Makam Karaeng Pa’rang di Desa Bonto Jai

Sering kali kita mendengar tentang masyarakat, yang karena kuatnya kepercayaan turun-temurun, kerap mendatangi tempat-tempat yang diyakini dapat mendatangkan kebaikan atau keberkahan. Tempat-tempat ini biasanya memiliki nilai historis atau spiritual yang tinggi bagi mereka.

Pernahkah Anda mendengar nama Desa Bonto Jai? Desa ini terletak di dataran rendah pesisir wilayah Kabupaten Bantaeng. Jika kita berkendara dari arah Kabupaten Jeneponto menuju Bantaeng, Bonto Jai akan menjadi desa pertama yang kita temui. Desa ini terdiri atas tiga dusun, yaitu Dusun Pati (gabungan dari wilayah Pa’ranga dan Tino), Dusun Mattoanging, dan Dusun Tino.

Dusun Pati cenderung lebih ramai karena terletak di tepi jalan poros utama. Di dusun ini terdapat berbagai fasilitas publik seperti Rest Area Bantaeng, beberapa perumahan, dua masjid besar, satu sekolah, serta akses yang mudah ke toko dan apotik. Sementara itu, Dusun Tino berada di bagian tengah desa, jauh dari jalan utama, sehingga suasananya lebih teduh. Di sini terdapat berbagai fasilitas administratif seperti kantor desa, perpustakaan desa, posyandu, PAUD, dan dua musala.

Adapun Dusun Mattoanging, dikenal sebagai daerah pesisir dengan beberapa bangunan penting seperti Rusunawa, sekolah dasar, masjid, dan pos kesehatan desa. Salah satu lokasi terkenal di dusun ini adalah Pelabuhan Mattoanging, yang sering menjadi tempat memancing favorit warga Bantaeng. Terkadang, kapal-kapal besar yang mengangkut barang atau penumpang juga bersandar di pelabuhan ini.

Ketiga dusun di Bonto Jai ini, memiliki karakteristik pekerjaan penduduk yang hampir serupa. Di Pati, banyak warga bekerja sebagai nelayan, petani rumput laut, petani sawah, pedagang, serta pegawai pemerintahan atau pelayanan publik. Di Tino, warganya juga banyak yang bekerja sebagai nelayan, petani, serta staf kantor desa. Sementara di Mattoanging, mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani rumput laut, karena letaknya yang sangat dekat dengan laut.

Namun, dari semua tempat di Bonto Jai, ada satu lokasi yang menarik dari sisi sejarah dan tradisi, yaitu Makam Karaeng Pa’rang yang terletak di Pa’ranga. Makam ini sering didatangi oleh warga sekitar, baik untuk ziarah maupun karena alasan kepercayaan tertentu. Dari informasi yang penulis dapatkan, warga Pa’ranga akan datang berziarah ke makam ini saat seorang bayi baru lahir, ketika seseorang kembali dari perantauan, atau ketika ada warga baru menetap. Bahkan, jika ada warga yang sering sakit atau merasa lemas, mereka meyakini perlu berziarah ke makam ini, sambil membawa beberapa jenis kue yang sudah menjadi ketentuan.

Makam Karaeng Pa’rang ternyata tidak hanya didatangi oleh warga lokal. Orang-orang dari Kabupaten Takalar dan Jeneponto juga sering datang untuk berkunjung. Menurut salah satu warga, ada pula yang datang sambil membawa makanan, sesajen, memotong kambing, bahkan menampilkan tarian tradisional dengan baju bodo diiringi gendang. Namun, tradisi ini biasanya hanya dilakukan oleh mereka yang masih memiliki garis keturunan dari Karaeng Pa’rang. “Tidak semua warga Takalar seperti itu, hanya yang punya lo’lorang (garis keturunan),” jelas salah seorang warga.

Konon, dahulu di dekat makam ini tumbuh sebuah pohon besar. Pohon tersebut sering dijadikan tempat semedi oleh orang-orang yang datang ke makam. Biasanya mereka bersemedi hingga tiga hari. Pohon ini kemudian tumbang secara misterius tanpa sebab yang jelas. Uniknya, tidak satu pun rumah warga di sekitarnya yang tertimpa.

Di makam ini, terdapat pantangan bagi siapa saja, tidak boleh mengotori area sekitar makam, bila ada yang melanggar, biasanya akan sakit, bahkan sampai meninggal.

Secara historis, Karaeng Pa’rang diyakini merupakan salah satu raja dari Bone. Ketika wilayahnya diserang oleh Belanda, sang raja melarikan diri bersama istri, selir-selir, dan para prajuritnya. Mereka menuju Bantaeng karena sang raja, katanya memiliki kerabat bernama Karaeng Butung yang saat itu ada di tanah berjuluk Butta Toa ini.

Saat itu, raja dan rombongannya lari dengan membawa obor. Dalam pelarian, ketika senja berlalu, menjelang magrib yang sunyi, mereka ditemukan oleh pasukan Belanda dan dibunuh di wilayah yang kini dikenal sebagai Pa’ranga. Obor yang mereka bawa pun konon padam, dan dari sanalah nama “Pa’ranga” berasal—yang berarti “redup” atau “mati”.

Dulu wilayah Pa’ranga tidak berpenghuni, sedang diyakini bahwa makam raja dan rombongannya sebagai pemukim pertama di wilayah tersebut, karena itu makam Karaeng Pa’rang sangat dihormati oleh warga. Tradisi ziarah pun terus dilakukan hingga sekarang sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah dan leluhur.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat pada buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 49-51.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *