Tallu Jera’ Karama’ ri Pattaneteang

“Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab, bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’ bukan ‘sampean’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Pertahankan apa yang jadi milik kita, kita harus serap ajarannya bukan budaya Arabnya” (KH. Abdurrahman Wahid)

Telah tampak dua ekor ayam yang tengah disucikan untuk memasuki arena  pa’bitteang jangang di pekarangan rumah sang pemilik Balla’ Toa yang kini telah menjadi rumah adat, menandakan bahwa ritual adat segera dimulai. Kepulan asap di atap rumah Balla’ Toa, tercium aroma wangi dari masakan para peziarah kubur. Darah binatang sembelihan pun mengalir, menandakan bahwa pa’rara yang merupakan sebuah ritual tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terwujudnya sebuah hajat, kini telah dilaksanakan.

Terletak di ujung Desa Pattaneteang tepatnya di Dusun Balla Lompoa. Nama dusun ini terinspirasi dari Balla’ Toa yang konon pemiliknya memiliki kekuatan besar dan sakral. Jera’ karama’ (kuburan sakral) terletak di depan Balla’ Toa, ditandai dengan adanya tangga menuju sebuah bangunan rumah yang di dalamnya berisi tiga jera’ karama’ yang sangat disegani oleh masyarakat setempat, maupun pengunjung ziarah dari berbagai daerah.

Untuk memasuki rumah jera’ karama’, peziarah diperkenankan untuk membawa rokok. Bangunan rumah tersebut terbagi dua. Bagian terluar terdapat jera’ karama’ yang berjenis kelamin laki-laki, disebut pallapa’ barambang. Bagian terdalam rumah terdapat jera’ karama’ berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Pallapa’  barambang merupakan orang yang ditunjuk/dipercaya untuk menjaga hal apa pun yang berkaitan dengan pemilik Balla’ Toa, dari semasa hidup hingga akhir hayat. Saat ini, keturunannya pun memiliki pallapa’ barambang. Puang Bata inilah yang kemudian diberikan kepercayaan untuk menjaga jera’ karama’ beserta dengan keturunannya yang masih hidup, hingga saat ini, tahun 2025.

Diceritakan oleh Puang Bata yang diperkirakan lahir pada tahun 1920-an, bahwa pemilik jera’ karama’ merupakan orang pertama  atau mula tau yang menempati kawasan ini. Ia juga dikenal memiliki ilmu panngissengang dantasawuf, membuatnya mampu untuk membuka perkampungan awal di Pattaneteang yang dulunya masih merupakan kawasan hutan lebat, sekaligus menyebarkan agama Islam pada masa itu.

Karaeng H. Pappa Mas, semasa hidupnya dikenal dengan nama Karaeng Lompo, merupakan keturunan dari pemilik jera’ karama’ Balla’ Toa yang juga merupakan kepala desa pertama di Pattaneteang.  Relasi antara pallapa’ barambang dengan pemilik jera’ karama’ adalah hubungan persaudaraan (tidak sedarah), keturunan di antara keduanya tidak boleh menikah karena telah ripassiana’.

Sebuah mitos beredar di masyarakat setempat, menyebut nama dari pemilik jera’ karama’ sangat dilarang, karena merasa angngali’ (takut, segan, sungkan) dan bisa membawa nakasa’ yang merugikan. Bahkan, keturunannya pun enggan menyebutkan nama dari kakek buyut mereka yang juga pemilik Balla’ Toa tersebut.

Dengan adanya warisan jera’ karama’ yang dicari oleh banyak orang untuk melakukan ziarah kubur dari berbagai daerah. Pa’rara yang dibawa oleh beberapa pengunjung ini bukan hanya pa’rara seperti pada umumnya, seperti ayam dan rokok. Namun, beberapa di antara mereka membawa kuda dan kerbau yang menunjukkan bukti yang perlu kita renungi bersama, mengapa kemudian seseorang membawa pa’rara hingga dengan hewan yang harganya terbilang fantastis?

Fenomenanya adalah, banyak orang luar daerah yang datang berkunjung,  sementara orang yang diberikan amanah, seperti keturunannya menjaga Balla’ Toa dan jera’ karama’ tersebut, sama sekali tidak memberikan informasi secara luas. Ketidakmauan dalam memberikan informasi adalah sesuatu yang mesti dihargai oleh masyarakat setempat maupun peziarah kubur. Menurut Puang Bata, peziarah kubur biasanya mendapatkan informasi melalui mimpi, kemudian mereka mencari sendiri jera’ karama’ yang ada di Pattaneteang.

Akses perawatan dan perbaikan bangunan pun ditanggung oleh seluruh keturunannya, tidak boleh dijangkau selain itu, termasuk pemerintah desa, karena banyak barang peninggalan yang harus dijaga termasuk kitab lontarak dan beberapa media pengobatan. Termasuk tanaman Tambara yang hanya bisa diambil menggunakan tetes darah dari keturunannya. Tanaman Tambara ini tidak tumbuh sembarangan, untuk di Pattaneteang sendiri, tanaman ini hanya tumbuh di sekitar Balla’ Toa.

Belum banyak ekspedisi dan penelitian geologis, arkeologis, dan antropologis, selama ini di wilayah Pattaneteang. Ekspedisi dan penelitian selama ini lebih banyak pada kawasan masyarakat adat Gantarangkeke, Pa’jukukang, Balla’ Tujua ri Onto yang ada di Kabupaten Bantaeng. Namun, pengunjung Balla’ Toa sendiri datang dari berbagai daerah, seperti Kajang, Tanah Toraja, Sidrap, dan masih banyak lagi.

Hal ini membuat para peneliti budaya dari luar daerah tertarik untuk meneliti situs jera’ karama’ yang sangat misterius ini. Namun, belum ada yang berhasil untuk menjadikan jera’ karama’ sebagai objek penelitian, karena tidak mendapatkan izin akses informasi dari keturunan jera’ karama’, maupun yang menjaganya.  Adapun yang kemudian memaksa untuk meneliti, kerap mendapat nakasa’ seperti rumah yang terbakar hingga berujung kematian.

Urgensi dari sebuah kemisteriusan jera’ karama’ adalah, semakin ke sini, generasi akan mendapatkan banyak suntikan pengetahuan baru dari berbagai sumber, yang bisa saja mempengaruhi eksistensi kesakralan dari jera’ karama’ ini, karena identitas nama yang tidak diketahui atau diketahui tapi tidak bisa disebarluaskan dan masih banyak hal yang misterius, serta menjadi sebuah pertanyaan yang tidak bisa terjawab dengan bukti kasat mata.

Suguhan kecanggihan teknologi yang menggiurkan, serta ilmu pengetahuan yang sangat luas, sehingga generasi mendatang kemudian akan memiliki kemampuan menafsirkan sesuatu, sesuai dengan pemahamannya, termasuk yang berkaitan dengan kesakralan.

Ketika seseorang mendapatkan sebuah keajaiban dari pengetahuan maka akan terlahirlah dua anak. Anak pertama ia mampu menggunakannya dengan arif lagi bijaksana, dan anak kedua ia sombong dengan pengetahuan yang didapatkannya, bahkan jika sudah tidak sesuai dengan pemahamannya tersebut, maka akan dengan gampang mengatakan bahwa pemahaman orang lain dangkal, tidak relevan lagi untuk digunakan saat ini.

Padahal kita ketahui bersama, bahkan sesuatu yang ada dan terjadi pada zaman dahulu itu memiliki makna tersendiri, olehnya perlu dilestarikan, karena orang terdahulu juga tidak sekedar memberikan warisan untuk anak cucunya di masa datang, baik itu warisan benda maupun warisan yang tak benda.

Mereka memiliki kecerdasan dan spiritualitas yang kuat, sehingga mampu bertahan hingga saat ini. Selain itu juga, mereka telah mempersiapkan banyak hal yang bahkan tidak mesti orang mengetahui identitas namanya, tapi tetap disakralkan hanya melalui sebuah bangunan peninggalan jera’ karama’.

Berbicara soal ziarah kubur, dalam sebuah penelitian yang berjudul “Makna Ziarah Makam Re’a sebagai Bentuk Komunikasi Transendental Study Etnografi Makam Re’a di Bayan Lombok Utara” oleh Mariadi dkk dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, menyatakan bahwa komunikasi   transendental  adalah   bentuk   komunikasi   antara Tuhan  dan  manusia  menggunakan media metafisik. 

Ini mendeskripsikan  konsep  dasar  manusia  sebagai mahluk sosial yang indentik dengan keterbatasannya dalam   melangsungkan   kehidupan, maka   dari   itu  membangun   komunikasi antara  sesama manusia  dan Tuhan, atau  komunikasi vertikal maupun horizontal, adalah sesuatu yang harus  dilakukan oleh setiap  individu  dan juga masyarakat sekaligus    menggambarkan    sikap  manusia   yang   humanis, (M Mariadi, 2023).

Percaya atau tidak, telah banyak masyarakat lokal maupun luar yang berkunjung untuk menunaikan hajatnya. Telah banyak juga yang terkena kannyarrangngang atau nataba nakasa’ karena tidak mengikuti atau mengindahkan pappakainga’ dari pallapa’ barambangna tallu jera’ karama’ ri Pattaneteang.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 83-87.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *