Unik bin aneh rasanya jika sosok yang menulis ini adalah orang yang belum pernah merasakan apa itu pernikahan sebelumnya. Tetapi, unik bin aneh juga rasanya jika kasus perceraian yang hanya melibatkan satu keluarga kecil. Ternyata sebegitu berpengaruhnya terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan kita.
Broken home, fatherless, motherless, dan masih banyak istilah lainnya, yang sekilas hanya melibatkan keluarga kecil mereka. Tetapi, dampaknya sampai merogoh empati hingga trauma pihak yang menyaksikannya.
Kita menyaksikan bagaimana seorang anak perempuan dengan mirisnya curhat di media sosial tentang kehilangan sosok ayah karena orang tuanya cerai.
Atau kita menyaksikan bagaimana ibu dan anak-anaknya berjuang menghidupi diri setelah bencana perceraian menimpa mereka.
Begitu pun sebaliknya. Ada anak tak lagi memiliki sosok ibu karena tak bisa mengelola rumah tangga bersama keluarga kecilnya, dan masih banyak lagi, yang tanpa kita sadari ada banyak generasi muda di luar sana memutuskan untuk menjaga jarak dengan pernikahan akibat hal yang dialami orang lain.
Mengapa? Di media sosial fenomena tersebut menyisakan empati bahkan bisa jadi menyentuh trauma bagi sebagian orang. Terutama Gen Z seumuran saya yang dengan berani melafalkan kecemasannya beralih ke jenjang pernikahan karena kasus-kasus yang disaksikan melalui media sosial.
Kalau kita berbicara angka yang dikeluarkan Ditjen Bimas Islam Kemenag, soal angka pernikahan yang menurun dari tahun 2023 ke 2024. Boleh jadi salah satu penyebabnya karena fenomena angka perceraian yang semakin tinggi dari tahun ke 2023 ke 2024 itu berdampak secara tidak langsung. Meskipun hal tersebut masih perlu didalami lebih lanjut.
Jika itu benar adanya. Boleh-lah kita berargumen bahwa media dalam hal ini media sosial turut memainkan peranan penting di balik ini semua. Teori Kultivasi yang digagas oleh George Gerbner bisa jadi teropong melihatnya (meskipun teori ini berangkat dari media televisi), bagaimana pihak-pihak yang terpapar konten media lambat laun bisa jadi mengalami kecemasan hingga memutuskan menghindar sebisa mungkin dari penyebabnya.
Generasi muda, khususnya Gen Z mungkin sesekali menyaksikan konten korban akibat rumah tangga yang tak sakinah. Tetapi, algoritma memainkan peranan yang signifikan. Konten itu lambat laun makin banyak, mulai dari video yang menampilkan kalimat kesedihan seorang anak mengalami broken home, lengkap dengan musik sedih yang mengalun, hingga pemberitaan seorang ayah/suami yang melakukan KDRT di rumahnya.
Ringkasnya, jika seseorang terpapar konten semacam itu terus menerus. Maka secara tidak langsung bisa berdampak dan diinternalisasi oleh penonton yang mungkin saja labil dan tak punya pedoman. Ini terkesan sederhana, tetapi bisa berdampak serius. Orang yang awalnya hanya empati berubah jadi trauma.
Jika sudah demikian, perlu ada counter yang setidaknya mampu meredam. Apa yang dilakukan oleh KUA Menteng dengan membuatkan konten khusus Tepuk Sakinah telah mencuri perhatian banyak warganet. Meski reaksi yang ditonjolkan oleh warganet lebih banyak candaan. Namun, Tepuk Sakinah seakan muncul sebagai penyegaran di tengah lini masa yang dipenuhi konten kesedihan yang tak berujung.
Tepuk Sakinah memang tidaklah baru, tetapi konten yang dibuat dengan menghadirkan dua bapak-bapak berjoget sambil bertepuk Tangan Sakinah mencerminkan kejenakaan yang segar dan otentik. Kontribusinya mungkin belum bisa menggeser kecemasan sosial yang diamini oleh generasi muda soal arti pernikahan. Tetapi, ini bisa jadi kompas baru agar kita memperbanyak hal-hal serupa agar yang serius bisa disampaikan dengan santai.
Dari konten Tepuk Sakinah tersebut, pesannya jelas, “Kalau kamu mau atau sudah menikah ingat lima pilar keluarga sakinah, Insya Allah hidupmu aman.” Meski dampaknya masih perlu ditelaah, seperti apakah ampuh meredam kecemasan orang yang takut menikah atau mencegah pihak yang ingin bercerai. Tetapi, setidaknya konten ini memberi kita arah untuk jangan cemas, mari tetap berbahagia meskipun hal yang kita hadapi serius.
Di sisi lain memberi kita satu petunjuk, di dunia yang serba konten digital ini maka konten harus dibalas konten. Ide harus dibalas ide. Hibur konten yang sedih dengan konten yang menenangkan dan menyenangkan sambil membereskan persoalan rumitnya secara baik-baik.
Pesan Menteri Agama dalam satu wawancara terakhir mungkin bisa jadi angin segar bahwa akan ada kejutan-kejutan lain dari institusi Ikhlas Beramal. Tugas kita sederhana, membantu membawa pesan-pesan menenangkan dan menyenangkan, khususnya soal pernikahan agar dampak kecemasan sosialnya tidak menyebar luas.
Tentu, persoalan serius seperti ini tak bisa selesai begitu saja. Apalagi kasus pada pasangan yang rumit diselesaikan dan sudah di ujung tanduk. Oleh karena itu, perlu edukasi yang lebih mendalam soal keluarga sakinah bagi calon pengantin maupun yang sudah hidup bersama oleh pemerintah.
Tetapi, di satu sisi pemerintah bersama masyarakat juga harus padu di dunia digital, yakni sampaikan pesan-pesan menenangkan dan menyenangkan soal arti pernikahan. Meskipun kita tahu penderitaan anak dan ibu akibat ayah melakukan KDRT tak bisa dimaafkan, atau kesedihan seorang anak yang tak lagi memiliki keluarga bahagia, dan kehilangan sosok ibu atau ayah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Kredit gambar: chatgpt.com/s/m_68d8c40c91708191b032d13227d40570

Seorang penulis amatir yang menggebu-gebu dan seorang Gen Z yang lahir di akhir 90-an.
Leave a Reply