Pagi di sebuah sekolah dasar negeri di pinggiran kota, anak-anak berlarian ke kelas dengan seragam lusuh yang masih berbau deterjen murah. Di halaman sekolah seorang guru berdiri sambil mengawasi meja panjang yang penuh kotak makanan. Program yang disebut Makan Bergizi Gratis, disingkat MBG sedianya menjadi harapan. Seharusnya, di sanalah anak-anak menemukan energi untuk belajar, protein yang cukup untuk tubuh mereka yang masih rapuh, dan rasa aman bagi orang tua yang selama ini risau apakah anaknya bisa makan layak hari itu.
Tetapi belakangan, meja panjang itu berubah menjadi sumber ketakutan. Dari kotak-kotak itu, ribuan anak di berbagai daerah mengalami mual, pusing, hingga keracunan. Laporan Kompas dan sejumlah media nasional menyebut jumlahnya sudah mencapai enam ribu lebih kasus per 26 September 2025. Angka itu bukan sekadar statistik. Ia berarti ribuan tubuh kecil yang terguncang, ribuan keluarga yang cemas, dan ribuan kepercayaan yang runtuh.
Ironi ini menampar kita dengan keras. Bagaimana mungkin sebuah program yang dikampanyekan dengan penuh janji mulia justru berubah jadi luka kolektif? Bagaimana bisa negara yang kaya sumber daya pangan, dari sawah hingga laut, justru memberi makan anak-anaknya dengan makanan seadanya yang kadang hanya mie instan, kerupuk, atau nasi dengan lauk yang miskin gizi? Pertanyaan itu bukan sekadar soal teknis distribusi. Ia menyentuh inti persoalan, yaitu apakah negara sungguh hadir dengan cinta pada generasi mudanya, ataukah sekadar hadir dengan proyek yang sarat retorika dan potensi korupsi?
Ketika kita menoleh ke negara lain, jawaban bisa lebih jernih. Jepang misalnya, sudah lama menjalankan program makan sekolah yang disebut kyushoku. Di sana, makanan bukan sekadar pengisi perut, tetapi lebih sebagai bagian dari pendidikan, sebuah praktik budaya yang disebut shokuiku, yaitu pendidikan tentang makan sehat dan berkesadaran.
Anak-anak tidak hanya makan, mereka belajar mengapa harus makan seimbang, bagaimana menghargai petani yang menanam beras, nelayan yang membawa ikan, bahkan belajar disiplin berbagi dengan teman. Tentu saja tidak ada mie instan dalam kotak itu. Yang ada adalah nasi hangat, sup miso, ikan bakar, sayuran musiman, dan susu segar. Menu itu berganti setiap hari dengan standar gizi yang ketat. Pemerintah daerah, sekolah, dan orang tua bekerja bersama. Dan memang hasilnya nyata, seperti angka obesitas yang rendah, stunting jarang terdengar, dan yang lebih penting ada budaya makan sehat yang terbentuk sejak dini.
Brasil menawarkan kisah yang berbeda. Negara itu menghadapi kemiskinan akut dan kesenjangan sosial yang dalam, mirip-mirip Indonesia. Sejak 1955 mereka menjalankan National School Feeding Programme. Bedanya dengan Jepang, Brasil menekankan aspek ekonomi-politik, yaitu 30 persen bahan makanan sekolah harus dibeli dari petani lokal kecil. Hasilnya apa? Anak-anak memperoleh makanan segar, petani kecil mendapat pasar pasti, dan roda ekonomi desa berputar. UNICEF mencatat program itu berkontribusi signifikan menurunkan angka kelaparan di Brasil selama dua dekade terakhir. Tentu saja karena ada kesadaran bahwa memberi makan anak bukan sekadar soal gizi, melainkan juga soal keadilan sosial.
Indonesia berada di persimpangan. Kita bisa menengok Jepang yang menekankan pendidikan dan budaya sehat, atau Brasil yang menekankan keadilan dan keberlanjutan ekonomi. Tetapi sayangnya, yang terjadi justru kita terjebak di jalur instan. Menu seadanya, vendor besar yang menang tender, distribusi terburu-buru, pengawasan minim, dan dana besar yang rawan jadi bancakan. Sudah lama publik menduga bahwa proyek-proyek masif semacam ini, seperti bansos, bantuan beras, atau kini MBG selalu saja menggoda bagi mereka yang pandai mencari celah. Entah berupa mark up harga, pengadaan fiktif, bahan kualitas rendah, semuanya bisa terjadi di balik spanduk yang penuh janji.
Persoalan yang paling mendasar adalah standar gizi yang tidak konsisten. Di banyak daerah, media melaporkan anak-anak hanya mendapat nasi dengan lauk tipis, seperti mie goreng instan, bahkan ada yang hanya diberi kerupuk dengan paduan sedikit toge. Bayangkan saja sebuah program yang seharusnya melawan stunting justru memberi anak-anak kalori kosong. Jika tubuh anak diibaratkan sebagai fondasi sebuah rumah, maka fondasi itu sedang ditopang oleh pasir, dan bukan semen. Akankah rumah itu bisa kokoh?
Kritik juga perlu diarahkan pada cara negara membangun kepercayaan publik. Ketika keracunan massal terjadi, respons pemerintah cenderung malah defensif. Ada yang bilang kasus masih “dugaan”, ada yang menyebut jumlahnya tidak sebanyak yang dilaporkan media, dan semacamnya. Di sinilah jurang itu sangat terasa. Jurang antara pengalaman nyata orang tua yang anaknya muntah di ruang UKS, dengan angka yang dibacakan pejabat di meja konferensi pers. Karlina Supelli (1959) dalam banyak esainya selalu menyinggung soal trust, bagaimana masyarakat hanya bisa hidup tenteram jika percaya pada lembaga publik. Ketika makanan anak-anak pun dipertaruhkan, maka kepercayaan itu runtuh. Dan kita tahu, membangun kembali kepercayaan jauh lebih sulit daripada membangun dapur umum.
Apakah program ini harus dihapus? Tidak sesederhana itu. Membiarkan jutaan anak sekolah tanpa dukungan gizi harian juga bukan jawaban. Pilihan terbaik adalah merombaknya dengan serius. Kita bisa belajar dari Brasil dengan mengharuskan sebagian besar bahan berasal dari petani lokal, dan bukan dari pabrik besar yang hanya mengejar margin. Kita juga bisa belajar dari Jepang yang menjadikan makan siang sebagai bagian dari kurikulum, dan bukan hanya logistik. Bahkan kita bisa belajar dari negara-negara Nordik seperti Swedia yang memberi makan siang gratis untuk semua murid tanpa kecuali, dengan standar gizi tinggi dan transparansi publik dalam prosesnya.
Tetapi semua itu hanya bisa terjadi jika kita berani menghadapi dua musuh utama yaitu korupsi dan mentalitas instan. Korupsi membuat nasi anak-anak berubah jadi angka rekening. Sedangkan mentalitas instan membuat mie goreng dianggap cukup untuk tumbuh kembang. Kedua hal ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan penyakit moral. Dalam filsafat politik, negara dipandang sebagai kontrak sosial, yaitu rakyat menyerahkan sebagian kebebasannya untuk mendapat perlindungan dan kesejahteraan. Sehingga jika yang mereka terima justru keracunan, maka kontrak itu jadi retak.
Pendidikan gizi juga mutlak diperlukan. Jepang membuktikan bahwa anak yang belajar tentang makanan sejak dini akan tumbuh jadi generasi yang lebih sehat. Saya pikir Indonesia bisa meniru dengan sederhana, yaitu setiap jam makan bersama dijadikan ruang belajar, guru menjelaskan isi piring, anak-anak diajak menghitung kandungan gizi, dan orang tua dilibatkan dalam diskusi. Dengan begitu, MBG bukan sekadar program bagi-bagi makanan, tetapi lebih sebagai transformasi budaya makan sehat.
Program ini juga harus adil bagi semua. Daerah-daerah pinggiran tidak boleh jadi korban ketidakadilan distribusi. Jika akses bahan segar sulit, pemerintah bisa memberi subsidi bahan kering bergizi seperti kacang-kacangan, ikan kering, atau beras fortifikasi yang bisa bertahan lama namun tetap bernutrisi. Jangan sampai anak-anak di kota makan ayam segar, sementara anak-anak di pulau terpencil hanya kebagian mie instan basi.
Pada akhirnya, MBG mengajarkan kita sesuatu yang lebih besar daripada soal logistik dan gizi. Ia mengingatkan kita bahwa makan adalah tindakan politis. Makanan yang masuk ke tubuh anak-anak adalah cermin bagaimana negara memperlakukan masa depannya. Jika makanan itu bergizi, segar, adil, dan penuh perhatian, maka kita bisa berharap pada generasi sehat dan kuat. Tetapi jika makanan itu hanya mie instan murahan hasil tender terburu-buru, maka sebenarnya kita sedang membangun masa depan di atas fondasi yang rapuh.
Saya teringat satu kalimat dari Simone Weil (1909-1943), filsuf Prancis yang menulis bahwa kebutuhan dasar manusia bukan hanya roti tetapi juga makna. Makan bergizi gratis seharusnya memberi keduanya yaitu roti dalam arti harfiah, dan makna dalam bentuk rasa aman serta penghargaan atas hidup anak-anak. Ketika keduanya gagal diberikan maka yang tersisa hanyalah proyek tanpa jiwa.
Maka sekarang pertanyaannya kembali pada kita semua. Maukah kita membiarkan anak-anak kita terus menjadi korban eksperimen kebijakan yang setengah hati? Ataukah kita berani merombak program ini dengan transparansi, standar gizi yang tegas, pendidikan makan, dan keberpihakan pada petani kecil? Jawabannya ada pada pilihan kita sebagai bangsa. Karena pada akhirnya, cara kita memberi makan anak-anak adalah cara kita menulis masa depan negeri ini.
Kredit gambar: Aktualitas.id

Lahir di Enrekang, 5 Juli 1991. Mukim di Jl. Karunrung Raya 1 Makassar. Punya hobi traveling dan menonton.
Sederet pengalaman organisasi: IPM, JIMM, ICMI, Rumah Kajian Filsafat, dan Komunitas Literasi Perempuan.
Aktivitas mutakhir selaku pegiat literasi dan filsafat. Berprofesi sebagai penulis dan dosen.


Leave a Reply