“Mimpi dalam dunia adat, adalah jendela rahasia antara langit dan bumi tempat para leluhur menitip pesan dalam diam yang suci.” (Mircea Eliade)
Ada sesuatu yang tak terlihat mata, tapi terasa kuat di Desa Labbo. Ia hidup dalam kepulan dupa dan lilin kapuk yang dibakar, dalam gendang yang ditabuh, dan berbisik lewat mimpi kepada mereka yang terpilih. Tradisi ini bukan cerita biasa, konon ini adalah panggilan dari leluhur. Ini bukan sekadar tradisi, melainkan panggilan sunyi dari masa silam. Songkobala bukan hanya upacara penolak bala, melainkan doa yang menari di antara langit dan tanah, kesadaran suci untuk berlindung pada Sang Pencipta dan leluhur yang tak pernah benar-benar pergi.
Labbo adalah sebuah desa yang terletak di sebelah utara Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng. Secara geografis, Labbo berada di ketinggian 800 hingga 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan suhu rata-rata sekitar 27 derajat celsius. Dengan luas wilayah mencapai 12,81 kilometer persegi, desa ini menyimpan jejak sejarah yang diwariskan turun-temurun. Salah satu tradisi yang terus dijaga dan dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat setempat adalah Songkobala Lompo.
Songkobala berasal dari kata “songko”, berarti menolak, dan “bala”, yang bermakna musibah, sementara “lompo” adalah besar. Dengan demikian Songkobala Lompo dapat dimaknai sebagai upacara besar untuk menolak bala atau menghindari bencana. Tradisi ini diadakan setiap tahun pada malam Jumat di akhir bulan Syakban sebagai bentuk doa dan harapan masyarakat Labbo, agar dijauhkan dari segala marabahaya, serta diberi keselamatan dalam memasuki bulan suci Ramadan. Tradisi ini merupakan tradisi turun temurun, sudah dilaksanakan selama ratusan tahun dari generasi ke generasi.
Tradisi ini bermula dari seseorang yang memiliki pegaruh di Desa Ganting (Desa Labbo kala itu masih bernama Desa Ganting), bernama Daeng Sabarang yang menganggap bahwa, untuk memasuki bulan suci Ramadan kita membutuhkan perlindungan dan petunjuk agar bisa beribadah dengan tenang dan terhindar dari segala marabahaya saat berpuasa nanti. Tradisi ini tidak berhenti di Daeng Sabarang saja, ia kemudian dilanjutkan oleh saudaranya yaitu Daeng Ra’ja, tetapi karena Daeng Ra’ja tidak dapat melanjutkan, maka diserahkan kepada anak Daeng Ra’ja, yaitu Daeng Badina. Tradisi ini terus berlanjut ke keturunan-keturunan mereka, seperti Daeng Tola dan lima generasi turunan selanjutnya, termasuk pelaksana saat ini yang bernama Nenek Mintang.
Dalam prosesi adat, benda pusaka turun temurun yang diwariskan dan digunakan, yaitu pisau dan anak baccing. Menurut keterangan dari tetua adat yang melanjutkannya saat ini,benda pusaka awalnya ada beberapa, tetapi dihancurkan oleh penjajah Belanda dahulu, sehingga hanya tersisa pisau panjang dan anak baccing. Diperkirakan benda ini sudah ada sejak zaman Belanda dulu, tapi disimpan dan digunakan kembali pada tahun 1999.
Tradisi ini bisa diwariskan, hanya kepada keluarga dan kerabat yang masih memiliki garis keturunan sama, dan sebelum wafat, tetua adat saat itu akan mendapat petunjuk siapa yang akan meneruskan tradisi ini ke depan melalui mimpi. Apabila seorang tetua adat menerima petunjuk dari turiolo melalui mimpi, maka petunjuk tersebut wajib dilaksanakan. Hal ini dapat berupa kewajiban menyediakan makanan tertentu selama prosesi adat, hingga pembuatan tangga baru di rumah adat. Jika petunjuk tersebut diabaikan, maka tetua adat akan dikenai nakasa’ (sanksi) berupa menjalani puasa, entah puasa total tanpa makan dan minum selama beberapa bulan, maupun puasa dengan pantangan, seperti tidak mengonsumsi nasi putih.
Selanjutnya, pelaksanaan tradisi ini diawali dengan gotong royong masyarakat untuk menyiapkan bahan-bahan utama, salah satunya adalah songkolo. Dalam prosesi adat ini, songkolo terdiri dari 5 macam warna, yaitu hitam, putih, kuning, merah, dan hijau. Tiap warna warna memiliki arti khusus. Selain songkolo, ada juga ayam utuh, masyarakat Labbo menyebutnya jangang a’bakaka’, yang dimasak dengan kelapa dan santan. Ada pula nasi jagung atau kanre ba’do, udang yang dibakar dan ditusuk, jangang lawara’ atau ayam suir dengan parutan kelapa, ikan bakar, serta pisang satu tandan, masyarakat Labbo menyebutnya loka bulaeng.
Pada malam harinya, acara dimulai dengan pembacaan kitab Barazanji. Sementara pembacaan kitab Barazanji berlangsung, ibu-ibu akan menyiapkan makanan yang disajikan dalam kappara, yaitu nampan besar berisi nasi dan lauk-pauk. Setelah pembacaan selesai, acara dilanjutkan dengan makan bersama, di mana kaum laki-laki didahulukan sebelum kaum perempuan, sebagai simbolisasi bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga dan masyarakat. Tradisi ini juga menjadi momen silaturahmi antara warga Labbo dengan pejabat desa, seperti kepala desa dan kepala dusun.
Setelah makan bersama selesai, dilanjutkan dengan prosesi yang disebut appalappasa, dilakukan di atas ranjang khusus oleh seorang tetua adat, sebagai simbol bahwa prosesi ini merupakan peristiwa sakral yang tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Di atas ranjang tersebut, disusun berbagai jenis makanan dan perlengkapan ritual, seperti songkolo yang terdiri dari warna-warna tertentu. Warna pada songkolo melambangkan unsur kehidupan: hitam sebagai simbol kekuatan dan keteguhan, putih melambangkan kesucian, kuning sebagai lambang kemuliaan, merah menandakan keberanian, dan hijau merepresentasikan kesuburan dan harapan. Lauk-pauk dan pisang yang disajikan tidak hanya sebagai persembahan, tetapi juga sebagai bentuk syukur atas rezeki dan kelimpahan yang telah diberikan oleh leluhur dan alam. Dupa yang dibakar menghadirkan suasana spiritual, sebagai sarana penghubung antara dunia nyata dan alam roh, membawa doa dan harapan menuju dimensi gaib.
Hal unik dari tradisi ini adalah penggunaan lilin tradisional yang terbuat dari kapuk yang telah direndam minyak tanah, kemudian diremas pada sebuah bambu kecil. Kapuk melambangkan kesucian jiwa dan penerangan batin, sementara bambu merupakan simbol kesederhanaan dan kekuatan hidup masyarakat adat.
Lilin ini kemudian ditancapkan pada tumpukan beras, yang mencerminkan kemakmuran dan harapan akan hasil panen yang melimpah. Lilin tersebut disimpan dalam baku’ karaeng, yaitu bakul khusus yang hanya digunakan saat tradisi berlangsung, menandakan bahwa benda tersebut adalah pusaka sakral yang dijaga kesuciannya secara turun-temurun. Baku’ karaeng diletakkan di atas ranjang yang dililit kain putih panjang sebagai lambang kesucian, pembersihan, dan penyucian ruang upacara.
Saat prosesi dimulai, tetua adat mengenakan pakaian serba putih sebagai simbol kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesiapan spiritual. Ia akan memulai ritual dengan membakar dupa dan melantunkan doa, masyarakat Labbo menyebutnya a’dalle’ atau menghadap, menandai awal dari prosesi adat yang disebut appalappasa, yaitu upacara permohonan restu dan perlindungan dari leluhur. Kemudian dilanjutkan dengan akkarena, sebuah ritual yang dilaksanakan di atas para atau loteng rumah adat, yang merupakan ciri khas rumah tradisional Sulawesi.
Dahulu, para digunakan sebagai tempat menyimpan bahan makanan seperti padi dan hasil bumi lainnya. Namun, dalam ritual akkarena, tempat ini menjadi lokasi khusus yang hanya diikuti oleh beberapa anggota keluarga terpilih. Prosesi ini diawali dengan menyalakan dupa, diikuti oleh tetua adat yang memainkan permainan tradisional seperti gasing, takraw, batok kelapa yang diikat tali, serta tabuhan gendang hingga prosesi selesai. Konon, permainan tradisional ini pada awalnya ada karena permintaan turiolo itu sendiri melalui mimpi. Ritual ini dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada Tau Toana Ganting, leluhur Kampung Ganting yang diyakini memiliki peran besar dalam sejarah Labbo.
Sebagai penutup dari seluruh rangkaian prosesi Songkobala Lompo, masyarakat Labbo melaksanakan sebuah ritual sakral yang dikenal dengan nama atti’tili. Ritual ini merupakan bentuk puncak dari doa dan harapan kolektif masyarakat terhadap perlindungan, keselamatan, dan keberkahan dalam kehidupan mereka. Dalam prosesi ini, tetua adat berperan penting sebagai perantara spiritual, membimbing jalannya upacara dengan penuh kekhusyukan dan kehati-hatian, agar semua tahapan berjalan sesuai nilai-nilai yang diwariskan leluhur.
Minyak yang digunakan dalam prosesi atti’tili bukanlah minyak biasa. Ia dibuat secara tradisional dari kelapa dan di sebut minnyak attana’, melalui proses pemanasan dan pemurnian yang memakan waktu, serta diiringi dengan doa-doa dan niat khusus. Minyak ini diyakini mengandung kekuatan spiritual karena telah melalui tahapan pengolahan yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga spiritual. Setelah siap, minyak tersebut akan dioleskan terlebih dahulu pada pisau panjang yang dianggap bertuah. Pisau ini bukan hanya alat, melainkan simbol kekuatan, ketegasan, dan pelindung dari bahaya, diyakini memiliki energi gaib yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi.
Tetua adat akan menggunakan minyak di ujung pisau tersebut untuk dioleskan pada bagian tubuh tertentu. Tiga bagian tubuh yang menjadi titik olesan adalah kening, lidah, dan perut. Masing-masing titik ini mengandung makna simbolik yang mendalam. Kening merupakan pusat pikiran dan kesadaran, pengolesan di bagian ini dimaknai sebagai permohonan agar anak-anak tumbuh dengan kecerdasan, kejernihan berpikir, dan bimbingan yang benar. Lidah melambangkan ucapan, minyak yang dioleskan di sini mengandung harapan agar lidah mereka hanya mengucapkan kebaikan, berkata jujur, dan membawa kedamaian dalam setiap tutur kata. Sementara itu, perut adalah pusat kehidupan, tempat segala energi berkumpul, dan juga lambang dari kesejahteraan fisik serta emosional. Pengolesan pada perut merupakan simbol permohonan akan kesehatan, kekuatan lahir batin, dan keberkahan hidup.
Selain sebagai sarana perlindungan secara spiritual, prosesi atti’tili juga memperkuat ikatan sosial di antara warga. Setiap individu yang mengikuti ritual ini merasa menjadi bagian dari satu kesatuan yang utuh terikat oleh warisan leluhur, nilai kebersamaan, dan semangat gotong royong. Atti’tili bukan hanya ritual keagamaan atau budaya semata, melainkan juga bentuk nyata dari cara masyarakat Labbo menjaga warisan, memperkuat identitas kolektif, dan mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi muda.
Dengan ditutupnya prosesi Atti’tili, maka seluruh rangkaian upacara adat Songkobala Lompo dianggap selesai. Masyarakat pun percaya bahwa setelah menjalani semua tahapan, mereka telah disucikan, dikuatkan, dan dilindungi secara spiritual dalam menghadapi kehidupan ke depan. Tradisi ini, dengan segala simbol dan makna di dalamnya, adalah wujud nyata kearifan lokal yang tetap hidup dan terus dipelihara di tengah arus perubahan zaman.
Songkobala Lompo bukan sekadar ritual adat, tetapi juga simbol kebersamaan, penghormatan kepada leluhur, dan bentuk doa kepada Sang Pencipta. Masyarakat Labbo meyakini bahwa dengan menjaga tradisi ini, mereka tidak hanya mempertahankan warisan budaya, tetapi juga mempererat tali persaudaraan antar sesama. Di tengah arus modernisasi yang semakin kuat, keberlanjutan Songkobala Lompo menjadi bukti bahwa warisan budaya nenek moyang masih hidup dan tetap dihormati oleh generasi penerus.
Tradisi ini mengajarkan bahwa akar budaya adalah jati diri yang harus dijaga. Sejarah terbentuknya Labbo mencerminkan eratnya hubungan antara identitas budaya dan perjalanan masyarakatnya. Pada tahun 1961, Kampung Ganting dan Kampung Labbo disatukan oleh Karaeng Naikang, lalu pada 1963 diberi nama Labbo. Nama ini berasal dari kata labborro, yang berarti longsoran tanah simbol perubahan dan penyatuan masyarakat.
Salah satu bentuk penghormatan dalam tradisi ini tampak jelas dari aturan yang berlaku di rumah tempat prosesi berlangsung. Di depan ranjang yang menjadi pusat pelaksanaan upacara, setiap orang yang hendak keluar dari ruangan tidak diperbolehkan membelakanginya. Mereka harus berjalan mundur atau menyamping dengan penuh kehati-hatian, hingga benar-benar keluar dari area suci tersebut. Aturan ini bukan sekadar kebiasaan turun-temurun, tetapi merupakan manifestasi dari nilai sopan santun, penghormatan terhadap leluhur, dan kesakralan ruang upacara.
Dalam pandangan masyarakat adat, ranjang prosesi bukan hanya tempat fisik, melainkan juga simbol spiritual tempat bersemayamnya nilai-nilai luhur, kekuatan leluhur, dan energi doa yang telah dipanjatkan sepanjang upacara. Membelakangi ranjang dianggap sebagai tindakan yang kurang sopan, karena bisa dimaknai sebagai bentuk pengabaian terhadap kekuatan yang hadir di sana.
Dalam diamnya ruang upacara, tradisi berbicara tanpa suara, akankah kita masih bisa mendengarkan bisikannya di tengah riuh dunia saat ini?

Lahir di Bantaeng, 26 Februari 2003. Saat ini menempuh studi semester 6 di Universitas Muhammadiyah Bulukumba, sekaligus mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik di MTs Ihya Ulumuddin, Kampung Beru, Desa Tombolo. Aktif dalam berbagai organisasi. Mita dikenal sebagai sosok yang bersemangat dalam dunia public speaking. Kecintaannya pada komunikasi membawanya menjadi MC di berbagai acara, sekaligus memperkuat perannya sebagai pendidik dan pelaku budaya yang terus tumbuh bersama kata dan suara.
Leave a Reply