Saat Ma’baca Tergerus Zaman di Bantaeng: Siapa Bertanggung Jawab?

Sejak tahun 2005, saya hadir di Bantaeng. Saat itu, saya masih seorang pengantin baru yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah Bantaeng. Saya masuk dalam keluarga suami yang sangat kental dengan adat istiadatnya. Ketika baru tiba, saya langsung disuguhi pisang, ada juga songkolo (atau dalam bahasa Bugis disebut sokko), dan diberi dupa. Pada saat itu, saya tidak memahami apa yang sedang terjadi, namun saya taat dan mengikuti alur yang ada.

Bukan itu saja. Setiap malam Senin dan Jumat, mertua saya selalu melakukan ritual tersebut. Ternyata, bukan hanya mertua saya yang melakukannya, tetapi setiap kali saya bertamu ke keluarga suami, mereka juga melakukan ritual yang sama. Seiring waktu, rasa penasaran saya semakin memuncak. Ritual ini dilakukan setiap kali ada acara tertentu, bahkan menjelang puasa dan lebaran. Setiap membeli barang baru juga harus melakukan ritual ini.

Suatu hari, saya bertanya kepada suami saya, “Kenapa kita harus melakukan ini?” Suami saya menjawab, “Kita ikut saja yang ada di rumah ini.” Namun, rasa penasaran saya tidak hilang. Akhirnya, saya memberanikan diri untuk berbicara dengan mertua perempuan saya. Mertua laki-laki saya, yang dikenal sebagai tokoh masyarakat, sering dipanggil untuk melakukan Ma’baca dalam berbagai acara adat atau kegiatan lainnya. Bahkan, makanan yang disediakan tidak boleh disentuh sebelum dibaca doa.

Saat itu, mertua perempuan saya dengan lembut menjelaskan, bahwa ritual tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada para leluhur. Menurutnya, para leluhur memiliki peran penting dalam membentuk siapa kita hari ini, sehingga mereka pantas untuk dikenang dan didoakan. “Dengan mendoakan mereka,” katanya, “kita tidak hanya menunjukkan rasa hormat, tetapi juga menjaga jalinan batin antara generasi yang telah pergi dan yang masih hidup.”

Penjelasan sederhana namun penuh makna itu menjadi jendela pertama saya dalam memahami nilai-nilai kearifan lokal dalam keluarga suami—sebuah bentuk cinta dan penghargaan yang melampaui batas waktu.

Ma’baca: Sebuah Tradisi yang Tidak Bertentangan dengan Syariat Islam

Sebagai seorang Muslim, saya meyakini bahwa setiap amalan dan bentuk ibadah, haruslah berlandaskan pada tuntunan syariat Islam. Namun, seiring waktu dan dengan pemahaman yang lebih dalam, saya mulai melihat tradisi Ma’baca dalam cahaya yang berbeda—bukan sebagai bentuk penyimpangan, tetapi sebagai ekspresi kearifan lokal yang sarat makna spiritual.

Dalam pandangan saya, Ma’baca bukanlah ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan sebuah wujud penghormatan yang penuh adab terhadap para leluhur yang telah lebih dahulu berpulang.

Tradisi ini bukan untuk menduakan tauhid, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya mendoakan orang-orang yang telah berjasa, dalam mengantarkan kita hingga menjadi seperti hari ini. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini—sebuah cara yang tulus untuk mengenang, mendoakan, dan menunjukkan bakti kepada mereka yang telah meninggalkan dunia fana, dengan tetap menjaga nilai-nilai Islam sebagai poros utama.

Dalam Al-Qur’an, kita diajarkan untuk menjaga kemurnian tauhid dan tidak menduakan Allah dalam bentuk apa pun. Firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 163 menegaskan: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia.” Ayat ini menjadi pengingat yang kuat bahwa segala bentuk ibadah harus ditujukan hanya kepada Allah Swt, tanpa perantara dan tanpa penyekutuan.

Namun, dalam pemahaman saya, Ma’baca bukanlah bentuk ibadah dalam arti menyembah selain Allah, melainkan sebuah tradisi yang lebih bersifat kultural dan spiritual—sebagai ungkapan kasih sayang, serta doa bagi leluhur yang telah tiada. Tradisi ini tidak dimaksudkan untuk menandingi ataupun menggantikan ibadah kepada Allah, tetapi menjadi sarana silaturahmi batin antar generasi, serta pengingat akan keterhubungan kita dengan sejarah dan nilai-nilai yang diwariskan.

Selama praktiknya tidak melanggar prinsip tauhid dan tidak disertai keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam, saya memandang bahwa Ma‟baca dapat dimaknai sebagai bentuk penghormatan yang masih dalam koridor keislaman. Sebuah tradisi yang tidak mengajak pada kesyirikan, tetapi justru menumbuhkan kesadaran untuk senantiasa mendoakan mereka yang telah mendahului kita—seperti yang dianjurkan dalam firman Allah: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:’Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.’” (QS. Al-Hasyr: 10).

Ma’baca dalam tradisi masyarakat Bantaeng adalah sebuah cara untuk menghargai warisan budaya dan nenek moyang, dengan niat yang tulus untuk berbagi kebahagiaan, harapan, dan doa. Tentu saja, semua ini kembali lagi pada niat masing-masing individu. Jika niat kita dalam mengikuti tradisi ini adalah untuk tetap menjaga keharmonisan keluarga dan masyarakat, serta sebagai wujud penghormatan kepada leluhur, maka hal ini tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Ma’baca: Lestarikan, Jangan Lupakan

Saat kita membicarakan budaya lokal, khususnya tradisi Ma‟baca di Bantaeng, kita seharusnya tidak hanya memandangnya sebagai sebuah ritual semata, tetapi sebagai bagian dari jati diri dan warisan budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai luhur seperti penghormatan kepada leluhur, kebersamaan, dan kekuatan spiritual yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kultural kita.

Di tengah arus modernisasi dan perubahan gaya hidup yang semakin cepat, banyak tradisi yang perlahan mulai terpinggirkan, bahkan terlupakan. Namun, Ma’baca adalah satu dari sekian warisan budaya yang mengandung kearifan lokal tinggi—yang seharusnya tidak hanya dikenang, tetapi juga dilestarikan dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Menjaga tradisi seperti Ma’baca, berarti menjaga akar budaya kita. Ini adalah bentuk tanggung jawab kolektif, agar generasi muda tetap mengenal sejarah, menghargai warisan leluhur, dan tidak tercerabut dari nilai-nilai yang membentuk karakter masyarakat. Karena sejatinya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghormati dan melestarikan budayanya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai keimanan dan ajaran agama.

Sebagai generasi penerus, kita memikul tanggung jawab besar untuk melestarikan tradisi seperti Ma’baca dengan cara yang bijak dan relevan terhadap perkembangan zaman. Bukan untuk menolak modernitas, melainkan untuk merangkulnya sembari tetap menjaga akar budaya kita. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Ma’baca—seperti penghormatan, kebersamaan, dan spiritualitas—dapat diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, dengan tetap berpijak pada ajaran agama dan tuntunan hidup yang diridai Allah Swt.

Jangan biarkan Ma’baca, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bantaeng, terkikis oleh derasnya arus perubahan. Mari kita rawat, jaga, dan wariskan tradisi ini sebagai pusaka budaya yang bernilai tinggi—sebuah jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara kearifan lokal dan keimanan yang murni. Dengan memahami esensi dan maknanya secara mendalam, kita bisa menjadikan Ma’baca bukan sekadar warisan, tetapi juga sumber inspirasi dalam membangun identitas diri, keluarga, dan masyarakat—yang kokoh, berakar, dan tetap terbuka terhadap kemajuan.

Tradisi Ma‟baca adalah salah satu warisan budaya yang sarat nilai dan makna. Dengan pemahaman yang tepat, tradisi ini dapat kita terapkan dengan bijak dalam kehidupan sehari-hari—bukan sebagai bentuk ibadah baru, melainkan sebagai wujud penghormatan dan doa kepada leluhur yang telah mendahului kita. Selama dijalankan dengan niat yang tulus, murni, dan tetap dalam koridor ajaran agama yang kita yakini, Ma’baca dapat menjadi jembatan antara budaya dan spiritualitas, antara masa lalu dan masa kini. Semoga upaya kita dalam melestarikan tradisi ini menjadi bagian dari ikhtiar menjaga identitas, memperkuat nilai-nilai luhur, dan merawat harmoni dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.

Kepada para pembaca yang budiman, marilah kita menjadi generasi yang tidak hanya bangga akan warisan budaya, tetapi juga bijak dalam memaknainya. Janganlah kita terburu-buru menghakimi tradisi sebelum memahami ruh dan nilai yang terkandung di dalamnya. Bukalah hati dan pikiran untuk melihat bahwa antara budaya dan agama bisa berjalan beriringan, selama dijalankan dengan niat yang benar dan tidak keluar dari batas syariat. Jadikanlah Ma’baca sebagai ruang refleksi untuk mempererat hubungan spiritual, memperkuat nilai kekeluargaan, dan menumbuhkan rasa cinta kepada akar budaya kita sendiri. Karena di sanalah terpatri jejak sejarah, jati diri, dan warisan nilai yang tak ternilai.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 181-185.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *