Sebuah Manifesto Perlawanan dan Kesetiaan pada Tanah Luka.
I
Secangkir kopi hitam menatap pagi yang retak
Di antara reruntuhan doa dan debu mesiu
Seorang ibu mengaduk gula dari air mata
Menyuguhkan harapan pada anak yang tak sempat dewasa.
(hening sejenak — suara bom jauh di latar pikiran)
II
Di bawah lampu neon — Starbucks menulis nama di gelas tanpa makna
Barista tersenyum pada aroma yang tak tahu darah
Sementara Gaza meminum bara sebagai sarapan
III
Kopi hitam tak punya logo, tak punya saham
Ia lahir dari penderitaan, diseduh oleh sabar
dari tangan yang gemetar namun tak menyerah
Menunggu fajar yang mungkin tak pernah datang
IV
Gaza — menyeduh kopi dengan sisa air wudhu
Menuang pahit seperti menulis syair
Setiap teguknya adalah doa yang terjaga
V
Starbucks menjual rasa,
Gaza menjual nyawa
Satu menukar aroma dengan dolar
satu menukar darah dengan keabadian
VI
Kopi hitam Gaza — tak butuh lampu studio tak butuh slogan
Ia bercahaya dari bara keyakinan
Dari langit yang gelap tapi penuh iman
VII
Anak-anak Gaza minum dari tangan ibunya
Bukan untuk kuat — tapi untuk bertahan
Mereka meneguk keberanian dari pahit suci
Dan tersenyum kepada maut seperti sahabat lama
VIII
Starbucks — wajah kapital yang lembut
Gaza — wajah kemanusiaan yang keras
Yang satu menjual kenyamanan
Yang satu menegakkan kebenaran
IX
Dalam secangkir kopi hitam
ada sejarah, ada sabar, ada sabda Ibrahim
Ada debu dari langkah Musa
dan doa dari rahim para ibu yang kehilangan
X
Starbucks menulis “Freedom” di papan iklan
Tapi Gaza menulis “Laa ilaaha illallah”
dengan darahnya sendiri
Di tembok yang tak lagi punya warna
XI
Kopi hitam Gaza
Tak kenal diskon, tak kenal musim
Ia diseduh di bawah sirene
dan disajikan dengan sepotong keberanian
XII
Di Khan Younis, kopi hitam diseduh
di Rafah, ia dibagikan kepada syuhada
Setiap tetesnya menyimpan surah pendek
yang dibaca malaikat tanpa suara
XIII
Starbucks adalah simbol kenyamanan global
Sementara Gaza simbol kemanusiaan nyata
Satu hidup dalam kemasan
Yang lain hidup dalam luka
XIV
Kopi hitam Gaza
tak manis, tapi jujur
Tak harum, tapi abadi
Tak mahal, tapi suci
XV
Starbucks memotret latte di bawah cahaya studio
Sementara Gaza memotret anak-anak di bawah cahaya api
Dua dunia berseberangan
satu tidur nyenyak, satu terjaga selamanya
XVI
Kopi hitam Gaza diseduh dari abu
Dituang dalam cangkir retak
Dihirup bersama ayat-ayat
Dan ditelan bersama kesabaran
XVII
Starbucks takut kehilangan pelanggan
Gaza takut kehilangan iman
Itulah bedanya —
antara hidup dalam iklan, dan hidup dalam perjuangan
XVIII
Setiap pahit kopi Gaza adalah surat cinta
yang dikirim ke langit
diterima oleh para syuhada
dan dibalas dengan ketenangan
XIX
Starbucks memproduksi kenikmatan palsu
Gaza memproduksi keberanian sejati
Yang satu menidurkan nurani
yang lain membangunkan dunia
XX
Dan ketika semua lampu dunia padam
ketika logo-logo jatuh
kopi hitam Gaza tetap mengepul
karena bara kebenaran tak pernah mati
(hening panjang — lalu suara pembaca menurun menjadi bisikan)
Di akhir sejarah
ketika semua gelas Starbucks kosong
dan dunia lupa bagaimana caranya berdoa
akan ada secangkir kopi hitam di tangan seorang anak Gaza —
menatap langit
meneguk pahitnya
dan tersenyum.
XXI
Di Gaza, pagi disambut bukan dengan musik
melainkan desing peluru
setiap hirupan menjadi bentuk doa
setiap kepulan asap adalah pesan untuk langit.
XXII
Starbucks menulis kisah pada cangkir plastik
sementara Gaza menulisnya pada tembok yang hancur
satu sisi tentang gaya hidup
satu sisi tentang kehidupan itu sendiri.
XXIII
Kopi hitam adalah simbol kesetiaan
ia tak berkhianat pada lidah
pahitnya jujur seperti perjuangan
dan panasnya setia seperti api keyakinan.
XXIV
Starbucks adalah etalase kapitalisme
menyeduh kenyamanan dari penderitaan dunia
setiap seruput adalah saham penjajahan
yang ditulis dengan tinta korporasi.
XXV
Namun di Gaza, kopi bukan bisnis
ia adalah ibadah dalam bentuk cair
yang diseduh dari sabar
dan dihidangkan oleh tangan yang masih bergetar.
XXVI
Kopi hitam di Gaza tak pernah dingin
ia disajikan dalam cangkir perang
berwarna tanah, beraroma darah
namun tetap memanaskan iman.
XXVII
Starbucks memotret latte di bawah lampu neon
sementara Gaza memotret anaknya di bawah reruntuhan
dua dunia yang tak pernah bersentuhan
kecuali dalam hati yang masih punya nurani.
XXVIII
Kopi hitam Gaza adalah kisah perlawanan
yang diseduh di atas bara tank baja
dengan sendok dari peluru bekas
dan gula dari kenangan yang belum mati.
XXIX
Starbucks menjual kopi di bursa saham
menukar rasa dengan kebisuan global
sementara Gaza menukar nyawa dengan harga diri
dan tetap menyeduh meski listrik padam.
XXX
Kopi hitam itu, sahabatku
telah menjadi saksi tiap pagi di Rafah
di Khan Younis, di Deir al-Balah
ia tahu bau darah lebih baik daripada aroma karamel.
XXXI
Starbucks membuka cabang di tanah jajahan
menawarkan promo dua beli satu
sementara Gaza menawarkan seteguk harapan
beli dengan air mata, gratis dengan kesabaran.
XXXII
Kopi hitam bukan sekadar minuman
ia adalah manifestasi kejujuran
bahwa dunia ini pahit
tapi kepahitan itu membuat kita bangun dan sadar.
XXXIII
Starbucks takut kehilangan pelanggan
tapi Gaza takut kehilangan iman
dua ketakutan yang berbeda langit
dua rasa yang tak bisa disamakan.
XXXIV
Kopi hitam di Gaza tetap menguap
meski bom jatuh dari langit
karena mereka tahu:
selama masih bisa menyeduh, mereka masih bisa berharap.
XXXV
Starbucks menulis kutipan motivasi di cangkirnya
“be yourself”, katanya sambil menjual kemasan
sementara Gaza menulis di tembok:
“kami tetap di sini, meski dunia pergi.”
XXXVI
Kopi hitam mengajarkan kesetiaan pada tanah
karena setiap tetesnya berasal dari akar yang berdoa
tak ada yang palsu dalam pahitnya
semuanya nyata seperti luka yang belum kering.
XXXVII
Starbucks membangun citra “ramah lingkungan”
namun tak tahu apa itu kehilangan bumi
tak tahu rasanya meminum air dari puing
atau menyeduh kopi dengan air mata anak yatim.
XXXVIII
Kopi hitam Gaza adalah puisi tanpa pena
ia dibacakan di antara sirene dan takbir
dan setiap tegukannya
menjadi perlawanan yang tak bisa dimusnahkan.
XXXIX
Starbucks adalah gaya hidup penonton
sementara Gaza adalah kehidupan itu sendiri
yang terus menyala dalam reruntuhan
seperti bara kecil yang menolak padam.
XL
Dan kelak, sahabatku
ketika dunia lelah mengejar kemasan
hanya kopi hitam Gaza yang akan tersisa
pahit, jujur, dan membebaskan manusia dari tidur panjangnya.
Kredit gambar: https://chatgpt.com/s/m_68e3bdca3d9c8191a7387072a6980bdb

Lahir di Sorowako, 1 Februari 1969. Menempuh studi pada Jurusan Teknik Kimia Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Sewaktu mahasiswa, ia pernah menjabat Ketua Umum HMI-MPO Cabang Makassar, 1996-1997. Saat ini ia berkecimpung dalam dunia usaha, sebagai Direktur Utama PT. Pontada Indonesia. Telah mengarang buku puisi berjudul, Ziarah Cinta (2015).
Leave a Reply