Sipammopporang: Warisan Maaf dari Kakek untuk Negeri

“[yaitu] orang-orang yang menafkahkan [hartanya], baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan [kesalahan] orang. Allah menyukai orang-orang yangberbuat kebajikan.” (Q.S Ali Imran/3 ayat 134).

Dulu, rumah kakek saya adalah tempat berkumpulnya semua anak dan cucunya setiap lebaran, baik Idulfitri maupun Iduladha. Terutama Idulfitri, suasana Syawalan sangat terasa dan kental di rumah kakek.

Saya adalah cucu tertua dari ibu saya (Kamariah) dari delapan bersaudara: empat laki-laki dan empat perempuan. H. Syamsuddin (wafat, tanggal 11 September 2021), kakek saya yang usianya waktu itu menjelang satu abad, duduk di kursi paling ujung ditemani dengan tasbih di tangan kanannya. Setiap anak, menantu, dan cucunya datang berjabat tangan, selalu ada ungkapan yang diprotes oleh kakek.

Saya yang suka duduk paling dekat dengan kursinya, sering mendengar langsung sebuah ungkapan ketika menyedorkan tangannya untuk berjabat tangan, “Kipammopporang,” (maafkanlah saya) Aji. Respon langsung dari kakek, “Ulangi!” Terdengarlah suara ibu saya dari kejauhan, yang duduk dekat dapur, sebagai anak perempuan tertua, yang lebih awal diajarkan kepadanya karena paling awal tiba di rumah kakek, mengajarkan ungkapan yang tepat: “sipammopporangki” (kita saling memaafkan). Begitulah caranya supaya berjabat tangan sang anak dengan orang tuanya supaya diterima, dan sang cucu dengan kakeknya saling bermaafan di satu rumah tempat berkumpulnya sanak keluarga, terutama anak dan cucu pada salah satu lingkungan keluarga besar almarhum H. Syamsuddin di Tiao, Borongkalukua, Kelurahan Tanah Loe.

Jumat, 21 Februari 2025 di Ruang Baca Perpustakaan Daerah Kab. Bantaeng, saya bersama beberapa teman guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam tingkat SMA Kabupaten Bantaeng, berkumpul untuk bermusyawarah (MGMP PAI), membincang permasalahan masing-masing di sekolah sebagai tantangan bersama dalam pembelajaran dan kegiatan keagamaan di sekolah, persiapan Ramadan, persiapan Ujian Sekolah. Hadir pula Pak Syarifuddin, bernama lengkap Syarifuddin, S.Ag., M.Pd.I, pengawas tingkat menengah PAI Kementerian Agama Kabupaten Bantaeng.

Pak Syarifuddin, memberikan pesan bermakna kepada guru PAI, bahwa kita bersyukur atas program Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai pentingnya 7 kebiasaan anak Indonesia, yaitu: bangun pagi, rajin beribadah, rajin berolahraga, makan sehat dan bergizi, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat. Tetapi ada satu hal penting bagi kita sebagai seorang muslim yang harus disadari bersama. Sekarang ini banyak anak tidak salat Subuh, ia hanya ditekankan pada cepatnya bangun pagi. Bukan bangun sebelum salat Subuh.

Pesan penting lainnya adalah, seperti yang diajarkan oleh orangtua dulu, dan menurutnya selaku orangtua telah mengamalkan kepada anak-anaknya sejak SMP, dan sekarang sudah sukses lanjut kuliah dengan segudang prestasi.

Dikisahkan bahwa, “Sebelum anak-anak saya berangkat ke sekolah, saya harus pastikan bahwa semua anak saya berjabat tangan dulu dengan ayah dan ibunya. Sipammopporang (kita saling memaafkan). Anak meminta maaf kepada bundanya. Tetapi kata sang bunda, “Saya maafkan, asalkan belajarlah dengan sungguh-sungguh, berikut pesan positif lainnya. Setelah itu sang anak juga berjabat tangan kepada ayahnya dengan pesan yang sama, saya maafkan, tetapi harus dengan belajar yang sungguh-sungguh. Kata kuncinya adalah pentingya pembiasaan orangtua dan anak sipammopporang (saling memaafkan) sejak dari rumah, pembiasaan yang baik sebelum berangkat ke sekolah. Ungkapan hati yang tulus, doa dari bunda dan ayah, yakinkanlah bahwa Allah akan mengabulkannya.

Dua kisah tadi, pesan sang kakek kepada cucu, dan pak pengawas kepada guru binaannya, merupakan pesan sederhana, tetapi sangat kaya dengan makna. Namun, kebanyakan orang melalaikannya, atau mungkin kurang peduli untuk menyelami kedalaman ilmunya yang sangat islami. Dalam QS. Ali Imran/3 ayat 134 ditemukan pesan, bahwa seorang Muslim yang bertakwa dituntut, untuk mengambil salah satu dari tiga hal kepada seseorang yang melakukan kekeliruan terhadapnya, yakni: menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik terhadapnya.

Orangtua yang dengan segala kekecewaan kepada anaknya, karena harapan yang tak tergapai akan takluk ketika sang anak datang bersimpuh meminta maaf kepada sang bunda dan ayahnya. Ayahnya pun dengan kelapangan hatinya menyadari bahwa anak bukanlah orang dewasa mini, sehingga terkadang memperlakukan anak selayaknya orang dewasa. Pintu permaafan dari lubuk hati yang paling dalam menjadi pemantik tumbuhnya kebaikan terhadap sesama, mudah meraih keberkahan ilmu.

Sang Kakek yang sudah kaya dengan pengalaman, otoritas yang memang layak menjadi otoriter sebagaimana sering dikisahkan dulu ketika dididik oleh orangtua zaman dahulu kala. Pastilah sistemnya adalah otoriter dan diktator. Tetapi hidup di era kini, sudah banyak orangtua menimba ilmu, misalnya dari televisi, platform digital lainnya, yang memosisikan diri selaku manusia harus saling memanusiakan dan memahami setiap keadaan. Termasuk anak yang hidup zaman sekarang sudah berbeda dengan zamannya sang kakek di masa lalu.

Olehnya, posisi sipammopporang (saling memaafkan) sesungguhnya adalah ungkapan kerendahan hati orangtua dan kakek, bahwa yang namanya salah dan dosa bukan hanya dari anak kepada orangtuanya, bukan pula dari cucu kepada kakek/neneknya, tetapi potensinya dapat bersumber dari mana saja, oleh siapa saja, dan kapan saja.

Marilah kita semua dengan tangan terbuka dan hati yang lapang untuk sipammopporang (saling memaafkan), agar nafsu tidak menjadi penguasa dalam diri, tahan amarah dengan sabar dan syukur. Bukalah pintu maaf selebar-lebarnya agar pintu kebaikan juga terbuka seluas-luasnya. Jangan menunggu waktu sekali atau dua kali dalam setahun, yakni pasca Idulfitri atau Iduladha, tetapi jadikanlah sikap saling memaafkan sebagai pembiasaan setiap hari untuk melembutkan hati dan kepedulian terhadap sesama.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *