Balla Pammari-marianna Onto adalah sebuah bangunan sederhana yang disusun dari beberapa buah balok, beratapkan seng yang secara filosofis didirikan sebagai wujud penghormatan dalam bentuk tempat singgah untuk beristirahat sejenak atau mungkin untuk berteduh dari panas terik dan hujan.
Balla pammari-marianga ini lahir dari sebuah mimpi seorang leluhur yang tertidur lelap dalam keheningan malam, lalu melihat bahwa banyak sekali di antara roh para leluhur pendahulunya yang senang singgah sejenak di depan rumahnya, sebelum melanjutkan perjalanan.
Mengingat baktinya pada para leluhur, juga sebagai bentuk penghormatannya kepada para roh leluhur yang sudi untuk menjadikan halaman depan rumahnya sebagai tempat persinggahan, maka dari itulah ia membuat sebuah bangunan sederhana sebagai wujud hormat dan baktinya.
Situs sejarah balla pammari-mariang ini terletak di Kelurahan Karatuang, Kecamatan Bantaeng, yang di bagian utaranya berbatasan dengan Kecamatan Sinoa dan di bagian timur dengan Kecamatan Eremerasa. Konon katanya, dahulu, Karatuang ini adalah sebuah kerajaan yang berdiri sendiri dan dipimpin oleh seorang raja. Kerajaan ini bertetangga dengan wilayah Onto yang dikenal sebagai cikal bakal dari Wilayah Karatuang.
Keterkaitan sejarah antara Karatuang dan Onto inilah, yang menjadikan mimpi dari seorang leluhur di Karatuang ini, sebagai sebuah isyarat, bahwa para pendahulunya yang berjalan melewati Karatuang dan menuju Onto hendaknya diberikan penghormatan saat melintas di wilayah Karatuang.
Menurut tradisi tutur masyarakat Karatuang, balla pammari-mariang ini sudah berumur nyaris seabad, karena sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia yaitu pada tahun 1945. Bangunan ini, saat dibangun dahulu tidak serta-merta didirikan begitu saja, melainkan telah melalui berbagai tradisi dan upacara adat saat pembangunannya.
Proses pembuatan saat itu, dihadiri oleh warga sekitar, dimulai dengan terlebih dahulu menempatkan sajian sederhana di atas tanah yang akan dibangun, berupa pa’dinging dengan isian beberapa penganan sederhana. Setelah membaca doa-doa untuk memohon keberkahan dan keselamatan, maka didirikanlah bangunan itu dengan menggunakan 4 tiang dari kayu jati sebagai simbol dan pondasi awal dari berdirinya balla’ tersebut. Setelah upacara awal dan pemasangan tiang dilaksanakan, barulah kemudian pembangunan bagian lain dari bangunan tersebut diselesaikan.
Seiring berjalannya waktu, dengan warga yang semakin meyakini keberkahan dari balla’ tersebut, sehingga pada tahun 1985 dimulailah pesta adat dan akkawaru yang dilaksanakan sebagai tanda penghormatan pada perjuangan dan pengorbanan para leluhur.
Dalam akkawaru ini, warga sekitar biasanya membawa beberapa sesajian sebagai penghormatan pada leluhur seperti kelapa muda, pisang muda, baje’, songkolo dari beras merah, beras ketan putih, beras ketan hitam, dan beras putih biasa. Selain hasil bumi, warga sekitar juga membawa beberapa panganan dan kue tradisional seperti cucuru labba, kero-kero, dan dumpi kebo. Semua makanan yang dibawa ini lalu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam satu bakul yang telah disiapkan.
Selain akkawaru, di balla’ ini juga pernah diadakan penyembelihan seekor kerbau, karena salah seorang tetua di masyarakat diberikan mimpi oleh leluhur untuk disembelihkan seekor kerbau. Proses penyembelihan ini diiringi dengan tari pakarena yang ditampilkan di area sekitar balla’ tersebut, dengan iringan musik tradisional dan gendang. Selama upacara adat ini, pakaian yang digunakan oleh kaum pria haruslah songkok passapu patinra dan jas tutup berwarna hitam, sementara untuk kaum wanita, diharuskan menggunakan baju bodo dan lipa sabbe beserta hiasannya.
Rangkaian prosesi adat ini lalu diakhiri dengan kegiatan pamanca yang dilaksanakan sebagai bagian dari penghormatan dan hiburan pada para leluhur dan masyarakat yang hadir.
Seiring berjalannya waktu, hingga kini, balla’ tersebut masih berdiri kokoh dan terus dipandang sebagai simbol dari penghormatan leluhur. Balla’ tersebut sampai detik ini masih diyakini sebagai bangunan yang memberikan barakka’ atau berkah terhadap keluarga sang pemilik halaman rumah dan masyarakat sekitar. Keyakinan inilah yang menjadikan rumah ini masih sering menjadi pusat pelaksanaan tradisi adat di wilayah Karatuang.
Tradisi dan keyakinan warga ini masih terus bertahan, karena beberapa warga pun masih selalu diberikan mimpi oleh leluhurnya tentang mereka, para leluhur yang masih rutin singgah di dalam balla dengan memakai pakaian adat sempurna lalu duduk beristirahat di dalam balla’.

Lahir di Bantaeng 19 November 1993. Profesi saat ini sebagai tenaga pendidik di SMKN 1 Bantaeng. Hobi membaca dan menulis. “Menulis adalah cara saya untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan orang lain.” Dengan latar belakang sebagai tenaga pendidik di SMKN 1 Bantaeng, Wahab memiliki keterampilan menulis yang dapat diaplikasikan dalam proses belajar di kelas. Berharap dapat terus berbagi ilmu dan pengalaman melalui tulisan-tulisan, karena dengan berbagi kebaikan kepada peserta didik maka akan memberikan dampak besar bagi kehidupan.
Leave a Reply