Ere Marassa’, Ere Erasa, dan Eremerasa: Berbagai Mitos di Balik Keindahannya

Ere Marassa’? Ya, Anda tidak salah baca, Ere Marassa’ yang saya sebut di sini adalah memang Permandian Alam Eremerasa yang biasa Anda datangi saat liburan. Perlu diketahui bersama bahwa nama atau penyebutan Eremerasa sebenarnya ada dua versi, yaitu ere marassa’ dan ere erasa’Ere marassa’ dapat diartikan gemuruh air yang deras, karena diambil dari kata ere (air) dan marassa (gemuruh), sehingga jadilah Eremarassa’

Versi lainnya yakni ere dan erasa’, yang bila dijabarkan ere berarti (air) dan erasa’ berarti pohon beringin, jadi ere erasa’ bisa diartikan air yang keluar dari akar pohon yang sejenis beringin. Sejalan dengan berkembangnya zaman dan berkembangnya pola tutur, kedua sebutan di atas akhirnya berubah menjadi Eremerasa yang lebih dikenal hingga saat ini.

Di balik perbedaan penyebutan nama tersebut, kita tentunya juga tak bisa terlepas dari mitos dan cerita mistis yang menyelimuti keindahan Eremerasa. Cerita dan mitos ini sudah dipercaya begitu lama dan beredar luas di masyarakat sekitar. Cerita mistis yang menjadi buah bibir masyarakat itu adalah, konon katanya, di zaman dahulu, terdapatlah seorang nenek yang hidup di sekitar Permandian Eremerasa, oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Amma’ Bulaeng.

Amma’ Bulaeng yang dikenal baik dan dituakan oleh masyarakat setempat, tiba-tiba saja menghilang, tak ada yang tahu ke mana rimbanya. Bahkan setelah pencarian yang panjang, menyisir hampir seluruh area di kampung, Amma’ Bulaeng pun tak kunjung ditemukan. Hilangnya Amma’ Bulaeng secara misterius sampai saat ini masih menjadi cerita yang tak kunjung usai misterinya.

Hilangnya Amma’ Bulaeng secara misterius, membuat masyarakat meyakini, bahwa ada hal-hal di luar nalar yang menyebabkan Amma’ Bulaeng hilang, atau mungkin pergi? Oleh karena itulah, sehingga masyarakat setempat merasa, bahwa perlu dijalin sebuah keterikatan dan penghormatan antara mereka, alam, dan berbagai unsur tak kasat mata yang melingkupi Permandian Eremerasa dan sekitarnya. Sikap penghormatan inilah yang diwujudkan dalam tradisi tertentu, yang dilaksanakan masyarakat di sekitar Permandian Eremerasa, seperti membakar dupa sembari berdoa dengan membawa sesajen, berupa ayam hitam dan makanan tertentu.

Saat ini, meskipun sebagian besar masyarakat sudah mengenal teknologi modern, tetapi masih  banyak di antara mereka yang tetap melaksanakan kebiasaan ini. Mereka percaya bahwa meninggalkan tradisi ini, bisa membuat para leluhur marah dan mendatangi mereka dalam mimpi, bahkan menyebabkan bala penyakit bagi diri dan keluarga mereka.

Dari observasi yang saya lakukan, saya percaya bahwa pohon-pohon yang tumbuh di dalam hutan di sekitar wilayah Desa Kampala, adalah pondasi utama dari keberadaan Eremerasa ini. Hutan dan pohonlah yang menjadi penampung dan pemurni mata air yang ada di Permandian Eremerasa, sekaligus menjadi akar dari tradisi dan budaya yang masih dipegang teguh masyarakat sekitar.

Salah satu bentuk relasi kuat antara masyarakat dan hutan adalah, sebelum memasuki permandian Eremerasa, terdapat sebuah hutan kecil yang terletak di Desa Lonrong, tepatnya di Perkampungan Kampala. Hutan yang ada di tempat tersebut, memang sangat lebat dengan banyak pohon-pohon besar.

Salah satu pohon besar di hutan tersebut diberi nama Pohon Dende. Pohon Dende ini dijadikan pedoman atau petunjuk oleh masyarakat, untuk mencari waktu baik saat hendak memulai kegiatan bercocok tanam. Pohon Dende ini bisa dikatakan unik, karena tidak seperti pohon lainnya. Pohon ini tak pernah menampakkan buah dan biji yang nyata. Yang ada hanya bunga indah bermekaran. Di saat Pohon Dende ini berguguran bunganya, maka masyarakat setempat menganggap bahwa sudah waktunya untuk mulai membajak dan mengolah kebun masing-masing. 

Lebatnya hutan, rapatnya pepohonan, serta murninya mata air Eremerasa menjadikan masyarakat percaya, bahwa air dari Eremerasa adalah karunia terbaik yang diberikan Tuhan pada mereka. Maka sebagai bentuk rasa syukur dan kepercayaan mereka pada kemurnian Eremerasa, masyarakat kerap melakukan berbagai tradisi syukuran, penyucian, dan tolak bala. Misalnya, bila ada penduduk kampung yang hendak melaksakan ibadah haji, maka sudah menjadi kepercayaan, bahwa air ini harus turut dibawa ke tanah suci sebagai medium penjagaan, dan tentu saja untuk bekal di perjalanan jauh. Beras yang akan dimakan selama perjalanan, juga diupayakan dicuci dulu dengan air dari Salu Salapang ini lalu kemudian diolah dan dimasak.

Dengan berbagai tradisi dan budaya yang melengkapi keindahan alami Eremerasa, maka tak heran, bila sampai saat ini, Permandian Eremerasa masih menjadi salah satu tujuan wisata utama bagi masyarakat Bantaeng dan kabupaten sekitar, seperti Jeneponto, dan Bulukumba. Di tengah gempuran banyaknya bermunculan kolam-kolam permandian baru di Bantaeng, Eremerasa atau yang sering kita singkat Ermes ini, masih tetap bertahan dan memancarkan pesona yang unik dan berbeda dari permandian lainnya. 

Pemerintah juga di banyak kesempatan, telah melakukan pembenahan terhadap beberapa fasilitas, seperti pembuatan jalur tangga alternatif yang lebih landai dari yang lama, sehingga memungkinkan siapa pun yang memiliki keterbatasan fisik, tetap bisa turun ke bawah di area permandian.

Keseriusan lain dari pemerintah adalah membenahi beberapa gazebo untuk kenyamanan pengunjung, serta membuat tembok permanen yang menutup sumber mata air Eremerasa, agar tidak tercemar secara langsung oleh aktivitas pengunjung. Penjagaan terhadap kemurnian mata air ini selain memastikan kenyamanan dan kemurnian air di Eremerasa, juga memastikan pasokan air bersih ke Kota Bantaeng tetap terjaga kemurniannya.

Kredit gambar: Rakyatsulsel.fajar.co.d

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 101-103.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *