Tradisi penyucian menuju gerbang pernikahan, dalam budaya Bantaeng mempunyai ciri khas tersendiri, yang membedakan dengan suku lain. Tradisi penyucian yang masih dilestarikan ini disebut malam A’burangga, karena tradisi ini dilaksanakan pada malam hari sebelum akad nikah, atau beberapa hari sebelumnya. Tradisi A’burangga ini merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian upacara pernikahan, dilaksanakan sebagai bentuk penyucian diri bagi calon pengantin, baik secara lahir maupun batin, sebelum melangkah ke kehidupan rumah tangga.
Merujuk pada Hajra Husain, dalam Alliri: Journal of Anthro[ology, Volume 5 (2) Desember 2023, bahwa tradisi A’burangga adalah salah satu upacara adat Bantaeng yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar atau burangga. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan Patamma Baca (khatam Al-Qur’an) dengan Barazanji. Daun burangga ini dikaitkan dengan kata A’burangga yang maknanya adalah kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan A’burangga mengandung makna akan kebersihan raga dan kesucian jiwa.
Kata ini tidak hanya merujuk pada pembersihan fisik, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan simbolik yang dalam. Bagi masyarakat Bantaeng, pernikahan bukanlah sekadar penyatuan dua insan, melainkan juga penyatuan dua keluarga, dua garis keturunan, dan dua kehidupan. Oleh karena itu, diperlukan pembersihan jiwa dan raga, agar calon pengantin dapat memasuki fase kehidupan baru dengan hati yang bersih, niat yang tulus, dan tekad yang kuat.
Malam A’burangga tidak hanya dipandang sebagai prosesi adat, tetapi juga sebagai momentum spiritual untuk memohon perlindungan, keberkahan, dan ketenangan bagi calon pengantin dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Ini adalah momen reflektif yang mengandung doa, restu, dan nasihat dari para orang tua, sesepuh, dan tokoh masyarakat.
Secara umum, malam A’burangga dilaksanakan satu atau dua hari sebelum prosesi ijab kabul. Lokasi pelaksanaan biasanya bertempat di rumah calon pengantin perempuan, meskipun dalam beberapa kasus juga dapat dilakukan di rumah calon pengantin laki-laki.
Ruangan tempat berlangsungnya acara akan dihias dengan kain sarung sutra, bunga-bunga harum, dan atribut adat lainnya. Nuansa sakral sangat terasa, diperkuat dengan aroma air bunga yang disiapkan untuk prosesi utama. Suasana hening dan khidmat menyelimuti seluruh ruangan, mempertegas kesakralan momen tersebut.
Dalam prosesi A’burangga, ada rangkaian kegiatan yang harus dilakukan sesuai dengan urutan dan kebiasaan dari para tetua kita. Yang pertama adalah ritual siraman air bunga. Ritual ini dilaksanakan biasanya di pagi atau siang hari sebelum malam A’burangga. Siraman ini dilaksanakan dengan mencampurkan air dan bunga yang terdiri dari campuran melati, mawar, kenanga, cempaka, pandan, dan bunga lokal lainnya, lalu disiramkan ke tubuh calon pengantin. Penyiraman ini dilakukan oleh orang-orang yang dianggap menjadi panutan, seperti orang tua yang rumah tangganya harmonis dan tokoh yang dihormati. Siraman dilakukan dengan penuh kelembutan, biasanya dimulai dari kepala, tangan, dan kaki sebagai simbol penyucian dari segala hal negatif.
Bagian kedua dari prosesi A’burangga itu sendiri. Saat prosesi ini dilakukan, dimulai dengan pembukaan dan pembacaan doa. Di beberaapa tempat, kegiatan pembacaan doa ini diisi juga dengan pembacaan Barazanji atau pembacaan syair dan selawat mengenang perjuangan Rasulullah Muhammad saw. Pembacaan doa atau Barazanji ini dilaksanakan oleh tokoh agama atau sesepuh yang dituakan. Doa dan selawat ini bertujuan untuk memohon keberkahan, keselamatan, dan kelancaran dalam pernikahan.
Rangkaian acara ketiga adalah pemberian wejangan dan petuah. Setelah doa dilantunkan, para tetua adat dan orang tua kemudian bergantian memberikan petuah kehidupan rumah tangga kepada calon pengantin. Petuah tersebut mencakup berbagai nilai, seperti kesabaran, kejujuran, saling menghormati, menjaga rahasia rumah tangga, dan pentingnya keikhlasan dalam menjalani peran sebagai istri atau suami.
Setelah pemberian wejangan pada calon pengantin selesai, pihak yang akan mengadakan pernikahan lalu melanjutkan dengan memberikan penghormatan kepada leluhur dengan melantunkan doa bersama, sebagai bentuk penghormatan kepada asal-usul dan silsilah keluarga mereka. Hal ini mencerminkan nilai-nilai pappasang (nasihat leluhur) yang menjadi bagian penting dalam struktur sosial masyarakat Bantaeng.
Setelah semua prosesi selesai, seluruh tamu dan keluarga besar berkumpul untuk menikmati jamuan makanan tradisional. Hidangan seperti barongko, burasa, pallu butung, dan songkolo, disajikan sebagai bentuk syukur dan kebersamaan. Momen ini menjadi ajang silaturahmi antara dua keluarga besar, mempererat hubungan sebelum prosesi pernikahan.
Makna sosial dan budaya A’burangga mengandung nilai-nilai sosial yang sangat kuat, seperti kebersamaan dan gotong royong, yang bisa dilihat dari persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan secara kolektif oleh keluarga dan masyarakat sekitar. Penghormatan terhadap orangtua dan sesepuh bisa kita lihat dari petuah dan restu orang tua, ini yang menjadi bagian penting dari prosesi, menandakan bahwa pernikahan harus dilandasi restu dan doa.
A’burangga juga mengajarkan tentang pendidikan karakter, di mana calon pengantin dibekali dengan nilai-nilai moral dan spiritual, sebagai bekal menjalani rumah tangga yang penuh tantangan. Perlu kita pahami, bahwa adat istiadat di malam A’burangga bukanlah sekadar ritual menjelang pernikahan. Ia adalah warisan budaya yang penuh makna, menyatukan unsur religius, adat, sosial, dan emosional dalam satu peristiwa sakral. Dalam tradisi ini, masyarakat Bantaeng menunjukkan betapa pentingnya sebuah pernikahan dipersiapkan dengan hati yang bersih, restu orang tua, dan penghormatan terhadap adat.
Di tengah arus modernisasi, A’burangga tetap relevan dan terus dipertahankan. Ia bukan hanya memperindah proses pernikahan, tetapi juga menjadi pengingat, bahwa setiap langkah menuju kehidupan baru harus dimulai dengan kesadaran, ketulusan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur.
Catatan: Tulisan ini sudah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 193-196.

Lahir di Bantaeng, 29 Desember 1991. Sebagai honorer dan seorang content creator.
Leave a Reply