Attabe’: Etika, Mistisisme, dan Kearifan dari Tanah Kampala

Menundukkan kepala dan bertutur dengan bahasa yang lembut, bukanlah tanda kelemahan diri. Ia adalah tanda yang menggambarkan kualitas dari seseorang. Di balik sikap ini, tersimpan kearifan lokal masyarakat Desa Kampala yang telah ada sejak lama. Masyarakat menyebutnya sebagai attabe’.

Attabe’ bukan sekadar ungkapan kosong tanpa makna, melainkan sesuatu yang dianggap berharga, karena mengandung nilai-nilai kesopanan, seperti saling memanusiakan, menghargai, dan saling mengingatkan satu sama lain. Attabe’ merujuk pada ungkapan “permisi” atau “meminta izin”, yang ditujukan kepada siapa saja tanpa memandang usia. Kebiasaan ini hadir, sebagai penuntun dalam membina hubungan baik dalam bermasyarakat.

Dalam penerapannya, Attabe’ digunakan sebagai permohonan izin atau permohonan maaf, dilakukan sebelum meminta bantuan atau sebelum melakukan suatu kegiatan. Selain itu, attabe’ juga kerap kali digunakan sebagai ungkapan rasa hormat, ketika berada di tempat-tempat keramat atau tempat yang disakralkan.

Tabe’, barak akkullea ki palalo,” (permisi, apakah saya bisa diberi jalan untuk lewat), dilakukan dengan nada lembut, tersenyum ramah, menunduk setengah badan, diikuti dengan gerakan tangan menjulur ke bawah. Hal tersebut bermakna, bahwa perilaku attabe’ mengandung rasa hormat dalam setiap langkah kakinya. Ungkapan di atas hanyalah salah satu contoh dari banyaknya ungkapan tabe’ (tabik) yang bisa digunakan saat berinteraksi dengan orang lain.

Attabe’ diterapkan dalam bentuk ucapan dan gerakan, bermakna bahwa sikap dalam menghormati orang lain selaras antara ucapan dan perbuatan. Tidak hanya itu, attabe’ juga diterapkan sebagai ungkapan awal sebelum mengutarakan maksud tertentu untuk meminta bantuan kepada orang lain.

Tabe’ telah menjadi ungkapan atau ucapan yang begitu hangat. Komunikasi dengan menggunakan kata tabe’ akan membuat setiap kalimat yang diucapkan terasa lebih halus dan sopan. Berharap setiap baitnya mengantarkan kita pada kehidupan yang makin harmonis.

Perilaku attabe’ tidak hanya ditujukan kepada manusia, tetapi juga kepada alam semesta atau tempat-tempat keramat yang memiliki kekuatan gaib.

Attabe’ merupakan sikap menghormati dan menghargai sesuatu yang bukan manusia. Artinya, attabe’ juga diterapkan kepada makhluk yang tidak terlihat oleh mata. Percaya tidak percaya, kekuatan mistis memang benar adanya. Di balik sebuah batu yang tidak bergerak, tersimpan energi yang tidak dapat dijangkau oleh pandangan mata. Kepercayaan masyarakat berangkat dari realitas yang dialami secara nyata, atau melalui cerita dari tau toata (orang tua) pada masa lampau. Meskipun kekuatan mistis tidak dapat dibuktikan secara empiris. Namun, kekuatan mistis masih memiliki ruang tersendiri di dalam hati masyarakat.

Sekilas tentang kepercayaan mistis dari sebuah batu yang jauh dari gemuruh kota. Batu ini terletak di Dusun Jambi, Desa Kampala, Kecamatan Eremerasa. Tepat setelah jembatan dan perbatasan antara Dusun Durian dan Dusun Jambi. Jika dari arah kota, batu ini berada di sebelah barat, berdampingan dengan pohon karoci. Masyarakat kerap menyebutnya sebagai Batu Lompoa, karena ukurannya yang besar, kurang lebih sekitar 3 meter.

Batu Lompoa adalah batu besar yang tiba-tiba ada setelah terjadinya bencana banjir bandang. Konon, batu ini memiliki pakkammi (penunggu), sehingga perlu dijaga dan dihormati keberadaannya. Mitos tentang Batu Lompoa bermula saat dilakukannya rehabilitasi jalan setelah banjir bandang. Kala itu, upaya para pekerja dalam memecahkan batu ini menemui berbagai kendala, sehingga, Batu Lompoa tidak dapat dipecahkan secara keseluruhan.

Anehnya, beberapa hari kemudian, sepulang dari bekerja, ketiga pekerja ini mendapatkan musibah. Dua orang pekerja dikabarkan kecelakaan dan meninggal dunia, satu orang lainnya mendapatkan perawatan di rumah sakit. Berangkat dari kejadian inilah, kepercayaan terhadap Batu Lompoa mulai berkembang. Masyarakat setempat mulai menyadari bahwa, batu tersebut memiliki kekuatan mistis yang dapat memberikan malapetaka kepada siapa pun yang berani mengganggunya.

Menurut cerita masyarakat, seseorang juga dapat terkena kanyaranggang (teguran) dari penunggu Batu Lompoa. Teguran ini diartikan sebagai bentuk peringatan, bahwa seseorang telah melakukan perbuatan yang kurang menyenangkan. Teguran ini bisa saja berupa mimpi, tiba-tiba sakit, kesurupan, atau kejadian aneh lainnya yang mengganggu kehidupan sehari-hari.

Cerita tentang Batu Lompoa memberikan penjelasan tentang kejadian di luar nalar manusia pada masa lampau. Cerita tersebut digunakan sebagai media untuk mengajarkan sopan santun kepada siapa pun, bahkan kepada benda mati sekalipun. Dapat dipahami bahwa makhluk gaib yang mendiami batu tersebut, memiliki keinginan atau kehendak yang harus dipertimbangkan oleh manusia, karena dapat membawa pengaruh baik atau buruk.

Keyakinan terhadap kekuatan gaib pada batu ini, bisa diintegrasikan dengan budaya attabe’. Penerapan budaya attabe’ mungkin terlihat mudah dan sepele. Namun, budaya ini memiliki peranan penting dalam membentuk pribadi yang beradab, sekaligus menjaga diri dari bahaya kanyarangngang.

Sejalan dengan itu, untuk menghindari kanyarangngang, itulah alasan mengapa tau toata selalu berpesan untuk attabe’, tidak lain sebagai wujud dari pengakuan dan penghormatan pada Batu Lompoa. Bentuk attabe’ dapat diterapkan dengan tidak mengganggu atau merusak Batu Lompoa, tidak sembarangan dalam menegur sesuatu, tidak kencing di sembarang tempat, tidak meludah di sembarang tempat, bersikap sopan santun, mengucapkan salam, atau membunyikan klakson bagi pengguna kendaraan.

Melalui budaya ini, masyarakat dapat membangun relasi yang harmonis antara manusia dan lingkungan sekitar, termasuk pula pada makhluk gaib. Attabe’ diwariskan sebagai praktik hidup yang membentuk karakter dan cara pandang masyarakat terhadap dunia, baik yang tampak maupun yang tidak tampak.

Terakhir, dengan tidak saling mengganggu, kehidupan akan berjalan dengan tenang dan damai. Attabe’ telah menyatukan etika sosial, spiritual, dan budaya menjadi satu kesatuan yang utuh. Mari menjadikan attabe’ sebagai bagian dari identitas diri dan memaknai keberadaan hal-hal gaib sebagai sesuatu yang tidak mengancam.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 58-61.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *