Assuro Ammaca, apakah cuma bacaan biasa saja? Atau ada bacaan khususnya? Tradisi Assuro Ammaca yang sering dilaksanakan di berbagai tempat di Bantaeng, khususnya di desa saya di Bonto Lonrong, sepertinya memiliki tempat tersendiri dalam khazanah budaya masyarakat di desa kami.
Assuro Ammaca ini biasanya dilakukan sebagai bagian penting dari penyambutan momen-momen atau hari-hari penting di masyarakat, seperti menyambut bulan Ramadan, memperingati maulid, atau saat hendak memulai hal-hal baru dan baik seperti membangun rumah, memulai usaha baru, atau bahkan saat baru saja lulus atau mendapatkan jabatan baru.
Kegiatan Assuro Ammaca ini dlilakukan tidak hanya dengan membacakan doa-doa atau melantunkan selawat, namun biasanya dimulai dengan menyiapkan makanan yang akan disajikan seperti loka labbu, cucuru te’ne, waje, dan ka’do massingkulu. Makanan ini tidak asal pilih saja, melainkan juga dianggap punya nilai-nilai filosofis di baliknya, seperti waje, cucuru tene dan umba-umba yang disimbolkan sebagai kehidupan yang manis dan berbahagia, loka labbu yang disimbolkan sebagai doa untuk umur yang panjang, kue apang yang melambangkan kehidupan yang luas, tidak sempit dan tentram tanpa ada gangguan, serta kue lapis yang disimbolkan sebagai rezeki yang berlapis-lapis.
Selain menyiapkan kuliner berupa kue-kuean, di tradisi Assuro Ammaca ini juga disiapkan beberapa makanan-makanan berat, lengkap dengan lauk-pauknya seperti nasi putih dan songkolo dengan lauk ayam, kkan, telur, yang kesemuanya ini secara filosofis melambangkan kehidupan yang mapan dan berkecukupan.
Ritual Assuro Ammaca tidaklah berdiri sendiri sebagai acara berdoa dan makan-makan saja. Ritual ini pada dasarnya dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperkuat ikatan kekerabatan dan kepedulian sosial sesama masyarakat. Ritual ini melambangkan kebersamaan masyarakat untuk saling berkumpul, menguatkan, dan sama-sama mendoakan kebaikan untuk anggota masyarakatnya.
Menurut salah satu narasumber saya, yang bernama Salama’, yang juga merupakan pelaku tradisi Assuro Ammaca, ia memaparkan bahwa doa-doa yang diucapkan dalam Assuro Ammaca ini disesuaikan dengan maksud dan hajat dari pemohonnya. Salama’ berkata, ‘’Assuro ammaca intu nia tong massing-massing doa-doa na dupa-dupa na, tergantung apa acara na”. Begitu kata Salama’.
Salama’ yang sering diundang oleh masyarakat untuk membacakan doa memang sudah mempunyai buku doa dan catatan-catatan doa tertentu yang ia gunakan di setiap kesempatan Assuro Ammaca. Salah satu doa yang sering ia bacakan khususnya saat acara songkobala yaitu doa Nabi Musa yang berbunyi, “Rabbi syrahli shadri, wa yassir li amri, wahlul ‘uqdatan min lisani, yafqahu qawli, yang artinya “Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, dan lepaskan kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku”.
Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana, Assuro Ammaca ini dapat kita lihat sebagai bentuk penghambaan dan kepasrahan seorang hamba bersama keluarga dan kelompok masyarakat di sekitarnya, guna memohon keselamatan dan keberkahan dalam setiap momen-momen penting di hidup mereka. Assuro Ammaca ini adalah bentuk penerapan nilai spiritual seorang hamba yang meyakini firman Allah Swt. yang mengatakan: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (QS. Ghafir [40]: 60)
Assuro Ammaca ini secara eksplisit juga berperan sebagai sarana pemersatu dan penguat kebersamaan masyarakat. Hal ini bisa dilihat karena dalam setiap pelaksanaannya, keluarga dan masyarakat akan dilibatkan di dalamnya. Semua pihak yang ada di dalam ritual ini menyadari betul bahwa doa pun butuh kebersamaan agar lebih kuat dan mudah diterima. Ini juga sudah sejalan dengan sebuah hadis di mana Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang apabila berkumpul, mereka saling mencintai dan berdoa bersama demi kebaikan.” (HR. Ahmad).
Terakhir, Assuro Ammaca ini sebenarnya bisa kita lihat sebagai keberhasilan akulturasi budaya antara tradisi lokal dan nilai-nilai Islam yang kental. Tradisi ini menunjukkan bagaimana adat istiadat sebenarnya bisa menjadi sarana untuk memperkuat iman dan mendukung harmoni sosial. Assuro Ammaca menunjukkan sebuah kesejukan antara bersatunya tradisi dan penghormatan terhadap leluhur dan budaya dengan keyakinan pada kekuatan doa dan kebersaman.
Permasalahan kita saat ini adalah, apakah generasi muda kita saat ini masih mau mempertahankan tradisi ini? Mengingat betapa era modernisasi dan perubahan gaya hidup sudah mengantar anak-anak muda kita pada kebisingan dunia maya dan kesunyian dalam interaksi di dunia nyata.
Maka mungkin sudah saatnya tradisi Assuro Ammaca ini tidak berhenti pada aktivitas-aktivitas masyarakat yang sudah tua dan berumur saja. Kita yang paham betul dengan masalah ini sepatutnya mengembangkan dan memperkenalkan tradisi ini ke sisi yang lain dan level yang berbeda seperti mengenalkannya di media sosial, atau memasukkannya dalam materi-materi pengajaran di organisasi dan komunitas remaja.
Mungkin akan jauh lebih baik dan revolusioner lagi bila tradisi ini kita kenalkan atau bahkan dijadikan salah satu tugas proyek bagi peserta didik kita di sekolah melalui materi muatan lokal ataupun dalam kegiatan P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Apakah Anda berani? Yuk kita kerjakan bersama-sama.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 186-189.

Lahir di Makassar 29 September 2003. Seorang mahasiswa dari salah satu kampus di Makassar. Pernah menjadi panitia di banyak acara, seperti seminar nasional (call of paper), Perspektif Teknologi Pendidikan dalam Peningkatan SDM, Talk Show “Gen Z Inspiring ‘Find Your Way’”, dan Pelatihan Implementasi Kurikulum Merdeka Melalui Pembelajaran Interaktif, serta Pameran Edufair 2024 sebagai tim humas.
Leave a Reply