Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York, pada 23 September 2025, menyampaikan pidato “Seruan Indonesia untuk Harapan” yang mendapat sorotan luas dunia internasional.
Dalam pidato itu, ia menegaskan bahwa Indonesia mendukung solusi dua negara (two-state solution) dan menyerukan agar dunia mengakui Palestina sebagai negara merdeka: “Kita harus mengakui Palestina sekarang. Kita harus menghentikan bencana kemanusiaan di Gaza.”
Namun, di saat yang sama, Prabowo menambahkan syarat yang mencerminkan kompromi: bahwa Indonesia akan mengakui Israel jika Israel terlebih dahulu mengakui kemerdekaan dan negara Palestina, serta bahwa keamanan Israel harus dijamin dan dihormati: “Kita harus menjamin negara Palestina, tetapi Indonesia juga menyatakan bahwa begitu Israel mengakui kemerdekaan dan kenegaraan Palestina, Indonesia akan segera mengakui Negara Israel dan akan mendukung semua jaminan keamanan Israel.”
Dalam kerangka diplomasi tersebut, Prabowo juga menyatakan kesiapan Indonesia mengirim pasukan penjaga perdamaian, hingga menawarkan kontribusi besar dalam diplomasi dan aksi multilateral: “Kami bersedia menyediakan pasukan penjaga perdamaian.”
Di sisi lain, dalam pertemuan resmi sebelumnya bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron, Prabowo sempat menyatakan bahwa Indonesia siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika Israel mengakui kemerdekaan negara Palestina, sambil menekankan bahwa keamanan Israel harus dijamin.
Pernyataan tersebut segera memunculkan kritik keras dari berbagai pihak. Tirto menyoroti bagaimana pidato Prabowo diamplifikasi sebagai bentuk pujian Israel — bukan sebagai pengakuan atas keberpihakan tegas Indonesia — melainkan sebagai jebakan naratif yang dapat menggeser posisi Indonesia ke dalam garis kompromi yang menguntungkan Israel.
Pernyataan Prabowo yang menyebut bahwa “peace for Palestine can only come when everyone acknowledges, respects, and ensures Israel’s security as well” juga menjadi bahan kritik karena dianggap menyematkan persyaratan moral kepada korban terlebih dahulu.
Kita harus mengecam kompromi-kompromi semacam ini sebagai bentuk standar ganda yang nyata: ketika ia menyerukan kemerdekaan Palestina, tetapi meletakkan syarat agar Israel terlebih dahulu menunjukkan itikad baik. Ketika ia mengecam kekerasan terhadap warga sipil Palestina, namun enggan menyebut terang-terangan bahwa Israellah pelaku pendudukan dan penindasan konstan.
Padahal, dalam konteks sejarah dan moral bangsa Indonesia, kemerdekaan Palestina bukanlah isu yang sepatutnya dikaitkan dengan persyaratan terhadap Israel. Kita boleh menyatakan bahwa keamanan semua pihak penting, tetapi bagaimana mungkin kita meletakkan beban moral pada negara penjajah sebagai syarat legitimasi kita? Ini sama seperti berkata: “saya ingin membela yang tertindas, tapi biarkan si penindas tetap punya hak veto moral.”
Kritik paling pedih: Prabowo telah menggambarkan posisi Indonesia sebagai “penengah adil” ketika seharusnya menjadi pendukung yang konsisten dalam barisan kemerdekaan. Ia bercokol dalam kerangka diplomasi status quo, bukan kerangka transformasi keadilan global. Ia berbicara mengenai pengakuan dan jaminan keamanan Israel — padahal aspek paling mendasar yang diserang dalam konflik ini adalah penjajahan, perampasan tanah, pemukiman ilegal, pembongkaran rumah, pengusiran warga, pemboman kawasan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia yang sistemik.
Dengan menyebut “keamanan Israel harus dijamin”, ia sekadar merangkul narasi negara besar: bahwa negara Israel punya hak atas rasa aman sementara rakyat Palestina dibiarkan terus hidup di bawah pendudukan, blokade, bombardir, dan kesengsaraan. Ini menjadi bentuk soft power diplomasi yang menjebak, seakan legitimasi penguasa lebih utama daripada legitimasi rakyat yang tertindas.
Kita katakan keras: jika Prabowo ingin benar-benar menjadi seperti Iran dalam keberpihakan Palestina, ia harus menghapus syarat-syarat kompromi. Ia harus menyatakan secara terbuka bahwa Indonesia tidak akan melakukan hubungan diplomatik dengan Israel sampai Israel menghentikan pendudukan, menghormati hak kembali pengungsi Palestina, menghapus blokade Gaza, dan menarik semua pemukiman ilegal. Ia harus mengutamakan legitimasi moral dan solidaritas historis di atas pertimbangan pragmatis keamanan Israel.
Perilaku diplomatiknya hari ini memperlihatkan bahwa Prabowo memilih jalur aman: menjaga keseimbangan agar ia tidak dikritik Barat, agar ia tidak “diboikot” dalam aliansi global, agar Indonesia tetap menjadi mitra dagang dan strategik bagi negara besar. Tetapi kepemimpinan moral tidak boleh tunduk pada tekanan kekuatan besar. Bila kita terus berkelakar bahwa “keamanan Israel harus dijamin” sementara Palestina terus dibombardir — maka kita telah menjadikan penderitaan mereka hanya sebagai bahan diplomasi, bukan sebagai panggilan moral yang memaksa kebenaran.
Dalam kerangka ini, kutipan-kutipan Prabowo sendiri adalah senjata untuk menajamkan kritik: ketika ia menyerukan pengakuan Palestina tapi segera menambahkan syarat pengakuan terhadap Israel; ketika ia menawarkan pasukan perdamaian tapi tidak menegaskan sanksi terhadap Israel; ketika ia mengutuk kekerasan terhadap warga sipil Palestina tapi enggan menyebut penjajah sebagai musuh yang harus ditentang.
Akhirnya, kita harus menuntut agar Prabowo tidak lagi berbicara dengan diplomasi tanda tanya. Kita menuntut ia berani menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdiri teguh di pihak yang benar, bukan negara yang selalu menimbang-nimbang agar tetap diterima di meja kekuatan besar. Agar esok hari, generasi muda Palestina tak bertanya, “di manakah Indonesia?” sambil menatap reruntuhan rumah mereka. Agar sejarah mencatat, bukan seorang presiden yang pandai kompromi, tapi seorang pemimpin yang tidak pernah menjual harga diri demi kenyamanan diplomatik.
Kredit gambar: https://chatgpt.com/s/m_68dddd58e0c88191903944c1e2d89d25

Lahir di Sorowako, 1 Februari 1969. Menempuh studi pada Jurusan Teknik Kimia Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Sewaktu mahasiswa, ia pernah menjabat Ketua Umum HMI-MPO Cabang Makassar, 1996-1997. Saat ini ia berkecimpung dalam dunia usaha, sebagai Direktur Utama PT. Pontada Indonesia. Telah mengarang buku puisi berjudul, Ziarah Cinta (2015).
Leave a Reply