Eksistensi Ganrang Tallua di Butta Toa

Kabupaten Bantaeng berjuluk Butta Toa, yang berarti tanah tua atau tanah bersejarah. Sesuai dengan julukannya, tentu saja Bantaeng adalah salah satu daerah di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki sejarah panjang, serta memiliki banyak ragam kebudayaan, salah satunya adalah Ganrang Tallua.

Sebagian besar masyarakat Bantaeng sudah mengenal kebudayaan tersebut, tapi mungkin masih ada yang belum mengetahui, terutama generasi muda. Untuk itu, dalam tulisan ini, saya ingin mengulas tentang eksistensi budaya Ganrang Tallua, yang sudah ada sejak zaman dahulu. Bagaimana budaya ini bisa terus bertahan keberadaannya hingga sekarang?

Ganrang Tallua pada dasarnya, merupakan alat musik tradisional, juga salah satu budaya lokal Bantaeng yang masih eksis hingga saat ini. Di era moderen seperti sekarang, ketika perkembangan teknologi sudah semakin maju, praktis komponen musik juga sudah semakin berkembang dan bervariasi. Alat-alat musik yang canggih, sudah lazim dipergunakan saat ini oleh masyarakat umum, sebagai sarana hiburan pada acara pesta perkawinan, pagelaran budaya, dll.

Semakin majunya perkembangan alat musik, tidak memengaruhi kiprah Ganrang Tallua. Istilah Ganrang Tallua, menurut asal usul bahasa, berasal dari kata ganrang dalam bahasa daerah Bantaeng berarti “gendang”. Sedangkan tallua berarti “tiga”. Ganrang Tallua merupakan instrumen alat musik pukul (gendang), yang dikombinasikan dengan alat musik gong, menggunakan pemukul atau stik dari kayu, dan dimainkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hingga menghasilkan suara musik tradisional yang khas.

Secara historis, Bantaeng pada zaman pemerintahan patrimonial, atau yang dikenal dengan bentuk sistem pemerintahan kerajaan, di mana kepala pemerintahannya dipimpin oleh seorang karaeng atau raja. Bentuk eksistensi Ganrang Tallua pada era Kerajaan Bantaeng terdahulu, adalah instrumen musik tradisional yang ditampilkan, serta disajikan pada acara-acara tertentu, antara lain, pesta adat, pelantikan pejabat kerajaan, penyambutan tamu terhormat, pernikahan keluarga raja, ritual adat daerah, serta hanya untuk sekedar menghibur raja beserta masyarakat.

Di zaman moderen ini, Ganrang Tallua tetap terus dijaga kelestariannya, walaupun beberapa generasi pencetus terdahulu sudah tiada. Meski begitu, regenerasi penerus Ganrang Tallua tetap ada hingga sekarang. Proses regenerasi bisa terus berlanjut, disebabkan adanya kesadaran, serta pemahaman tentang pentingnya melestarikan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Tak hanya itu, intervensi serta peran dari pemerintah, juga menjadi faktor penting dalam melestarikan budaya tersebut. Di samping itu, kelompok masyarakat dari keturunan raja atau darah biru, yang secara silsilah masih ada hubungan kekerabatan, juga berperan sangat penting atas pelestarian Ganrang Tallua.

Sementara itu, pelestarian budaya yang ada di Kabupaten Bantaeng, juga tidak lepas dari peran dan upaya pemerintah, yang terus memberi dukungan dalam upaya-upaya pelestarian terhadap budaya asli Bantaeng, agar tak lekang oleh waktu.

Hingga kini, eksistensi Ganrang Tallua masih dibutuhkan oleh sekelompok kalangan. Instrumen Ganrang Tallua kini, tak jarang disajikan khususnya pada acara-acara pernikahan, yang mana kerap diinisiasi oleh beberapa kelompok masyarakat, yang mengklaim dirinya masih memiliki garis keturunan raja atau karaeng. Tidak hanya itu, Ganrang Tallua juga masih kerap ditampilkan, pada acara-acara pemerintah dalam bidang kebudayaan, serta pada acara penyambutan tamu terhormat.

Dalam konteks adat istiadat, warga Bantaeng—terkhusus dalam domain keturunan karaeng, Ganrang Tallua dalam acara perkawinan, ada semacam ritual yang sakral, serta mengandung unsur mitos, di mana Ganrang Tallua dimainkan pada waktu-waktu tertentu, dianggap memiliki kekuatan magis dan mengandung makna filosofis mendalam.

Waktu-waktu sakral tersebut ialah, pada saat fajar atau sebelum matahari terbit, lazim disebut oleh warga Bantaeng sebagai wattu danniari. Waktu ini diyakini dapat memberikan energi positif dan semangat, kepada keluarga besar yang melangsungkan acara pernikahan.

Kemudian pada pagi hari. Pada waktu ini, Ganrang Tallua dimainkan setelah dilakukan prosesi upacara ritual yang disebut apparuru. Proses ritual ini menggunakan sejumlah perlengkapan, yang menjadi syarat sahnya ritual tersebut, antara lain baku karaeng, kanjoli, berasa, doe’, golla eja na kaluku, raung dinging-dinging, serta dupa.

Selanjutnya pada waktu petang. Di waktu ini, Ganrang Tallua dimainkan sebelum acara a’burangga dilakukan. A’burangga adalah sebuah prosesi adat yang dilakukan dengan menggunakan beberapa perlengkapan, di antaranya bantal (angkaluneng), sarung sutera (lipa sabbe), daun pisang, daun nangka, daun burangga, beras, lilin, tempat burangga, gula merah, dan kelapa.

Lebih lanjut, prosesi ini dilakukan oleh para kerabat, serta orang-orang terdekat. Tak hanya itu, ritual ini menandakan bahwa kerabat maupun rekan-rekan yang datang, melakukan prosesi a’burangga telah memberikan restu, serta dukungan moral kepada kedua pengantin.

Bagian terakhir dari waktu-waktu sakral tersebut, ialah saat tengah malam atau lantang bangngia. Waktu ini diyakini, bahwa bunyi yang dihasilkan Ganrang Tallua sebagai doa penghalang energi negatif dari hal-hal gaib.

Dalam keyakinan maupun mitos, serta cerita mistis yang tersebar di sejumlah kalangan masyarakat Bantaeng, perihal bunyi yang dihasilkan, dari kombinasi permainan gendang dan gong pada waktu tengah malam, telah menimbulkan stereotip terhadap Ganrang Tallua, hal ini diyakini erat kaitannya dengan hal-hal gaib.

Lebih dari itu, ada juga sebagian masyarakat, menganggap bunyi yang dihasilkan oleh Ganrang Tallua, menimbulkan efek magis yang kuat, sehingga dapat memanggil roh-roh leluhur. Bahkan ada yang meyakini bahwa, bunyi Ganrang Tallua pada waktu tengah malam, bukan dihasilkan atau dimainkan oleh manusia, tapi oleh sesuatu yang gaib dan tak kasat mata. Mitos ini terkesan horor dan cukup menakutkan, terutama bagi kalangan yang meyakini mitos tersebut, hingga pada akhirnya membuat rasa takut yang besar.

Bagian tak kalah pentingnya dari tulisan ini, adalah kisah lain yang terkuak dari sisi mistik atau mitos Ganrang Tallua, yaitu tentang pengaruh yang diakibatkan oleh ketidakpatuhan terhadap praktik adat istidiat, yang konon katanya dapat berdampak buruk bagi kehidupan, maupun takdir kelompok masyarakat tertentu, yakni keturunan karaeng.

Menurut sumber yang kami dapatkan,  Saripuddin Daeng Aso, salah satu orang yang ikut berkontribusi dalam pelestarian budaya Ganrang Tallua. Konon, ketika keturunan karaeng (raja) tidak memainkan Ganrang Tallua, pada saat mengadakan pesta perkawinan, keturunan itu akan kualat, dalam bahasa Bantaeng disebut bassung, atau terjadi hal-hal yang dapat merugikan keturunan karaeng itu sendiri, seperti kesurupan dan mendapatkan penyakit (Irsandi 2018).

Memelihara keragaman budaya di Butta Toa, adalah kewajiban bagi segenap warga Bantaeng. Senada dengan itu, segala upaya serta inisiatif dari sejumlah unsur masyarakat, yang telah memberikan perhatian terhadap kelestarian budaya dan kearifan lokal Bantaeng, adalah merupakan wujud dan bentuk moralitas, serta kesadaran diri yang tinggi, terhadap pentingnya menjaga kebudayaan lokal, yang mulai tergerus oleh perkembangan zaman.

Tradisi maupun budaya, mesti terus dirawat secara sungguh-sungguh, karena ini menyangkut identitas yang menjadi ciri khas suatu daerah. Sama halnya dalam mempertahankan eksistensi Ganrang Tallua, tentunya membutuhkan dukungan, pengertian, dan kepedulian tentang betapa pentingnya menjaga kelestarian budaya lokal. Mari senantiasa mempertahankan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya di dalam kehidupan sosial secara berkelanjutan, yang pada gilirannya dapat berdampak pada hubungan positif antar individu, serta hubungan sosial yang harmonis.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 135-138.

Kredit gambar: Irsandi-Ashok.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *