Apakah Anda termasuk generasi yang mulai tidak percaya terhadap tradisi leluhur? Pertanyaan itu sering membayangi sebagian generasi saat ini, mereka yang hidup dalam kehidupan dunia yang makin rasional dan modern. Meski begitu, masih ada beberapa budaya bertahan sampai saat ini, meskipun mengalami penurunan kepercayaan di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah tradisi unik Mela’ Raki’ yang masih dilestarikan di Desa Kampala, Kecamatan Eremerasa, Kabupaten Bantaeng.
Kampala merupakan salah satu desa yang dikenal sebagai daerah dengan kekayaan air melimpah, karena mempunyai banyak mata air. Bagi masyarakat sekitar, air bukan hanya kebutuhan hidup, tetapi juga salah satu simbol dari kesucian, juga sebagai sarana berkomunikasi secara spiritual dengan Sang Pencipta.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Kampala masih memiliki kepercayaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih terjaga, salah satunya Mela’ Raki’. Jika diartikan kedalam bahasa Indonesia, mela’ artinya membuang atau melepas, sedangkan raki’ memiliki arti rakit atau rakitan.
Jadi Mela’ Raki’ merupakan ritual melepas suatu rakitan, yang bertujuan untuk memohon agar diberikan keberkahan oleh Tuhan Yang Maha Esa, pada suatu rangkaian kegiatan atau acara, supaya bisa berjalan dengan lancar. Tradisi Mela’ Raki’ biasa dilaksanakan ketika masyarakat akan melakukan suatu acara-acara tertentu seperti turungeng (akikah), pasunna’ (khitanan), serta pa’bunting (perkawinan).
Masyarakat di Kampala, biasanya melaksanakan penerimaan tamu yang datang pada acara passolo’ bangngi (pesta malam), kemudian keesokan hari setelah menunaikan salat Subuh, pihak yang akan melaksanakan acara bersama dengan tokoh agama akan melakukan Mela’ Raki’. Pada umumnya, Mela’ Raki’ diisi berbagai macam, seperti songkolo’, buras, ketupat, potongan ayam, kue tradisional, dan berbagai macam lainnya, yang diyakini sebagai bentuk persembahan, bertujuan untuk menjalin hubungan dan harmonisasi dengan alam dan Sang Kuasa. Makanan tersebut disatukan pada suatu wadah rakitan yang biasa disebut panca.
Panca merupakan suatu wadah yang dirakit, berbentuk kubus, dibuat dari bambu atau tangkai daun pisang. Panca ini bukan hanya sebagai wadah secara fisik, tetapi juga dipercayai sebagai rumah atau tempat berlindung titipan yang akan dikirimkan kepada Sang Pencipta.
Pada pelaksanaan tradisi Mela’ Raki’, pihak yang akan melaksanakan acara dan tokoh agama, akan diiringi oleh bunyian dari paganrang (gendang), memberi suasana sakral menuju ke tempat yang telah memenuhi kriteria. Tempat-tempat yang memenuhi kriteria tersebut adalah sumber mata air, atau sungai yang dialiri air sepanjang tahun yang berada di Kampala.
Sumber mata air yang biasa digunakan untuk melaksanakan tradisi Mela’ Raki’ yaitu Eremerasa, Ere Limbua, Bayanga, dan Dapacekka. Sedangkan untuk sungai meliputi Sungai Biangloe, Sungai Biangpoko, dan Sungai Kantisan. Namun, masyarakat sekitar biasanya melaksanakan di Sungai Kantisan atau di Ere Limbua. Setelah sampai di tempat tersebut, tokoh agama langsung melakukan persiapan, membaca doa-doa khusus yang bertujuan memohon agar diberikan kemudahan serta kelancaran dalam melaksanakan acara.
Kemudian setelah semua tahapan telah dilaksanakan, pihak yang akan melaksanakan acara dan tokoh agama akan bersama-sama melepas panca tersebut, dihanyutkan oleh arus sungai seolah-olah menitipkan suatu hajat atau pesan kepada alam dan Sang Pencipta. Jika telah melaksanakan Mela’ Raki’, selanjutnya kembali ke rumah untuk bersiap menjamu tamu yang hadir pada acara tersebut.
Namun, kini tradisi Mela’ Raki’ menghadapi berbagai tantangan seiring dengan perkembangan zaman, karena kurangnya pemahaman terkait makna tersirat dari tradisi tersebut. Padahal Mela’ Raki’ bukan hanya warisan seremonial, akan tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual dan sosial. Tradisi ini mencerminkan adanya relasi timbal balik antara lingkungan dengan manusia, juga sebagai bentuk nyata menghargai air sebagai sumber kehidupan.
Oleh karena itu, penting kegiatan sosialisasi serta peningkatan pemahaman kepada masyarakat mengenai Mela’ Raki’, agar budaya ini terus terjaga dan diketahui oleh generasi penerus.
Tradisi Mela’ Raki’ di kalangan masyarakat Kampala, menjadi salah satu bukti nyata bahwa Indonesia mempunyai kekayaan budaya yang kental akan nilai-nilai kearifan. Budaya ini tentunya perlu dijaga eksistensinya, dilestarikan untuk generasi mendatang, sebab ini sudah menjadi bagian dari identitas masyarakat lokal.
Dengan dijaga dan dilestarikan budaya ini, tentunya masyarakat Kampala turut serta dalam menjaga harmonisasi hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Apabila generasi penerus tidak peduli pada tradisi seperti ini, maka bukan hanya budaya kearifan lokal yang punah, tapi juga identitas suatu bangsa secara perlahan akan menghilang. Maka, sebelum bangsa ini benar-benar kehilangan jejak mengenai warisan leluhur, mari bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita termasuk generasi yang melupakan atau justru menjadi sosok penjaga dari tradisi tersebut?

Lahir di Bantaeng, Sulawesi Selatan pada 17 Juli 2003. Aktif dalam kegiatan riset dan pengabdian. Telah menulis buku Pengembangan Soft Skill dan Hard Skill Kader Galeri DESATA (Desa Sehat Taraweang) (2024). Founder Sport Literacy Community.
Leave a Reply