Ammembeng Balla’: Tradisi Mengangkat Rumah, Filosofi, dan Menjunjung Nilai

Saya masih ingat jelas saat kecil di kampung nenek saya, Desa Bonto Lonrong, Kecamatan Eremerasa, Kabupaten Bantaeng. Saat bermain di halaman, tiba-tiba terdengar riuh dari jauh. Saya lari mendekat dan melihat puluhan orang bergotong royong mengangkat rumah panggung besar, memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai bocah, saya terkesima bagaimana rumah sebesar itu bisa dipindahkan hanya dengan cara di angkat menggunakan kekuatan manusia.

Bertahun-tahun kemudian, saat saya duduk di bangku SMA, saya kembali menyaksikan tradisi Ammembeng Balla’ di desa lain di Kabupaten Bantaeng. Sama seperti saat kecil, masyarakat dengan semangat gotong royong mengangkat rumah untuk dipindahkan. Saya kembali merasakan kekaguman yang sama terhadap kuatnya kebersamaan dan kepedulian dalam budaya Kabupaten Bantaeng.

Namun, pengalaman paling membekas bagi saya terjadi saat sudah bekerja. Teman kantor saya, Kahar, mengalami banjir dan harus memindahkan rumah panggungnya ke tempat lebih tinggi. Ia mengajak kami semua membantu. Saya dan beberapa teman bergabung dengan masyarakat sekitar, tidak lagi hanya menonton seperti saat kecil atau SMA. Saya merasakan langsung beratnya mengangkat rumah bersama, mengikuti aba-aba pemimpin, dan merasakan kebersamaan yang luar biasa.

Bagi masyarakat Bantaeng, rumah bukan sekadar bangunan tempat berteduh. Ia adalah bagian dari diri, simbol keluarga, tempat lahir dan tumbuhnya nilai. Maka ketika sebuah rumah harus dipindahkan, ia tidak dibongkar, melainkan diangkat bersama secara harfiah dan simbolis oleh kekuatan kebersamaan. Tradisi itu dikenal sebagai Ammembeng Balla’.

Mengangkat Rumah, Menjunjung Nilai

Ammembeng Balla’ berasal dari bahasa Makassar dialek Bantaeng, ammembeng berarti “mengangkat” dan balla’ berarti “rumah”. Tradisi ini adalah praktik gotong royong dalam bentuk paling nyata, memindahkan rumah panggung secara utuh dari satu lokasi ke lokasi lain, hanya dengan tenaga manusia. Biasanya, rumah yang dipindahkan adalah rumah kayu tradisional yang struktur fondasinya memungkinkan untuk diangkat tanpa dibongkar.

Dalam catatan saya sebagai pelaku budaya yang menyaksikan langsung tradisi ini sejak kecil dan mewawancarai tokoh masyarakat, Ammembeng adalah istilah budaya untuk cara mengangkat atau memindahkan benda, khususnya rumah adat. Praktiknya melibatkan banyak orang yang bekerja sama, mengangkat dengan posisi merangkul menggunakan pinggul. Penggunaan pinggul sebagai titik tumpu bertujuan meringankan beban agar lebih mudah dibawa dibanding posisi pengangkatan lain.

Sejak awal, teknik ini menggunakan pinggul sebagai bagian tubuh yang membantu menahan beban dan memberikan keseimbangan yang diperlukan dalam proses pengangkatan. Hal ini mengutamakan kekuatan dan kerjasama antar individu dalam kelompok. Meskipun cara pengangkatan ini tidak berubah secara teknis, istilah Ammembeng tetap dipertahankan karena mencerminkan nilai budaya Kabupaten Bantaeng yang kuat dalam praktik tradisional ini.

Ammembeng tetap melambangkan kerjasama, kebersamaan dan kekuatan fisik dengan cara pengangkatan yang memang sudah dirancang untuk memudahkan dan mengurangi beban yang diangkat. Ammembeng Balla’ bukan hanya praktik arsitektural, tapi juga upacara kebudayaan. Prosesnya dimulai dengan musyawarah keluarga. Setelah waktu dan kebutuhan sudah ditetapkan, seorang tokoh masyarakat akan mengumumkannya di masjid pada hari Jumat, selepas salat Jumat waktu di mana warga biasanya berkumpul.

Pada hari pelaksanaan, masyarakat datang dengan antusias. Laki-laki berkumpul untuk mengangkat rumah menggunakan tiang bambu yang sudah dipasang dibawah kolong rumah. Sementara itu, perempuan dan anak-anak membantu dari sisi lain menyediakan air minum, makanan dan dukungan logistik. Pemilik rumah juga menyiapkan jamuan sederhana, sebagai tanda terima kasih, bukan pembayaran. Semua dilakukan dengan tulus dan sukarela.

Bagi saya, momen ini bukan hanya tentang kekuatan fisik, tapi juga kekuatan hati. Hal ini menggambarkan bagaimana puluhan orang dari berbagai usia bahu-membahu mengangkat satu rumah tanpa aba-aba resmi, tanpa kontrak dan tanpa bayaran. Semuanya bergerak dalam irama yang harmonis suara tawa, teriakan ringan dan aba-aba spontan menjadi musik kebersamaan yang menghidupkan suasana.

Tradisi ini juga memiliki makna filosofis yang dalam. Rumah dalam budaya lokal dianggap sebagai perpanjangan dari keluarga. Maka memindahkannya secara utuh melambangkan penghormatan terhadap warisan leluhur, menjaga utuh nilai-nilai didalamnya. Rumah tidak dibongkar seperti juga nilai-nilai yang tidak boleh dipecah oleh perubahan zaman.

Sayangnya, tradisi ini makin jarang terlihat seiring banyaknya rumah beton. Semangat gotong royong digantikan tenaga upahan, dan anak-anak lebih dekat dengan media digital daripada budaya sendiri. Ammembeng Balla’ kini lebih sering jadi kenangan, namun kenangan itu bukan penutup, melainkan pengingat bahwa nilai lama bisa dihidupkan dalam bentuk baru.

Menelusuri Jejak Ammembeng Balla’

Tradisi Ammembeng Balla’ bukanlah sekadar fenomena kebudayaan sesaat. Ia tumbuh dari kebutuhan praktis masyarakat yang tinggal di rumah-rumah kayu panggung, lalu berkembang menjadi simbol solidaritas yang mengakar kuat dalam kehidupan sosial warga Bantaeng.

Praktik ini telah berlangsung sejak zaman dulu. Menurut cerita para tetua, Ammembeng Balla’ sering dilakukan saat keluarga harus pindah karena bencana seperti banjir, longsor, atau ingin dekat sumber air, lahan, dan kampung asal. Saat itu, keluarga pemilik rumah memohon bantuan warga, tanpa paksaan atau bayaran. Semua datang dengan niat tulus, membawa bambu panjang dan tenaga untuk membantu.

Seiring waktu, praktik ini tetap lestari meski menghadapi perubahan zaman. Pada 1970–1990-an, Ammembeng Balla’ masih umum di pedesaan dan dataran rendah Bantaeng. Namun, memasuki abad ke-21, tradisi ini mulai berkurang karena masyarakat beralih ke rumah permanen dari beton dan batu bata yang tak bisa diangkat, serta digantikan oleh jasa berbayar.

Tradisi ini belum punah. Di beberapa desa dengan rumah panggung, Ammembeng Balla’ masih dilakukan meski jarang. Saya menemui tokoh masyarakat di Bantaeng yang telah memimpin lebih dari dua puluh kali Ammembeng Balla’. Ia berkata, “Yang paling penting bukan hanya kuat, tapi kompak,” sambil menunjuk bambu panjang di kolong rumahnya, lalu menjelaskan pengaturan posisi, ritme angkatan, dan komando yang tegas, tapi bijak.

Dari beliau saya juga belajar bahwa dalam tradisi ini, bukan hanya otot yang bekerja, tetapi hati dan rasa kebersamaan. “Kalau ada yang rumahnya hanyut karena banjir, dia tidak perlu malu atau bingung. Warga pasti bantu angkatkan rumahnya yang baru tanpa minta imbalan” ucapnya. Bahkan, menurutnya masyarakat sangat memahami bahwa suguhan makanan bukan suatu kewajiban, apalagi jika pemilik rumah sedang tertimpa musibah.

Tantangan terbesar hari ini adalah pelestarian ingatan. Generasi Alpha anak-anak yang lahir diera teknologi digital mungkin hanya mendengar cerita ini sebagai dongeng. Mereka tidak lagi menyaksikan langsung bagaimana rumah “berjalan” di atas pundak warga. Karena itu, menuliskan tradisi ini menjadi cara penting menjaga warisan budaya tetap hidup dalam ingatan masyarakat Bantaeng.

