Tradisi Bilang dalam Penentuan Hari Baik

Sejak kecil, saya yang lahir dan dibesarkan di pedalaman Butta Toa Bantaeng, kerap kali mendengar kalimat dalam Bahasa Makassar yang kadang tak begitu saya pahami. Salah satu yang membekas, “Punna niak lanujama, lekbakpi jama-jamangnu nampa nupakarammulai. Punna niak lanumangei, ambattupako nampako aklampa. Artinya, apabila ada perihal yang ingin engkau kerjakan, selesaikanlah dulu pekerjaan itu baru engkau memulainya. Jika ada tempat yang hendak engkau kunjungi, tibalah sebelum engkau berangkat.

Awalnya, saya mengira kalimat tersebut hanya sekadar permainan kata-kata. Hingga suatu hari, salah seorang keluarga yang berencana membuat acara hajatan, mengajak saya ikut serta menemui seseorang untuk assuro cinik allo. Assuro cinik allo  ialah meminta petunjuk pada orang pintar atau tetua kampung, tentang hari yang baik untuk melaksanakan hajatan. Tujuannya agar acara bisa berjalan lancar sesuai harapan pemilik hajat.

Di kampung kami, assuro cinik allo adalah hal yang lumrah. Bahkan, terkesan menjadi kewajiban bagi mereka yang akan membuat acara atau memulai suatu pekerjaan penting. Mulai acara membangun rumah, pertama kali masuk ke rumah baru, acara pernikahan, acara syukuran, dan doa keselamatan untuk janin, akikahan, hingga acara khitanan. Semuanya akan dimulai dengan terlebih dahulu assuro cinik allo. Memulai menanam di kebun, atau  menebang pohon untuk bahan baku rumah pun, terkadang dilakukan setelah mendapat petunjuk hari baik itu.

Di kampung kami, di Janna-Jannaya, Desa Bonto Majannang, salah seorang yang sering dimintai petunjuk bernama Daeng Baddu. Namun, karena beliau sudah lanjut usia dan mulai pikun, kini menantunya yang bernama Daeng Muha yang lebih sering dikunjungi orang.

Bedanya, jika Daeng Baddu disebut memiliki referensi bilang atau perhitungan yang lebih banyak, Daeng Muha hanya menggunakan dua jenis bilang saja. Bilang yang digunakannya yakni bilang appak dan bilang sibokoang. Seperti halnya kalender hijriah, kedua jenis Bilang tersebut menggunakan penanggalan berdasarkan peredaran bulan.

Hindari Allo Nakasak

Allo nakasak adalah hari yang dihindari setiap warga yang akan melaksanakan acara, atau memulai suatu pekerjaan penting. Allo nakasak disebut memiliki aura negatif kuat, disebut bisa berefek pada gagal atau sulitnya suatu pekerjaan atau hajatan, jika dilaksanakan bertepatan pada hari tersebut. Dalam bilang appak dan bilang sibokoang juga dikenal allo nakasak ini.

Pertama, bilang appak. Bilang ini didasarkan pada empat unsur utama alam: air, tanah, api, dan angin. Perhitungannya dimulai dengan urutan hari pertama dalam bulan berjalan, disebut hari dengan sifat tanah. Hari kedua memiliki sifat air. Sifat api jatuh pada hari ketiga dalam bulan berjalan. Lalu terakhir sifat angin yang dihitung jatuh pada hari keempat. Sekali lagi, penanggalannya didasarkan pada peredaran bulan seperti halnya dalam kalender hijriah.

Pada hari kelima dalam bulan berjalan, perhitungan akan kembali seperti pada hari pertama, yakni disebut sebagai hari yang memiliki sifat tanah. Lalu malam kelima hingga kedelapan, berturut-turut disebut memiliki sifat air, api, dan angin. Begitulah seterusnya hingga hari terakhir dalam bulan tersebut.

Dalam bilang appak, terdapat dua sifat hari yang dikenal baik. Kedua hari itu ialah yang jatuh pada sifat air dan angin. Hari dengan sifat air dimaknai akan membawa aura yang menyejukkan. Hal tersebut dipercayai akan berdampak pada lancarnya pelaksanaan acara atau pekerjaan. Begitu pula pada hari yang memiliki sifat angin. Angin dimaknai sebagai nyawa dengan aura yang dipercaya mendatangkan semangat yang besar.

Adapun hari dengan sifat tanah dan api dikategorikan sebagai hari yang harus dihindari dalam bilang appak. Sebab tanah yang dimaknai sebagai kuburan, dapat berdampak pada acara atau pekerjaan berakhir kanralak atau sulit. Begitu pula dengan hari yang memiliki sifat api. Auranya yang panas membakar, disebut akan mendatangkan kesulitan pada acara atau pekerjaan yang dimulai bertepatan pada hari tersebut.

Bilang kedua yakni bilang sibokoang. Perhitungannya pun tetap berdasarkan pada bilangan penanggalan kamariah. Hanya saja perhitungannya dimulai pada hari Kamis, dengan tanggalnya yang akan dihitung maju tetapi harinya akan berjalan mundur. Disebut sebagai hari sibokoang, apabila hari pertama pada bulan berjalan jatuh pada hari kamis. Selanjutnya, tanggal kedua yang jatuh pada hari Rabu, tanggal ketiga yang jatuh pada hari Selasa, tanggal keempat yang jatuh pada hari Senin, tanggal kelima yang jatuh pada hari Ahad, hingga tanggal terakhir dalam bulan berjalan.

Seperti halnya arti dari kata sibokoang, yakni saling membelakangi atau saling meninggalkan, acara hajatan atau pekerjaan penting yang dimulai pada hari yang bertepatan dengan hari sibokoang, disebut tidak akan berhasil. Misalnya, menikahkan anak pada hari sibokoang akan situla (saling meninggalkan). Jika tidak dengan situla mate (meninggal dunia) maka akan situla tallasak (cerai). Perihal itulah yang membuat hari sibokoang dikategorikan pula sebagai allo nakasak.

Bilang Pitika

Jika bilang appak dan bilang sibokoang, didasarkan pada perhitungan hari dalam bulan yang mengikuti sistem kalender hijriah/kamariah, maka bilang pitika membagi waktu berdasarkan jam dan hari.

Informasi mengenai pitika tersebut, saya peroleh dari informan yang tak ingin namanya disebutkan. Menurutnya, manfaat pitika sangat bergantung pada niat orang yang memilikinya. Pitika disebutnya bisa menjadi obat jika dimanfaatkan oleh mereka yang punya niat baik, tetapi akan menjadi racun jka digunakan untuk hal-hal yang jahat.

Bilang pitika tersusun dalam bentuk tabel. Barisnya berisi nama-nama hari yang dimulai dengan hari jumat. Adapun kolomnya terdiri dari penunjuk jam yang dimulai dari jam enam pagi, berurutan ke arah kanan hingga jam enam sore. Perpaduan baris dan kolom tersebut membentuk kotak yang berisi satu dari empat jenis kode berbeda dengan susunan yang acak. Keempat kode tersebut yakni tanda silang (x), angka nol (0), angka satu (1), dan mata dadu dengan lima titik.

Setiap kode memiliki makna yang berbeda. Pertama, tanda silang (x). Kode ini dimaknai sebagai mate atau mati. Memulai pekerjaan atau suatu acara pada jam yang memiliki tanda tersebut dipercayai akan mendatangkan celaka dan musibah. Hal tersebut membuat waktu dengan tanda silang harus dihindari. Adapun kode angka nol (0), dimaknai sebagai kosong. Dampaknya, ketika memulai kegiatan berdagang atau bertani pada waktu dengan kode ini dipercayai hanya akan kembali modal, tanpa sedikit pun memperoleh keuntungan.

Tanda ketiga yakni angka satu (1). Tanda ini bermakna tepu atau utuh. Berangkat menghadapi lawan pada waktu dengan tanda tersebut, dipercayai akan membawa kemenangan. Sedangkan tanda terakhir dengan mata dadu dengan lima titik, paling cocok digunakan ketika akan berangkat berdagang. Sebab lima titik tersebut dimaknai dengan nilima riolomi atau sudah digenggam lebih dulu. Efek positif yang diperoleh yakni hasil usaha akan mendatangkan banyak keuntungan.

Ketiga jenis bilang dalam mencari hari baik ini telah digunakan turun temurun sejak lama. Barangkali bukan hanya di kampung saya, sebab beberapa teman dari luar Bantaeng pun, memiliki tradisi yang kurang lebih sama, meskipun mungkin dengan bilang yang berbeda.

Penjelasan yang penulis peroleh perihal tradisi bilang, memberi sedikit angin segar pada kekurangpahaman saya tentang kalimat dalam Bahasa Makassar, yang sedari kecil acapkali penulis dengar seperti yang dituliskan pada paragraf awal tulisan ini.

Barangkali memang benar, ada hal yang harus selesai dahulu sebelum kita memulainya. Barangkali kita mesti sampai di tujuan terlebih dahulu, sebelum kita mulai melangkah. Dan, barangkali kita pun sepakat bahwa segala perihal yang mutlak selalunya berada di tangan-Nya.

Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), 115-118.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *