Sudah terlalu lama sekolah dijebak dalam perangkap angka. Seakan-akan segala sesuatu yang bernama pendidikan hanya berujung pada rapor. Anak-anak digiring ke ruang ujian, lalu dikurung dalam selembar kertas yang diperlakukan bak kitab suci.
Kehidupan seorang murid disederhanakan menjadi deretan angka, dipuja atau dicemooh sesuai tingginya skor. Padahal, tidak ada angka setinggi apa pun yang bisa memberi makna utuh pada kemampuan seorang anak.
Nilai bahasa yang tinggi, misalnya, tidak serta-merta menjadikan murid lancar berbicara atau berani mengemukakan pendapat. Nilai IPA yang sempurna pun tidak menjamin ia bisa menghitung luas sawah yang dikerjakan orang tuanya. Nilai TIK yang gemilang sering kali juga tidak berarti apa-apa ketika ia tak sanggup memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produk hasil kebun keluarganya.
Dengan kata lain, pendidikan yang hanya bertumpu pada angka hanyalah ilusi yang menggambarkan kecakapan semu, tapi gagal menghubungkan anak dengan dunia nyata yang sedang menantinya.
Cilakanya, angka-angka itu kerap menutup mata kita dari kenyataan bahwa murid adalah manusia dengan konteks hidup yang berbeda-beda. Mereka bukan mesin yang bisa diukur dengan standar seragam. Ada murid yang tumbuh di tengah sawah, ada yang hidup di pesisir, ada yang akrab dengan perkebunan, ada pula yang besar di tengah pasar. Semua membawa pengalaman, keterampilan, dan pengetahuan lokal yang kaya.
Namun sekolah, dalam perayaan angka-angkanya, sering kali memutus hubungan itu. Murid bisa menjawab soal-soal rumit di kelas, tapi kesulitan menimbang hasil panen. Murid bisa hafal teori perdagangan internasional, tetapi tak percaya diri menawarkan produk lokal di pasar. Murid bisa lulus dengan nilai matematika yang tinggi, namun bingung menghitung untung rugi usaha sederhana keluarganya. Itulah yang membuat pendidikan kita terasa timpang: gemuk di atas kertas, rapuh di lapangan.
Silahkan dibantah. Menurutku, tuntas belum tentu kompeten, dan angka yang tinggi belum tentu berarti apa-apa jika tidak berjejak dalam kehidupan nyata. Inilah yang mestinya kita lawan, karena pendidikan tidak boleh berhenti pada perayaan semu yang hanya memuja rapor.
Anak-anak memang bisa diajari untuk menuntaskan soal demi soal, menghafal rumus demi rumus, lalu memperoleh angka yang indah di selembar kertas. Tetapi apakah itu bekal hidup yang sesungguhnya?
Pendidikan seharusnya menjadi keterampilan untuk bertahan, keberanian untuk mengambil keputusan, kemampuan untuk membaca situasi, dan kepekaan untuk menjawab tantangan zamannya. Ia bukan sekadar pesta angka yang membius guru, orang tua, bahkan pejabat, tetapi kosong dari makna sejati.
Kita seharusnya berani menggeser ukuran keberhasilan dari sekadar tuntasnya kurikulum menuju tumbuhnya kecakapan hidup. Sebab anak-anak tidak hidup di atas rapor, mereka hidup di tengah sawah, di pasar, di rumah tangga, di jalanan, di dunia nyata yang terus berubah.
Maka pendidikan yang memisahkan mereka dari realitas, hanyalah menyiapkan generasi yang mahir menghafal teori, tetapi gagap ketika dihadapkan pada kenyataan.
Sehingga peluncuran Sekolah Berbasis Ketahanan Pangan pada 19 September 2025 di SMP Negeri 1 Eremerasa, tidak boleh dibaca sekadar sebagai acara seremonial yang ramai dengan sambutan, spanduk, dan dokumentasi.
Ia adalah penanda, sebuah titik balik kecil tapi penting, bahwa sekolah di Bantaeng tidak boleh terus berjalan seperti biasa. Ia adalah isyarat agar kita berani membongkar kebiasaan lama yang hanya menjadikan sekolah sebagai mesin penghasil rapor dan ijazah.
Sekolah berbasis ketahanan pangan menegaskan diri sebagai ruang untuk melawan, ruang untuk menawarkan arah baru, ruang untuk menegaskan kebangkitan bahwa pendidikan yang kita jalankan selama ini tidak bisa terus dibiarkan seperti sedia kala.
Perlawanan pertama jelas: melawan paham despotik yang terlalu memuja angka. Kita semua tahu betul bagaimana rapor sering dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan, seolah-olah nasib seorang anak dapat ditentukan oleh angka-angka yang tertulis rapi di dalamnya.
Padahal kita menyadari, rapor hanya menyajikan potongan kecil dari potensi murid, bukan gambaran utuh tentang dirinya. Ada murid yang brilian dalam keterampilan bertani, ada yang cekatan berjualan di pasar, ada yang punya keberanian tampil di depan umum, tetapi semua itu hilang nilainya hanya karena rapor tidak menuliskannya.
Sekolah Berbasis Ketahanan Pangan hadir untuk menggugat cara pandang sempit ini sekaligus menunjukkan bahwa pendidikan yang baik bukanlah sekadar parade angka, melainkan tumbuhnya kompetensi yang dapat digunakan dalam kehidupan nyata.
Perlawanan kedua adalah melawan pandangan kerdil, bahwa pendidikan hanya urusan sekolah formal. Seolah-olah pendidikan selesai ketika anak sudah duduk di kelas, berhadapan dengan papan tulis, lalu menyalin catatan guru. Padahal Ki Hajar Dewantara sudah jauh-jauh hari mengingatkan, “setiap tempat adalah sekolah, setiap orang bisa menjadi guru.”
Pendidikan tidak bisa dikerangkeng dalam gedung-gedung sekolah. Ia hidup ketika masyarakat terlibat, ketika keluarga ikut serta, ketika para penyuluh, pelaku pasar, dan komunitas sekitar bahu-membahu membentuk ekosistem.
Sekolah Berbasis Ketahanan Pangan adalah pengingat, bahwa mendidik anak-anak bukan hanya urusan guru dan kepala sekolah, tetapi urusan kita bersama sebagai satu komunitas.
Dengan kata lain, Sekolah Berbasis Ketahanan Pangan adalah ikhtiar untuk menjembatani kesenjangan antara pelajaran di kelas dan realitas di luar kelas. Ia adalah upaya untuk memastikan bahwa rapor bukanlah satu-satunya ukuran, melainkan pengalaman nyata yang membentuk kecakapan hidup murid.
Ia adalah cara agar pendidikan tidak hanya menyiapkan anak-anak untuk ujian di ruang kelas, tetapi juga ujian di kehidupan. Dan pada titik inilah kita diingatkan, bahwa pendidikan sejatinya adalah bekal untuk hidup.
Apakah ini sesuatu yang baru? Tentu tidak. Sejarah pendidikan kita sesungguhnya penuh dengan contoh sekolah-sekolah yang lahir dari denyut kehidupan sehari-hari, dari kebutuhan yang nyata, bukan dari rancangan birokrasi yang dingin dan formal.
Lihatlah bagaimana Tan Malaka memelopori Sekolah Syarikat Islam yang bukan sekadar ruang belajar, tetapi ruang menggembleng kesadaran rakyat untuk merdeka. Atau Rahmah El Yunusiyyah yang merintis Diniyyah Putri, sekolah yang menolak anggapan bahwa perempuan hanya pantas dididik sebatas dapur, dan sebaliknya melahirkan generasi perempuan yang berani berpikir, berdiri, dan memimpin.
Rohana Kudus dengan Sekolah Kerajinan Amai Setia mengajarkan murid-muridnya menjahit dan menenun, produksi logam kualitas ekspor, bukan sekadar untuk keterampilan tangan, tetapi untuk mengangkat martabat dan kemandirian ekonomi.
Begitu pula Dewi Sartika dengan Sakola Kautamaan Isteri yang meletakkan pendidikan sebagai sarana membentuk kesadaran, bahwa perempuan Indonesia tidak boleh terjebak dalam lingkaran ketidakberdayaan.
Sekolah-sekolah itu melahirkan lebih dari sekadar lulusan dengan ijazah di tangan. Mereka melahirkan pejuang yang berani menggugat penindasan, orator yang memantik kesadaran kolektif, musisi yang menghidupkan ruh kebudayaan, penggerak ekonomi yang memperkuat kemandirian rakyat, serta cendekiawan yang tidak melupakan tanah tempat mereka berpijak.
Pendidikan dalam wajah seperti itu tidak pernah tercerabut dari kenyataan, tidak berhenti pada angka dan rapor, dan tidak menyerah pada rutinitas belaka. Ia adalah denyut kehidupan itu sendiri: mengalir, mengakar, sekaligus menyuburkan.
Maka, jika hari ini kita bicara tentang sekolah berbasis ketahanan pangan, sesungguhnya kita sedang menyambung napas panjang sejarah itu. Semacam keberanian untuk menegaskan kembali bahwa pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang berhubungan langsung dengan kehidupan, yang melahirkan manusia-manusia yang bukan hanya pintar, tetapi juga tangguh dan berdaya guna bagi lingkungannya.
Jadi, apa yang baru dari sekolah berbasis ketahanan pangan? Yang baru bukanlah idenya, melainkan cara kita membaca ulang sejarah, lalu menyesuaikannya dengan zaman yang kini menuntut ketahanan pangan sebagai salah satu kunci keberlangsungan hidup. Kita tidak sedang menciptakan sesuatu yang sama sekali asing, melainkan melanjutkan tradisi lama pendidikan yang berakar pada realitas masyarakat.
Bedanya, kini konteksnya adalah krisis pangan global, ancaman perubahan iklim, dan kebutuhan kemandirian daerah. Maka, pendidikan yang berbasis pada ketahanan pangan bukan sekadar program teknis, tetapi sebuah strategi kebudayaan untuk memastikan bahwa sekolah benar-benar menjadi tempat mempersiapkan generasi yang tangguh menghadapi tantangan zamannya.
Namun tentu saja, pertanyaan itu akan selalu datang: bukankah anak-anak pergi ke sekolah untuk belajar, bukan untuk bertani atau beternak? Pertanyaan yang wajar, dan sering diajukan dengan nada menyangsikan. Tapi mari kita jujur, apa yang disebut “belajar” dalam praktik sehari-hari pendidikan kita? Murid bisa menghafal konsep ekosistem dengan lancar, tetapi mereka sering asing dengan kebun di belakang rumahnya sendiri.
Mereka bisa menulis esai panjang tentang perdagangan, tetapi gagap ketika harus menawarkan produk lokal di pasar kecamatan. Mereka bisa menjawab soal tentang pengolahan data, tetapi belum pernah menghitung produksi gabah di desa tempat mereka tinggal. Maka, siapa yang bisa menyangkal bahwa pendidikan kita selama ini memang terlalu jauh dipisahkan dari konteks kehidupan murid?
Sekolah berbasis ketahanan pangan justru hadir untuk menyambungkan kembali yang sudah lama terputus. Ia bukan hendak menjadikan murid petani atau peternak semata, melainkan melatih mereka untuk melihat hubungan antara ilmu dan kehidupan. Murid belajar dengan cara bekerja, memahami teori melalui praktik, menemukan makna dari setiap rumus dan definisi karena berhadapan langsung dengan kenyataan.
Inilah pendidikan yang membumi: matematika yang berhubungan dengan perhitungan panen, bahasa yang tumbuh dari kebutuhan menulis narasi produk, dan IPA yang hidup saat murid menanam cabai dengan pupuk organik. Inilah cara agar pelajaran tidak berhenti sebagai tumpukan kertas ujian, tetapi menjelma menjadi bekal hidup yang konkret.
Karena itulah, program ini tidak boleh dibaca hanya sebagai proyek satu dinas. Dari awal, ia dirancang sebagai kerja ekosistem yang melibatkan banyak pihak. Dinas Perikanan dan Kelautan, misalnya, berkomitmen mendampingi budidaya perikanan air tawar di sekolah. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan mengirimkan penyuluh yang mengajarkan teknik pembuatan pupuk organik.
Saya sendiri menyaksikan bagaimana murid-murid SMP Negeri 1 Eremerasa begitu bersemangat saat mempraktikkan pembuatan kompos untuk tanaman cabai dan terong. Di wajah mereka tampak sesuatu yang jarang muncul di jam pelajaran biasa: rasa penasaran yang tulus, antusiasme yang menyala, bahkan kegembiraan yang jujur.
Tidak berhenti di situ. Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan membuka jalan agar hasil panen sekolah tidak mandek di halaman, melainkan benar-benar sampai ke pasar. Murid belajar menghitung modal, merancang distribusi, memahami laba rugi, dan melihat sendiri bagaimana sebuah produk menemukan jalannya ke tangan pembeli.
Bahkan mobil perpustakaan keliling ikut hadir, membawa buku-buku tentang pertanian rumah tangga, memberi jembatan antara praktik nyata di lapangan dengan pengetahuan yang lebih luas dan terstruktur. Di titik ini kita melihat bagaimana sebuah ekosistem pendidikan yang sehat bekerja: saling menopang, saling melengkapi, dan bersama-sama menghidupkan proses belajar.
Saya tentu tidak menutup mata: program ini tidak akan menampakkan hasil secepat menanam bibit cabai di pot depan kelas. Panen pertama bisa saja gagal, pupuk pertama mungkin tidak bekerja, ikan pertama mungkin mati. Namun, justru dari kegagalan awal itulah murid akan menuai sesuatu yang jauh lebih berharga daripada hasil kebun atau kolam: daya hidup.
Mereka belajar berpikir kritis, bekerja sama dengan teman, berani mencoba sesuatu yang baru, menata ulang strategi saat gagal, dan tetap percaya diri untuk terus melangkah. Kompetensi inilah yang sesungguhnya menjadi inti pendidikan, hal-hal yang tidak bisa diukur dengan angka-angka, tetapi akan menemani mereka sepanjang hidup.
Bukankah jauh lebih penting menumbuhkan manusia yang tahan banting, ulet, dan kreatif daripada sekadar menumpuk seratus demi seratus di lembar ujian?
Pada akhirnya, sekolah berbasis ketahanan pangan bukanlah sekadar urusan sawah, kebun, atau kolam ikan. Ia adalah simbol bagaimana sekolah kembali hadir di tengah denyut kehidupan masyarakat, bukan terasing di balik pagar tinggi atau terjebak di ruang kelas yang penuh hafalan. Ia adalah undangan bagi semua pihak: guru, murid, orang tua, penyuluh, pasar, bahkan buku.
Mari berjalan beriringan, saling menopang, saling menghidupkan. Di situlah pendidikan menemukan makna sejatinya: bukan hanya mengajar anak-anak menjawab soal, melainkan menemani mereka menjawab hidup.
Kawan-kawan guru. Bukankah sekolah yang seperti inilah yang diam-diam kita rindukan selama ini? Sekolah yang tidak lagi memenjarakan anak-anak dalam angka, tetapi membebaskan mereka untuk tumbuh menjadi manusia yang utuh.

Lahir di Sungguinasa, Gowa, 19 Juni 1981. Bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantaeng, selaku Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan. Menjabat Ketua Umum Komunitas Guru Belajar Nusantara Periode 2019-2022. Selain menulis, juga suka baca karya sastra, dan olahraga badminton.


Leave a Reply