Kita tidak bisa menolak modernisasi tapi kita bisa memilih untuk tidak melupakan akar. Ammembeng Balla’ adalah salah satu akar itu yang memberi kita fondasi kuat tentang arti kebersamaan, gotong royong dan keikhlasan.

Nilai dan Simbol dalam Ammembeng Balla’

Secara fisik, Ammembeng Balla’ tampak seperti kerja bakti memindahkan rumah, tetapi tersimpan nilai luhur dan simbol budaya yang mencerminkan kearifan lokal Bantaeng. Rumah diangkat bersama demi efisiensi, sehingga bisa segera dipindahkan dan dihuni kembali, terutama dalam situasi darurat seperti banjir atau tanah longsor.

Sebaliknya, jika rumah dibongkar dan dipasang ulang, prosesnya bisa lama, satu atau dua bulan terlalu lama bagi keluarga yang membutuhkan tempat tinggal dengan segera. Namun lebih dari itu, radisi ini mengandung makna kebersamaan yang kuat. Setiap orang berperan, setiap tenaga dihargai. Di dalamnya tercermin nilai gotong royong, silaturahmi, dan keharmonisan sosial yang menyatukan warga serta mempererat hubungan antar tetangga.

Dalam tradisi ini, perempuan berperan penting dengan menyiapkan makanan dan minuman bagi para pengangkat rumah. Mereka menyaksikan dari jauh bukan karena dilarang, melainkan demi keselamatan. Kehadiran mereka juga menjadi sarana bagi anak-anak untuk belajar tentang solidaritas sosial yang hidup dalam masyarakat.

Suguhan makanan dari pemilik rumah bukanlah kewajiban. Jika pemilik rumah tengah mengalami kesulitan, seperti tertimpa musibah banjir, warga tetap akan datang membantu tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Karena inti dari Ammembeng Balla’ bukanlah jamuan, melainkan rasa peduli.

Tradisi ini menunjukkan bahwa nilai gotong royong tidak bergantung pada imbalan. Ia lahir dari kepedulian, dijalankan dengan keikhlasan dan diwariskan lewat contoh nyata. Di dunia yang semakin sibuk dan individualis, Ammembeng Balla’ mengingatkan bahwa kekuatan masyarakat terletak pada hubungan saling mendukung antar manusia, bukan pada individu semata.

Tradisi Serupa di Nusantara

Gotong royong bukan sekadar semangat, melainkan napas yang menghidupi komunitas-komunitas di Indonesia. Ammembeng Balla’ di Bantaeng menjadi cerminan luhur dari nilai tersebut. Namun, Bantaeng bukan satu-satunya daerah dengan tradisi mengangkat dan memindahkan rumah bersama. Di berbagai penjuru Nusantara, terdapat budaya serupa yang menunjukkan pentingnya kebersamaan dalam menghadapi hidup.

Di Sulawesi Selatan, selain Bantaeng, komunitas Bugis di beberapa wilayah juga mengenal praktik serupa, disebut “mabbulle bola”. Prosesnya hampir sama, dengan bambu panjang di bawah kolong rumah diangkat bersama. Namun, Ammembeng Balla’ berbeda karena adanya pengumuman resmi di masjid, peran tokoh masyarakat, serta keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam mendukung prosesnya.

Di Kalimantan, terutama di pedalaman Dayak, tradisi pindah rumah bersama juga terjadi. Dalam masyarakat semi-nomaden, rumah panjang dibongkar dan dibangun kembali bersama di lokasi baru. Meski tak selalu diangkat utuh seperti Ammembeng Balla’, semangat gotong royong dalam proses ini tetap sama kuatnya.

Yang menarik dari semua ini adalah adanya benang merah, masyarakat Indonesia di berbagai daerah memiliki cara unik untuk mengekspresikan solidaritas, kerja sama, dan kekeluargaan. Tradisi mengangkat rumah hanyalah salah satu wujud nyata semangat gotong royong itu. Tradisi-tradisi ini mungkin berbeda dalam istilah, teknik dan tata cara, namun tujuannya sama membantu sesama tanpa pamrih.

Dalam konteks Ammembeng Balla’, pemindahan rumah menjadi ajang kebersamaan yang melampaui sekadar kerja fisik. Perempuan memasak, anak-anak menyaksikan dan belajar, sementara laki-laki bekerja bahu membahu.

Tradisi serupa ini menunjukkan bahwa budaya Indonesia bukan hanya dibentuk oleh bangunan dan benda, tetapi oleh nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ammembeng Balla’ menjadi mozaik penting dalam keragaman itu, memperlihatkan bagaimana masyarakat Bantaeng merawat akar tradisi gotong royong dengan penuh kearifan.

Melalui perbandingan dengan daerah lain, kita semakin menyadari bahwa Ammembeng Balla’ bukan praktik asing, melainkan bagian dari kekayaan budaya Nusantara yang harus dijaga. Di tengah dunia yang semakin individualistik, tradisi ini menjadi warisan sekaligus pengingat bahwa kekuatan sejati terletak pada kebersamaan.

Upaya Pelestarian Ammembeng Balla’

Melestarikan tradisi bukan hanya mengulanginya, tapi juga memahami nilai di dalamnya dan mengadaptasikannya di tengah perubahan zaman. Ammembeng Balla’ adalah warisan budaya yang menghadapi tantangan besar di era modern. Perubahan gaya hidup, pergeseran nilai, dan perkembangan arsitektur modern membuat tradisi ini perlahan hilang dari keseharian masyarakat Bantaeng.

Rumah panggung kayu yang dulu umum kini tergantikan oleh rumah batu bata dan semen permanen, yang tidak bisa dipindahkan seperti rumah kayu. Di tengah mobilitas sosial dan kesibukan individu, mengumpulkan puluhan orang untuk memindahkan rumah pun menjadi sangat sulit.

Pemerintah Daerah Kabupaten Bantaeng juga memiliki peran penting. Dukungan dalam bentuk regulasi, fasilitasi kegiatan budaya, serta penghargaan kepada tokoh-tokoh pelestari tradisi menjadi salah satu bentuk penguatan dalam merealisasikan visi-misi kampanyenya.

Namun, pelestarian sejati tak cukup dari pihak atas saja. Kesadaran masyarakat, terutama generasi muda, sangat penting. Anak-anak muda harus memahami bahwa Ammembeng Balla’ juga milik mereka, bukan hanya generasi tua. Oleh karena itu, melibatkan generasi muda dalam kegiatan budaya adalah langkah strategis yang krusial.

Saya percaya bahwa Ammembeng Balla’ masih memiliki tempat dalam dunia modern, meski dalam bentuk yang mungkin sudah berbeda. Ia bisa menjadi simbol dalam upacara adat atau bahkan direka ulang sebagai bagian dari seni pertunjukan budaya. Nilai- nilai gotong royong, kebersamaan dan solidaritas tetap relevan dan bahkan semakin penting dalam kehidupan yang serba cepat dan individualistis hari ini.

Pelestarian tidak harus mempertahankan bentuk asli secara kaku. Selama nilai dan semangatnya hidup, tradisi itu tetap lestari. Ammembeng Balla’ adalah warisan yang harus dikenang dan dirawat dengan cinta, kesadaran, dan tanggung jawab lintas generasi.

Pergeseran Nilai Lain dalam Ammembeng Balla’

Meskipun bentuk fisik rumah panggung mulai tergantikan oleh rumah modern, masih banyak yang mempertahankan cara-cara yang nyaris identik dengan nilai ammembeng balla’, terutama dalam konteks berpindah rumah yang dikenal istilah antama Balla’. Istilah ini secara harfiah berarti ‘memasuki rumah baru’ dan bukan sekadar aktivitas pindahan tetapi juga mengandung makna sosial dan spiritual.

Di Kabupaten Bantaeng sendiri, tradisi antama balla’ sering diiringi dengan acara makan bersama yang melibatkan keluarga, tetangga, bahkan masyarakat sekitar. Kegiatan ini menjadi simbol kebersamaan, rasa syukur, serta penguatan ikatan sosial antarwarga.

Tradisi ini membuktikan bahwa meski aspek fisik dan lingkungan berubah, tata cara serta nilai kebersamaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap rumah sebagai entitas budaya tetap lestari tanpa perubahan signifikan.          

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 124-131.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *