Tradisi A’bunga ri Daeng Toa Pakkalimbungang

Di balik nisan-nisan tua yang sunyi, masih banyak masyarakat yang percaya bahwa kuburan bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, melainkan juga sarang kekuatan gaib, yang bisa dimintai pertolongan, sebuah keyakinan yang terus hidup, meski katanya kerap bertentangan dengan ajaran Islam.

Kepercayaan masyarakat Bantaeng pada khususnya, sebelum menganut Islam telah menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (monotheisme). Meski demikian, tidak berarti bahwa masyarakat Bantaeng tidak memercayai adanya dewa-dewa, di samping ada pula kekuatan yang ada pada benda dan roh nenek moyang.

Di antara kepercayaan tersebut, yakni attowanang (menjamu) atau memberikan sesajen di saukang-saukang, biasanya juga dilakukan di pohon, batu, atau kuburan yang dikeramatkan, yang di lakukan oleh masyarakat Bantaeng pada waktu itu, sebagai bentuk pengabdian dan penghormatan, kepada leluhur atau nenek moyang mereka, untuk mendapatkan restu dan perlindungan, dari kutukan dan bencana.

Salah satu tradisi yang menjadi kontroversi di masyarakat, khususnya di Kelurahan Bonto Lebang, Kecamatan Bissappu, Kabupaten Bantaeng, yaitu tradisi A’bunga ri Daeng Toa Pakkalimbungang.

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan warisan budaya dan tradisi lokal, yang melekat erat dalam kehidupan masyarakatnya. Salah satu tradisi tersebut, dapat ditemukan di tanah berjuluk Butta Toa, yakni tradisi A’bunga ri Daeng Toa Pakkalimbungang.

Datuk Pakkalimbungan, atau yang bernama asli Syekh Amir ini, dijuluki Daeng Toa oleh masyarakat sekitar. Syekh Amir dikagumi oleh masyarakat karena ilmu dan kesederhanaannya. Sehingga setelah ia wafat pun banyak masyarakat yang datang menziarahi makamnya. Masyarakat memandang bahwa hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan, karena jasanya dalam menyebarkan ajaran Islam.

Saat Bantaeng menyambut Islam pada tahun 1607 M, ajaran Islam disebarkan ke seluruh masyarakat, tapi budaya asli masih tetap bertahan. Persentuhan Islam serta budaya lokal, menghasilkan percampuran antara budaya dan syariat, hal ini terlihat dari tersisanya rongga hidup tradisi pra-Islam di makam-makam muslim, dan upacara-upacara yang mengiringi perkabungan ketika orang Bantaeng pertama kali masuk Islam.

Tradisi ini merupakan bentuk praktik keagamaan, yang dilakukan masyarakat setempat, sebagai penghormatan terhadap tokoh berpengaruh dalam sejarah Islam di wilayah tersebut, yaitu Daeng Toa. Keberadaan tradisi ini menjadi menarik, karena berada di persimpangan antara nilai budaya yang diwariskan secara turun temurun, dan pandangan teologis yang mengkritisinya.

Makam Daeng Toa setiap tahunnya menjadi tujuan ziarah bagi banyak orang, tidak hanya dari Bantaeng, tetapi juga dari daerah sekitar, seperti Bulukumba dan Jeneponto. Ziarah ini bukan sekadar kunjungan biasa, melainkan bagian dari sebuah tradisi yang disebut A’bunga ri Daeng Toa Pakkalimbungang. Tradisi ini diyakini sebagai wujud penghormatan terhadap jasa-jasa Daeng Toa dalam menyebarkan Islam di tanah Bantaeng.

Secara umum, tradisi ini dilakukan melalui tiga tahapan utama. Pertama, kegiatan ziarah kubur, di mana para peziarah datang untuk mendoakan dan mengenang jasa sang ulama. Kedua, prosesi mengikat atau melepaskan tali, yang diyakini sebagai simbolisasi pengikatan atau pelepasan hajat tertentu oleh peziarah. Ketiga, kegiatan berendam di Sungai Panaikang, yang dipercaya memiliki makna penyucian diri baik secara fisik maupun spiritual.

Namun, dalam praktiknya, tradisi ini tidak lepas dari kontroversi. Sebagian masyarakat menganggap bahwa a’bunga adalah bagian dari kearifan lokal yang harus dilestarikan. Mereka menilai bahwa kegiatan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, selama dilakukan dengan niat yang benar. Tradisi ini pun telah menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Bantaeng.

Di sisi lain, ada pula kelompok masyarakat dan tokoh agama, yang menilai bahwa beberapa aspek dalam tradisi ini berpotensi mengarah pada perilaku syirik. Permintaan atau harapan yang disampaikan oleh peziarah di hadapan makam, terutama jika dimaknai sebagai permohonan langsung kepada almarhum, dianggap bertentangan dengan ajaran tauhid dalam Islam. Kekhawatiran ini muncul, karena adanya praktik yang dianggap menyimpang, seperti keyakinan bahwa Daeng Toa dapat menjadi perantara yang menyampaikan doa kepada Allah Swt.

Perbedaan persepsi ini menggambarkan adanya dialektika antara nilai-nilai tradisional dengan ajaran keagamaan yang bersifat normatif. Dalam konteks ini, diperlukan pendekatan yang bijak dan edukatif agar masyarakat dapat memahami dan memaknai tradisi tersebut secara proporsional. Pelestarian budaya tetap penting, tapi harus dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang dianut.

Tradisi A’bunga ri Daeng Toa Pakkalimbungang merupakan cerminan dari kedalaman budaya dan spiritualitas masyarakat Bantaeng. Meskipun menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan masyarakat, tradisi ini tetap menjadi bagian penting dari identitas lokal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan edukatif, dialog antar tokoh agama dan masyarakat, serta pengkajian lebih lanjut dari perspektif budaya dan teologi. Dengan cara ini, tradisi lokal dapat tetap hidup dan bermakna, tanpa menyalahi prinsip-prinsip keimanan yang mendasar.

Daftar Pustaka:

1. https://www.google.com/url?q=http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.

2. https://jadesta.kemenparekraf.go.id/atraksi/kuburan_syekh_muhammad_amir_daeng_toa_pakkalimbungan

3. http://repositori.uin alauddin.ac.id/22124/1/AYU%20ANDIKA_30100117018.pd f

Catatan: Tulisan ini telah dimuat pada buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 217-219.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *