Menolak bala, apakah itu mungkin? Itulah tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat Bonto Lonrong, yang berusaha menolak bala dengan tradisi Songkobala. Songkobala berakar dari bahasa Melayu yaitu songko yang berarti menolak dan bala yang artinya musibah. Sehingga dapat diartikan bahwa Songkobala ini adalah tradisi yang bertujuan agar terhindar dari malapetaka, seperti kejadian buruk, nasib tidak baik, dan semua hal negatif.
Tradisi Songkobala biasa dilaksanakan pada malam Jumat setelah waktu magrib, dilaksanakan di masjid Desa Lonrong. Tradisi Songkobala dilakukan satu, tiga, atau empat kali setiap malam Jumat di bulan Muharam. Ritual ini biasanya sudah dimulai sejak masyarakat menyiapkan bahan makanan yang memiliki nilai filosofisnya sendiri, lalu memasangnya pada pola dan format yang juga dipercaya memiliki nilai tersendiri, dan ditutup dengan aktivitas doa dan selawat bersama di dalam masjid, sembari membakar kemenyan dalam wadah berbentuk mangkuk yang disebut paddupa. Rangkaian kegiatan inilah yang diyakini mampu menghalau bala, musibah, atau malapetaka.
Secara detail, saat pelaksanaan Songkobala, masyarakat secara swadaya akan membawa beragam makananan khas dari rumah mereka, untuk dihidangkan di dalam masjid sebagai salah satu bagian penting dari ritual Songkobala. Seperti yang telah disebutkan di atas, semua makanan khas ini tidak asal dibuat dan dihidangkan saja. Ada nilai filosofis dan kearifan yang terkandung di dalam setiap bahan dan proses pembuatannya. Seperti ka’do massingkulu, yang memiliki arti massingkulu atau menyikut. Ka’do massingkulu ini dipercaya akan menyikut segala bencana atau bala yang akan datang. Makanan yang lain seperti umba’-umba’ memiliki arti sebagai simbol kebahagiaan, loka labbu (pisang ambon) sebagai simbol panjang umur, waje sebagai simbol kebaikan, apang sebagai simbol kehidupan yang tentram dan aman tanpa gangguan, dan kue lapis yang bermakna sebagai rezeki yang berlapis-lapis.
Simbolisasi makanan dalam Songkobala tidak berhenti di hidangannya saja. Terkait wadah dan cara penyajian makanan pun harus diatur sedemikian rupa, agar tetap mematuhi nilai-nilai dan ketetapan tradisi yang sudah ada. Salah satunya adalah makanan yang akan dihidangkan harus, diletakkan di wadah yang besar berbentuk bulat yang terbuat dari bahan besi, yang oleh masyarakat desa disebut kappara. Berbagai sajian hidangan ini hendaknya disusun dengan rapi, lalu sudah siap dihidangkan di masjid sebelum magrib.
Setelah semua makanan-makanan khas telah dihidangkan, dalam pengaturan yang sedemikian rupa, dan semua masyarakat telah hadir dan berkumpul di dalam masjid, maka dimulailah acara inti dari tradisi Songkobala. Acara dimulai dengan membakar kemenyan dalam mangkok paduppa, diiringi dengan serangkaian ritual adat dan keagamaan, seperti a’barazanji (membaca kisah hidup Nabi Muhammad saw.) Setelah barazanji, kegiatan dilanjutkan dengan membaca doa, dipimpin oleh imam atau orang yang dituakan untuk memohon keselamatan kepada Allah Swt., agar terhindar dari berbagai musibah, kemudian ditutup dengan acara makan bersama, yang menyimbolkan kerukunan dan kebersamaan.
Tradisi Songkobala ini memiliki arti penting dalam perjalanan hidup seseorang, di mana ia tetap diarahkan bergantung secara spiritual pada Sang Pencipta, agar diberi keselamatan. Secara eksplisit, tradisi Songkobala ini meskipun kadang ditujukan sebagai permohonan keselamatan orang per orang atau keluarga, namun di sisi lain, tradisi ini juga menunjukkan kebersamaan masyarakat yang guyub dan saling terikat untuk melindungi satu sama lain, dengan bekerjasama melaksanakan Songkobala ini.
Tradisi yang sudah dilaksanakan secara turun temurun ini, memang menunjukkan sebuah nilai kebersamaan dan gotong royong yang sudah tertanam kuat di masyarakat Lonrong, dibalut oleh sikap hormat dan bangga terhadap tradisi leluhur, yang menurut mereka patut untuk dilestarikan. Songkabala ini ibarat magnet yang menyatukan masyarakat Lonrong dalam bingkai budaya, gotong royong, dan sikap saling mengasihi sesama.
Saya secara pribadi, lebih menitikberatkan tradisi ini bukan pada sisi mitos maupun adat tradisi, melainkan lebih kepada nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya. Nilai dalam hal ini, tidak memiliki kaitan dengan angka atau harga. Nilai dalam tradisi ini ialah sebuah sikap pendirian atau cara hidup yang dijadikan landasan hidup oleh seseorang, kelompok, atau bangsa. Keyakinan akan nilai sebuah hal, lambat laun menjadi dasar dalam melahirkan sebuah aktivitas budaya.
Pelaksanaan tradisi Songkobala ini, mulai dari tahap persiapan hingga tahap pelaksanaan, betul-betul mencerminkan nilai spiritual, budaya, dan bermasyarakat yang berpadu menjadi sebuah aktivitas bersama. Ini semua menunjukkan sebuah pesan penting, bahwa pada dasarnya seseorang tidak pernah bisa mengusahakan keselamatan diri bila hanya mengandalkan kemampuannya sendiri. Untuk mewujudkan keamanan dan keselamatan, dibutuhkan kerja kolektif masyarakat yang dibalut dalam keyakinan spiritual.
Secara sederhana, kita bisa mengatakan bahwa keamanan dan keselamatan adalah hasil dari gotong royong, kebersamaan, dan keyakinan pada Tuhan. Sendiri berarti lemah, dan bersama berarti kuat. Begitulah makna yang tersimpan di balik tradisi Songkobala ini.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 171-173.

Lahir di Ujung Pandang, 29 Agustus 1973. Seorang guru, dan kepala perpustakaan di Pondok Pesantren dan Madrasah Darul Ilmi Al-Islamy Dongkokang.
Leave a Reply