Aku tidak tahu sejak kapan tatapan itu kembali terasa seperti dulu. Lorong sunyi yang kutempuh, desir angin yang menggelitik, dan sayup-sayup suara Mahasiswa di sekitar kampus seolah mengejek wajahku yang keruh. Mengejek isi hatiku yang tidak beraturan, mengejek isi kepalaku yang dilanda kacau, dan mengejek nasibku yang kembali terulang.
Tawa mereka terdengar begitu nyaring, nyaris menggema di setiap dinding-dinding kelas. Suara percakapan yang antusias bahkan terdengar seolah membicarakan diriku. Sama seperti waktu itu, persis, dan memang seolah dirancang untuk membuatku tidak bisa lupa dengan apa yang sebelumnya pernah terjadi.
Hah… jadi aku masih belum bisa lepas, yah, dari kejadian itu? Apa sekali lagi aku juga harus ada di kondisi di mana aku harus berdiri sok kuat melawan orang-orang itu? Memilih abai, namun diam-diam justru tersiksa. Tanpa teman yang ingin percaya, menemani, dan mengerti apa yang telah kualami, meskipun setidaknya mereka merangkulku saat itu. Sekali lagi, aku benar-benar salah, yah?
Memang dasarnya kamu orang bodoh. Makanya jangan terlalu bergantung pada orang lain.
Kalau badan ini bisa menjadi dua orang, mungkin sisiku yang lebih waras akan muncul di depanku dan kembali mencaci maki tindakan yang telah kuambil. Terkesan seolah tidak jera dengan apa yang kulalui sebelumnya, dan aku akui jika kali ini aku kembali salah.
Kata mereka benar, Vina, kamu pengacau. Tidak ada orang yang bisa berlama-lama denganmu, kamu sekacau itu.
Sejenak aku berhenti, kalimat yang baru saja muncul di kepalaku langsung membuat persendianku terasa lemas. Tangan ini berakhir kuremas erat-erat, menahan segala gejolak yang rasanya ingin merengsek keluar.
Aku ingin menangis. Hanya itu saja, tapi rasanya begitu berat ketika tatapan beberapa orang yang melewatiku mulai mengirim sinyal negatif, seakan aku baru saja melakukan suatu hal yang salah, fatal, dan tidak bisa termaafkan. Atau, aku memang telah melakukan itu?
Di tengah gejolak emosi ini, aku kembali tidak bisa berkutik. Hanya diam, dan mungkin akan selalu seperti itu.
***
“Mungkin sampai di sini saja mata kuliah kita hari ini. Tugas yang saya berikan bisa kalian kirim lewat link yang telah saya share ke grup, terima kasih.”
“Baik Bu, terima kasih!”
Bu Hani selaku Dosen mata kuliah kami hari ini segera keluar begitu membalas ucapan terima kasih para Mahasiswa. Lalu beberapa detik begitu bayangan beliau tidak lagi terlihat di ujung pintu, teman-teman kelasku yang sudah sedari tadi bersiap langsung segera membereskan barang mereka masing-masing.
“Guys, habis ini kita ngumpul di gazebo, yah. Ada topik seru hari ini,” celetuk Kayla usai memakai tasnya.
“Gass, kita udah penasaran sama orangnya!” balas Emili berapi-api.
Segera teman-teman segeng mereka berseru antusias. Rasa semangat untuk membahas topik yang baru-baru ini muncul di kalangan kami sebagai Mahasiswa Baru, yang secara tidak langsung adalah membahas diriku sendiri. Iya, tokoh utama di topik itu adalah aku.
Dengan lemas, aku hanya mampu membereskan barang-barangku tanpa berani menoleh ke arah mereka. Semuanya kulakukan sendirian, tidak seperti temanku yang dibantu oleh teman dekat mereka dalam upaya buru-buru agar bisa segera keluar dari sini. Lagipula, sudah beberapa hari ini aku duduk sendirian, tidak ada lagi teman yang mau datang untuk sekedar berbasa-basi, aku dilupakan secepat itu, di tahun pertama kuliahku, semester pertamaku.
Tanpa mengatakan apa-apa, aku bangkit begitu saja dan segera memakai tas kecil milikku, lalu keluar dari kelas tanpa menunggu seseorang untuk kuajak bercakap-cakap di sekitar kampus seperti biasa.
Di tengah langkahku, yang bisa kulakukan adalah menghindari semua orang sebisa mungkin. Menghindari tatapan mereka, dan meminimalisir interaksi apapun itu yang berpotensi membuatku terlihat semakin salah. Beberapa kali aku melewati sekumpulan Mahasiswa yang duduk berbincang bersama teman-teman mereka, di depan kelas, gazebo, taman, dan pelataran gedung kampus.
Namun, begitu melewati beberapa anak tangga menuju pelataran, aku seketika terpekur sesaat. Pandanganku jatuh pada sosok laki-laki bertubuh tegap yang berdiri di depan lift, memegang tasnya yang disampirkan di salah satu bahu, sembari menoleh ke arahku yang hanya bisa terdiam menatapnya dari arah tangga.
Laki-laki itu, Hanan, berdiri seolah mengirimkan sinyal miris ke arahku yang berdiri di seberangnya. Tatapan matanya yang tidak bisa kutebak membuat perasaan perih di hatiku semakin terasa. Aku kesakitan, dalam batin, dan perandaian di kepalaku mulai bermunculan. Andai saja aku tidak terbuka pada laki-laki itu, andai saja aku tidak meminta pertolongannya, membicarakan hal-hal tidak berguna padanya, bertingkah seperti gadis ceria yang terus-terusan berbicara antusias, aku mungkin tidak akan mengalami masalah yang lebih berat dari ini.
Di balik wajah kalem dan ramahnya, dia ternyata hanya menjadikanku sebuah topik untuk menambah api di dalam cerita temannya.
Miris, dan aku merasa dia mungkin laki-laki kedua yang dikirim kepadaku untuk melakukan hal yang sama. Mengulang masa kelamku di tahun terakhir SMA, agar aku tidak pernah lupa bahwa sekumpulan manusia di dalam satu tempat pernah membenciku dengan tanpa ampun.
“Minggir! Tangga bukan buat tempat tatap-tatapan!” sentak seorang gadis tiba-tiba.
Aku tersentak, lalu dalam waktu singkat langsung menyingkir untuk mempersilahkan gadis yang beberapa detik lalu melontarkan perkataan sinis kepadaku. Ketika melihat orang itu, aku hanya mampu merasakan perih yang semakin mengganjal, sebab dia adalah salah satu dari geng perempuan yang membuatku mengalami ini.
“Rese memang, udah kebiasaan nyusahin orang, gak lihat-lihat tempat pula!” sinisnya kemudian melenggang pergi begitu saja sambil diikuti oleh teman kelasnya yang lain.
“Hanan!”
Gadis itu menyapa Hanan dengan riang, yang segera disambut dengan senyuman manis dan wajah ramah dari laki-laki yang beberapa hari lalu melakukan hal serupa padaku. Tersenyum begitu ramah, mendengarkanku, dan menyambut ceritaku tidak kalah antusias.
Astaga, mereka ternyata sama. Abian yang menjadi pemantik di masa SMA ku, dan Hanan yang kini menjadi bahan bakar untuk memperbesar api di dalam masalahku. Senyuman mereka sama, begitupun masalah yang diberikan kepadaku. Tidak ada bedanya. Dan aku juga baru sadar, temanku di masa kuliah ini begitu mirip dengan Alina yang dulu menjadi alasan utama mengapa aku harus melalui masa-masa kelam itu.
Tuhan, seolah membuatku untuk terus merasakan hal yang sama, tidak bisa lupa dengan masa laluku, dan kembali merasakan penyesalan untuk kedua kalinya karena kebodohanku.
Ini bukan masalah cinta, sebab aku sedang tidak terlibat dalam masalah asmara. Kejadian yang menimpaku kali ini adalah bentuk dari kesalahanku dalam memilih lingkungan baru, teman baru, dan kepercayaan yang tidak harusnya asal kuberikan pada seseorang. Ini semua adalah kesalahanku, dan seharusnya aku melakukan sesuatu untuk menghadapinya, namun nyatanya tidak.
Aku telah mempertaruhkan banyak hal untuk bisa sampai di kota ini, di Universitas ini, tapi masalah yang datang justru menggoyahkan niatku untuk memulai perjalanan baru sebagai seorang Mahasiswa. Sekarang, setelah semua orang tidak menyukaiku, bagaimana aku harus menjalani hari-hariku?
Apa aku harus pulang? Berhenti di sini?
***
“Vina, maaf nak, bulan ini mungkin Ibu sama Bapak belum bisa kirimkan kamu uang karena bapak lagi sakit, Ibu juga tidak bisa apa-apa karena jatuh kemarin, semoga kamu bisa bertahan dengan uang segitu di sana,”
“Tidak apa-apa, Bu, uang Vina masih banyak. Lagian Vina juga cuma jalan ke kampus, kok, jadi gak ada uang ongkos kendaraan sama sekali, cuma untuk makan sama keperluan kampus,”
“Iya, tapi kamu jangan boros, yah. Kasian Bapak, sudah tidak kuat untuk kerja karena belakangan ini kondisinya makin buruk,”
“Iya, Bu, sehat-sehat terus di sana. Semoga Ibu sama Bapak cepat sembuh dan disehatkan terus. Pokoknya banyak-banyak istirahat, yah,”
“Iya, nak. Sehat-sehat juga, yah, di sana. Ibu juga mau tutup teleponnya,”
“Iya, Bu, siap. Assalamualaikum, Bu,”
“Waalaikumsalam.”
Panggilan telepon berakhir, dan suasana kamarku yang suram langsung hening tanpa suara. Suara ibu yang awalnya terdengar mengisi ruang kamar kostku tidak lagi terdengar, membuatku merasa hampa dan rindu.
Setelah percakapan tadi pula, aku mulai bisa berpikir lebih rasional, bagaimana bisa aku berhenti kuliah sementara mereka di kampung pontang panting mencari uang untukku? Akan seberapa jahat aku di mata mereka jika sampai mengeluarkan kalimat keramat itu? Anak yang mereka banggakan dan percaya untuk melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi pulang begitu saja hanya karena tekanan-tekanan yang dibuat oleh orang-orang, aku mungkin tidak akan punya muka untuk menghadapi orang tuaku setelah melakukan itu.
Tapi di sisi lain, apakah aku juga bisa untuk bertahan dengan lingkungan seperti itu?
Tanpa aku sadari, memori akhir tahun masa SMA ku mulai berputar di kepala, seolah kaset lama yang sengaja diputar kembali, entah untuk mengembalikan rasa sakit dan trauma itu, atau untuk mempelajari bagaimana aku berhasil melalui masa-masa itu…
Agustus 2024
Aku merasa jantungku seolah diremas kuat saat melewati lorong kelas yang ramai hari ini. Seluruh murid yang berdiri di depan kelas mereka masing-masing kini menoleh ke arahku sambil melempar tatapan tajam dan bisik-bisik tajam. Bahkan aku bisa mendengar jelas orang yang membicarakanku secara langsung.
Ini semua terlalu tiba-tiba, aku bahkan tidak tahu sejak kapan mereka berkumpul dan berdiri menghakimiku. Memberikanku tekanan yang… seakan mampu membuatku bertekuk lutut di hadapan manusia-manusia itu. Seraya terpekur dan mulai memohon, bahwasannya aku adalah entitas paling berdosa di tempat ini dan mengharapkan belas kasihan mereka.
Tapi, mengapa? Kenapa ini tiba-tiba? Aku bahkan tidak tahu kapan mereka mulai melayangkan tatapan dan aura permusuhan yang begitu kental kepadaku.
“Sabar, yah, Alina… kita semua ada buat kamu, kok. Dia pasti dapat ganjaran yang pantas,”
Samar-samar suara gadis yang begitu lembut menyapa telingaku. Ketika aku menoleh ke tempat di mana 5 atau 7 orang sedang berkumpul mengerubungi Alina, aku langsung dihantam oleh tatapan benci dan aura dendam yang kuat.
“Cih, masih punya muka juga tuh cewek,” sarkas Helen, salah satu dari sahabat dekat Alina.
Aku mendadak beku saat itu juga. Pemandangan di mana Alina direngkuh dengan begitu sayang dan penuh perlindungan dari sahabatnya membuat diriku terasa terkucilkan saat itu juga. Hingga saat di mana kejadian setengah jam yang lalu berputar di kepalaku, aku akhirnya tersadar.
Perilaku para murid hari ini disebabkan oleh insiden yang terjadi di kelas tadi.
“Huuuu, dasar cewek jahat! Gak punya empati emang main usir orang!” sindir sosok laki-laki yang berdiri di dekat wastafel depan kelas.
Abian. Laki-laki itu berdiri bersandar di dekat wastafel sambil bersidekap dada. Memberiku tatapan tajam sekaligus mengejek, serta sorot kemenangan yang lagi-lagi membuatku seolah kalah total.
Aku tidak sepenuhnya bersalah. Aku tidak melakukan sesuatu seperti yang dilayangkan oleh Abian. Mereka berdua, Alina dan Abian, adalah orang yang ingin pindah dari kelas atas kemauan mereka sendiri. Namun ketika aku berpapasan dengan mereka ketika menuju ruang guru, aku yang diliputi rasa jengkel seketika melempar tatapan kesal dan kalimat agar mereka benar-benar tidak kembali ke kelas kami sebelumnya.
Iya, aku tau, itu adalah bagian yang memang salah untuk kulakukan sebagai seorang manusia apalagi ketua kelas, tapi apa yang mereka lakukan hari ini, bertingkah seolah korban, dan membuat nyaris seluruh angkatan membenciku, adalah tindakan salah yang seolah menenggelamkanku sebagai pelaku.
Ini tidak adil, sungguh…
“Vina! Sini!”
Mendadak suara Mika terdengar dari depan kelas. Aku segera tersadar, dan kemudian memilih melanjutkan langkah menuju kelasku sembari memasang wajah setebal mungkin saat melewati orang-orang itu. Dan benar saja, begitu aku berjalan melewati mereka satu persatu, tatapan tajam dan perkataan sinis langsung menghujam setiap langkahku, membuatku merasa benar-benar takut dan down saat itu juga.
“Vina, ada kabar buruk!” seru Lila tergopoh-gopoh.
Gadis itu menunjuk ke dinding belakang kelas, sementara wajahnya terlihat panik dan resah,“orang-orang sekarang ngomongin kamu! Gara-gara Alina nangis dan Abian cerita soal kejadian tadi ke para murid!” adunya kepadaku.
Aku hanya bisa diam saat itu. Tidak tahu harus berkata apa-apa, atau mungkin menangis untuk sedikit memberikan respon bahwa aku juga terkejut akan hal yang terjadi hari ini.
“Si Elin sama Yuni, bilang kalau kamu udah bermasalah dari dulu, sok pintar, sok ngatur, sok tegas, sombong, dan segala hal buruk lainnya! Pokoknya mereka mampusin kamu karena naik arisan hari ini!” pekik Nola berapi-api.
Beberapa detik setelah itu, layangan tangan dari Aqila, sahabat gadis itu, langsung membekap mulut Nola sembari menarik kedua bahunya ke belakang. Sementara aku hanya bisa mengelus dada melihat bagaimana Aqila berusaha membungkam sahabatnya yang memang ceplas ceplos.
“Murid lain mulai jelekin kamu, Na. Satu persatu dari mereka nunjukin sifat aslinya, karena udah dari dulu mereka gak suka sama kamu.” pungkas Mika sedih.
Aku tidak bisa melakukan apa-apa hari itu, hanya bisa berterima kasih pada teman-teman kelasku yang bertahan dan tahu jalan cerita sebenarnya. Nyaris seluruh dari mereka juga mengambil perlawanan dengan ikut menyebarkan cerita bahwasanya yang disebarkan oleh Alina dan Abian adalah salah, serta mengklarifikasi perkataan beberapa mantan sekelas kami yang keluar dan ternyata mengatasnamakan diriku atas keluarnya mereka.
Namun hal itu tidak terlalu berefek besar. Sudah terlalu banyak yang percaya pada sekumpulan orang yang keluar dari kelas kami dan mengatasnamakan diriku, membuat namaku langsung buruk seketika.
Semenjak hari itu, aku menghadapi berbagai banyak kebencian dari teman seangkatan maupun adik kelasku sendiri. Teman yang awalnya membelaku pelan-pelan mulai menghindar, meskipun beberapa kali hadir merangkulku untuk memberikan semangat. Membuat akhir tahun SMAku terasa menyiksa, suram, dan kelam. Hingga beberapa bulan kemudian, mereka memperlakukanku seolah tidak pernah terjadi apa-apa, dan aku dengan mudah memaafkan dan menerima mereka.
Itu adalah hal bodoh yang kulakukan, namun juga… langkah beraniku untuk kemudian memulihkan namaku kembali di sekolah.
“Vina! Vinaaa! Ayo keluar beli bahan makanan!”
Segera kilas balik masa SMA ku berakhir begitu saja ketika suara nyaring Sahira, tetangga kostku, terdengar dari depan kamarku. Tidak lupa suara ketukan pintunya yang menggebu, membuatku tidak bisa untuk membuat gadis itu menunggu barang sedikit saja.
“Udah-udah ngetoknya, ini udah mau siap-siap,” tukasku tergesa-gesa, seraya membuka lebar pintu dan membiarkan gadis berkulit kuning langsat itu masuk sesukanya.
“Waktu kuintip di jendela kamu lagi bengong, kayak orang mikir ini bundirnya pakai tali rafia atau racun tikus aja. Jadi supaya pikiranmu gak kejauhan, aku langsung, deh, ketok pintu kamar kamu kuat-kuat,” bela Sahira dengan cerewetnya, lalu duduk di atas kasur kamarku yang kecil.
“Eh, mulutnya! Lagian kebiasaan tau, ngintip orang, nanti bintitan tau rasa!” ancamku sembari memakai cardigan dan celana panjang.
Namun mendengar ancamanku, Sahira justru mencebikkan bibir lalu memutar bola mata malas, menunjukkan wajah tidak percaya dan muak dengan kata-kataku yang selama ini ia nilai ketinggalan zaman.
“Emang apa hubungannya ngintip sama bintitan? Coba, dong, jelasin menurut Sains, supaya aku bisa percaya.” balas Sahira congkak, sukses membuat mulutku terkunci.
Ah, gadis itu, aku memang tidak bisa melawan segala kalimatnya. Dia selalu punya jurus pamungkas yang apa-apa akan dikaitkan dengan Sains, atau apapun itu yang katanya harus didasari oleh bukti-bukti yang kuat. Sementara aku hanya seseorang yang mampu terdiam ketika menemukan sesuatu yang menurutku salah, tanpa berani menampik seperti keberanian yang Sahira punya.
Tidak, setidaknya aku masih punya gadis ini. Aku masih punya Sahira di perantauan yang selalu ada untukku, dan mampu membuat logikaku bekerja.
***
Lagi-lagi, tidak ada yang berubah hari ini. Semua semakin parah, aku mengalami perundungan yang dilakukan oleh teman sekelasku sendiri. Mereka tertawa, mengejek, dan menyindir tanpa menyebut namaku secara langsung. Namun aku hanya bisa diam, menelan mentah-mentah suara mereka dalam ingatan dan hatiku.
Aku bahkan tidak lagi mendengar sapaan manis seperti biasanya. Lambaian tangan, atau bahkan pertanyaan mereka tentang tugas kuliah kami. Semua berjalan begitu saja, mereka tertawa bersama, saling berbincang, sedangkan aku duduk diam di pojok kelas sembari membolak balik halaman binder milikku.
Masa kuliah di dalam pikiranku bukan seperti ini. Yang aku bayangkan ketika memberanikan diri untuk mendaftar dan memperjuangkan pendidikanku di jenjang Perguruan Tinggi, adalah lingkungan yang aman, damai, dan menyenangkan. Aku mengira bahwa ketika menyandang status yang lebih dewasa dari hari lalu, adalah saat di mana seseorang bisa berpikir lebih baik, tanpa mengedepankan hal-hal tak terbukti yang dijadikan sebagai ajang untuk membuat seseorang tidak tenang dalam sebuah lingkungan.
Namun tidak. Aku salah, baru beberapa bulan, masalah sudah datang karena beberapa orang berpikiran pendek yang seolah ingin membuatku terkucilkan di sini. Ditambah lagi antek-antek mereka yang sepertinya sudah dari dulu tidak menyukaiku, membuat masa kuliahku semakin buruk. Entah untuk hari-hari ke depannya, aku tidak tahu. Tapi harapanku hanya ingin mereka mendapatkan balasan setimpal dan tahu kebenaran sebenarnya.
“Eh, dosen udah mau datang! Siap-siap semuanya!” seru salah seorang temanku, yang segera lari terbirit menuju bangkunya.
Aku diam. Tidak lagi seantusias dulu. Semangat belajarku saat awal di sini entah hilang kemana, persis sikap baik mereka yang mendadak lenyap setelah gosip itu tersebar di jurusan kami. Aku sendirian, sementara mereka semakin berbahagia.
Manusia-manusia mental perundung, sebahagia apa kamu melihat seseorang hilang arah atas tujuannya?
***
Setelah mata kuliah pertama kali selesai, aku langsung keluar dari kelas penuh sesak itu tanpa bergabung lagi seperti dulu. Aku menghindari mereka secara terang-terangan, persis cara mereka dalam mengejekku. Yang ada di pikiranku saat ini hanya menjauh dari orang-orang yang berpotensi membuatku sakit, tanpa sedikitpun terbesit untuk memperbaiki namaku yang terlanjur buruk.
Begitu keluar dari area Fakultas, aku segera bergegas menuju Fakultas Sahira. Rasanya tidak nyaman sekali jika sendirian di tempat itu, tanpa satu pun yang ingin menemaniku. Mungkin ada, tapi tidak lebih dari orang-orang yang memanfaatkan peluang untuk mengorek lebih banyak tugas-tugas kuliah dariku. Misalnya, meminta hasil tugasku untuk mereka salin.
Ketika sampai di depan area Fakultas Sahira, aku berhenti untuk sesaat, manakala mataku menangkap beberapa orang yang berdiri di dekat gerbang Fakultas. Aku tau mereka, sebab beberapa menit yang lalu kami masih berada di kelas yang sama. Serta gadis berpakaian lucu dengan rambut Curlynya yang khas, aku mengenalnya.
Mereka Kayla, Emili, Chika, dan Luna. Satu geng yang kerap menyindirku di kelas, berdiri berbincang bersama Sahira yang tampaknya sangat nyaman dengan mereka. Gadis itu, Sahira, yang selama ini memang selalu penuh energik ketika berbincang dengan orang-orang, kini melakukan hal serupa pada sekumpulan gadis yang menjadi alasan sakitku belakangan ini. Sahira yang selalu memelukku ketika aku menangis saat memikirkan masalahku di kampus, terlihat sangat bahagia dengan mereka yang tidak tahu malunya mendekati temanku satu-satunya.
Ini mungkin salah, tapi aku merasakan sakit yang lebih dari hari-hari kemarin. Ada denyut menyesakkan yang membuat kakiku seolah lemas, menyiksaku di tengah perbincangan seru mereka. Dengan perasaan campur aduk, aku melangkah pelan-pelan di tengah lalu lalang Mahasiswa lain. Sebisa mungkin aku berusaha agar mereka tidak menyadari kehadiranku, dan aku harap pula, tidak ada kalimat yang membuatku semakin hancur seperti dalam pikiranku.
“Iya, kan? Vina itu agak ambisius jadi orang, dia juga selalu mau tampil oke di depan dosen,”
“Iya, Sa. Kamu gak tau aja bosennya kami kalau dia udah cerita. Sumpah, bikin capek dan gak penting banget!”
“Salah lo, sih, deketin dia,”
Suara Kayla, Emili, dan Chika terdengar lebih dahulu ketika aku sudah berdiri tidak jauh dari mereka. Luna yang tidak banyak bicara hanya mengangguk antusias membenarkan ucapan teman-temannya. Sementara, Sahira yang kuharapkan dapat membelaku justru diam seakan tengah memikirkan sesuatu. Sejenak, aku berharap agar mereka menyadari keberadaanku dan segera berhenti mengatakan omong kosong itu.
“Iya, sih… Aku sebenarnya kurang suka tiap kali ngobrol sama Vina. Dia cenderung diam dan jarang respon aku. Terus, dia gak pernah seantusias di cerita kalian kalau udah ngobrol sama aku. Dia… kayak gak bersyukur punya orang yang mau dekat sama dia.”
Kali ini aku benar-benar diam. Sahira yang berbicara di sana mengeluarkan isi hatinya begitu saja tanpa berpikir lama, sementara ekspresinya menunjukkan riak kesal, sedih, dan marah. Entah mungkin ditujukan kepadaku, semua itu cukup kutangkap dalam diam sambil mengingat segala kesalahan yang dia maksud.
Astaga ya Tuhan… aku ternyata sekacau itu, yah? Bahkan satu-satunya teman yang kuanggap bisa kupercaya kini ikut membicaranku, mendukung omongan mereka, dan diam-diam ternyata tidak menyukaiku.
Jadi sekarang, siapa lagi yang bisa kupercaya? Hidup sendirian di kota yang masih asing ini sudah cukup membuatku begitu kesepian, dan sekarang, aku kehilangan teman-temanku untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta dari kejadian sebenarnya. Lalu Sahira, aku merasa kenyataannya lebih menyakitkan, sebab dia sudah lebih dahulu menyimpan rasa tidak suka itu tanpa mendengar gosip tentangku. Tapi, bukankah itu jauh lebih buruk?
Duniaku berhenti berputar sesaat, pikiranku pun mendadak kosong. Sekarang, aku hanya bergulat pada beberapa hal.
Apakah ini adalah akhir dari impian orang tua dan impianku sendiri, atau justru awal bagiku untuk lebih fokus pada impian itu? Bisakah aku berpikir, bahwa ini mungkin hanya kerikil-kerikil tajam yang disiapkan Tuhan untuk kulalui sebelum menempuh jalan yang mulus?
Masalahku di masa SMA memang jauh lebih berat, tapi aku masih punya keluarga dan teman yang hadir mendukungku. Tapi saat ini, aku disiapkan untuk menghadapi orang-orang yang menyakitiku, tanpa harus dirangkul oleh mereka.
Ini perang batin dari seorang remaja yang sedang dalam masa peralihan. Ketika hidupnya masih berputar pada kesenangan bersama teman-teman, dan belum menemukan arah tujuan yang sebenarnya. Ketika kita masih dalam tahap bahwa teman adalah tempat terbaik, tanpa menyiapkan diri sendiri untuk ujian yang lebih berat di masa depan.
Hubungan sosial memang penting, tapi menjadi orang yang kuat dan tahu cara menghadapi segalanya meski sendirian, jauh lebih penting untuk menghadapi segala tantangan di masa depan. Aku juga memang pernah melakukan kesalahan di masa lalu, tapi bukan berarti tidak ada ruang untuk memperbaiki diri dan pantas bersanding dengan kumpulan orang-orang penilai itu.

Lahir di Bantaeng tanggal 1 November 2006. Saat ini menempuh pendidikan di Universitas Negeri Makassar (UNM), Jurusan Biologi Sains. Mulai tertarik dengan dunia Literasi sejak kelas 2 SD, dan sekarang aktif menulis di beberapa platform menulis. Beberapa kali ikut berpartisipasi dalam buku Antologi Cerpen bersama rekan-rekan Literasi. Juga bergiat di Forum Anak Butta Toa(FABT), dan Forum Genre Kabupaten Bantaeng. Menjadi Duta Anak Kabupaten Bantaeng 2023, serta Duta Genre Kabupaten Bantaeng 2024.
Leave a Reply