macca berkembang menjadi perpustakaan kecil. Kami mulai mengumpulkan buku-buku pengetahuan umum, novel, cerita rakyat, hingga literatur anak.

Kami mengadakan berbagai kegiatan seperti Kemah Buku Kebangsaan (KBK), pertunjukan seni, dan diskusi penulis lokal. Tujuannya sederhana: menjaga agar api cinta terhadap pengetahuan tidak padam, sekaligus menjaga agar akar budaya tetap kuat menjejak.

Serambi Baca Tau Macca bukan sekadar tempat membaca, melainkan tempat menumbuhkan karakter: karakter yang menghargai ilmu, menjaga adab, dan mencintai tradisi.

Menyulam Harapan di Tengah Tantangan

Mengelola Serambi Baca tentu tidak selalu mudah. Ada keterbatasan dana, ada keterbatasan waktu. Namun, setiap kali kami melihat anak-anak duduk bersila, membuka buku, dan tersenyum menemukan dunia baru di antara halaman-halaman itu, semua lelah terbayar lunas.

Kami percaya bahwa pendidikan sejati bukan hanya tentang transfer informasi, melainkan tentang membentuk pribadi yang tahu berterima kasih, sabar dalam belajar, dan teguh menjaga jati diri.

Dalam langkah-langkah kecil kami di Serambi Baca Tau Macca, kami ingin terus menjaga warisan luhur kampung kami: bahwa ilmu dan adab harus berjalan beriringan; bahwa tradisi dan kemajuan bisa saling menguatkan, bukan saling meniadakan.

Semoga dari serambi sederhana ini, lahir generasi yang gagah di dunia modern, namun tetap bersahaja dalam akarnya; yang tinggi ilmunya, namun dalam budinya.

Dari lepu-lepu kami belajar sabar, dari ammaleanggang kami belajar menghormati, dari Serambi Baca Tau Macca kami menyalakan harapan.”

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 203-206.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *