Rakang Lame-Lame: Kuliner Tradisional Butta Toa

Sang surya perlahan menunjukkan dirinya dari balik pegunungan, tetesan embun perlahan meluncur dari dedaunan, membasahi tanah leluhur. Sekelebat kabut menutup sebagian cahaya, tanpa ragu dingin menusuk hingga tulang, 18 derajat celcius, begitu pemandangan di salah wilayah di Kabupaten Bantaeng bernama Uluere. Hal itu sudah menjadi pemandangan biasa bagi masyarakat setempat, tapi bagi para wisatawan, hal itu merupakan susuatu yang menarik.

Di sebuah teras rumah panggung yang terbuat dari kayu jati berwarna cokelat pudar, terlihat seorang pria tua yang sedang memandang kejauhan, menikmati pemandangan indah, di sampingnya, secangkir kopi pekat dan hidangan sederhana, orang setempat menyebutnya dengan rakang lame-lame.

Namanya Sahari, pria yang sejak lahir menjadi penduduk Desa Bonto Marannu, Uluere. Garis-garis halus yang terukir di wajahnya, seolah menjadi jejak sejarah kehidupan di tengah peradaban tertua di Sulawesi Selatan. Pusat pemerintahan yang membawahi Kabupaten Jeneponto, Bulukumba, hingga Selayar pada zaman Belanda.

Sahari menjadi salah satu tokoh masyarakat di Uluere, ia mengetahui asal muasal salah satu kuliner tradisional bernama rakang lame-lame, yang bahkan penduduk asli sana pun masih banyak yang tidak tahu nama asli makanan tersebut. Sebagian besar hanya mengetahuinya dengan sebutan, lame-lame campuru kaluku, bermakna “kentang yang diselimuti parutan kelapa”.

Tak hanya adat istiadat, tarian, pakaian, dan lain sebagainya, kuliner tradisional juga menjadi satu bagian dari budaya lokal Bantaeng, dengan cerita dan nilai yang diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi. Satu dari sekian banyak kekayaan kuliner yang dimiliki oleh Butta Toa adalah rakang lame-lame.

Makanan khas ini mungkin sudah sering terjamah di telinga, salah satu identitas khas Bantaeng yang hadir dalam tampilan sederhana, namun bisa meninggalkan kesan yang mendalam bagi siapa saja yang sudah merasakannya, semakin dicoba semakin membuat candu. Rasanya yang nikmat dan gurih akan membuat diri nyaman, apalagi kalau ditambah sambal dan dimakan bersama keluarga tercinta.

Konon katanya, makanan ini, dibuat sebagai wujud rasa syukur para petani atas hasil panen kentang yang melimpah, khususnya di daerah Uluere. Daerah pegunungan yang sejuk cenderung dingin, sehingga sangat baik untuk ditanami berbagai jenis tanaman. Apalagi sejak dulu, mata pencaharian masyarakat sekitar memang adalah kentang dan kol, sehingga di setiap rumah pasti terdapat kentang yang kemudian dikonsumsi dengan nasi, sebagai salah satu lauk.

Menurut Sahari, rakang memiliki arti “utuh”. Kentang harus direbus utuh dan tidak dipotong-potong. Sehingga ukuran kentang yang dipilih sebaiknya tidak terlalu besar dan tidak pula terlalu kecil, untuk memastikan bahwa kentang matang dengan sempurna. Makanan khas ini, kata Sahari, dulunya disajikan ketika para raja saat datang berkunjung ke rumah-rumah masyarakat, karena salah satu bahan pokok yang pasti tersedia di rumah setiap warga adalah kentang. Namun, cita rasanya yang sederhana ternyata disukai oleh para raja, hingga membuatnya ketagihan, sehingga mewajibkan masyarakat setempat untuk menyajikan rakang lame-lame setiap kali ada raja yang berkunjung.

Dalam membuat rakang lame-lame, hanya memerlukan dua bahan pokok, yaitu kentang dan kelapa. Untuk membuatnya, pertama-tama yang harus dilakukan adalah mencuci kentang hingga bersih, lalu dikupas seadanya, dan direndam sebentar di dalam air yang telah ditaburi garam, selanjutnya direbus dalam kondisi utuh. Setelah matang sempurna, kentang ditaburi dengan parutan kelapa, disajikan dengan sambel cobek-cobek tomat, sesederhana itu.

Kesederhanaan dan kebersahajaan inilah yang menjadikan rakang lame-lame tetap eksis dengan nilai lokalnya, di tengah gempuran masuknya kuliner global seperti dimsum mentai, sushi, suki, dan lainnya.

Terlahir bukan dari daerah Butta Toa, membuat saya banyak mengetahui hal-hal baru tentang tempat ini, termasuk kuliner tradisionalnya yang pasti menjadi incaran bagi siapa saja yang berasal dari luar Bantaeng. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kabupaten berjuluk tanah tua ini, saya tercengang melihat wujud dari makanan khas satu ini. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa ada sebiji kentang dimakan dengan parutan kelapa. Nikmatkah? Setelah mencicipi sedikit, ternyata rasanya menyenangkan, menenangkan, dan menghangatkan. Kentang yang biasanya hanya dikonsumsi sebagai salah satu campuran sayuran, menjadi inti dari sebuah makanan tradisional, sangat unik dan sulit terlupakan.

Pada akhirnya, tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Peribahasa ini pasti sudah sering terdengar di telinga, bahkan tersebut dari mulut kita semua, apalagi ketika ingin lebih mengenal seseorang. Namun, maknanya bukan hanya sebatas itu saja, ini yang harus kita sebarkan kepada Gen Z sekarang, yang jika diamati, perhatiannya sudah mulai berkurang, bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya melekat di diri mereka sejak lahir, yaitu budaya lokal.

Makanan khas juga menjadi bagian penting dalam budaya dan warisan suatu bangsa, harus dilestarikan agar tidak terlupakan oleh para penerus. Dengan mengenal sebagian kecil budayanya, mereka akan merasa memiliki, menjadi bagian dari daerahnya, sehingga muncul rasa tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikannya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *