Belajar Membaca, Tanggung Jawab Siapa?

Pertanyaan ini pernah menjadi perdebatan sewaktu saya mengikuti balai diklat perpustakaan. Seorang guru SMP mengeluh, mendapati murid-muridnya masih kesulitan membaca. Mereka mempertanyakan apa yang selama ini dikerjakan oleh para guru SD.

Pertanyaan itu memancing kerumunan protes dari pihak guru SD. Mereka merasa bebannya terlalu berat untuk dilekatkan kepada mereka. Sedangkan mereka berkejaran dengan kurikulum dan pencapaian-pencapaian yang harus murid capai di SD. Alhasil, mereka melemparkan pertanyaan ini kepada guru TK, apa saja yang dibuat oleh guru TK? Seharusnya, sewaktu anak-anak masuk SD kelas 1 sudah bisa membaca. 

Nah, pihak guru TK menjelaskan, kalau proses belajar membaca bukanlah ranah mereka. Tidak ada keharusan pendidikan di TK mengajari membaca. TK hanyalah tempat menyanyi, mewarnai, bersosialisasi, dan sebagainya. Artinya, di siklus ini terlihat gap/jurang yang sangat dalam. Menyebabkan pelemparan tanggung jawab antar jenjang.

Sebenarnya, waktu itu saya menyadari di seputaran itulah letak jurangnya. Tetapi, ngapain juga saya capek-capek memikirkan solusi atas itu? Toh, saya hanyalah rakyat biasa, bukan penerima pajak, bahkan saya pemberi pajak. Tinggal menerima kebijakan dari orang-orang yang sudah diberi tanggung jawab plus uang banyak (tentu saja dari pajak) untuk memikirkan masalah itu. 

Anakku juga, Shanum baru berusia 2 tahun. Sudah cukuplah urusan IRT ini yang tidak ada habisnya saya pikirkan dan kerjakan. Kalaupun kelak sudah waktunya. Shanum akan saya beri stimulus sendiri. Membuat kurikulum belajar untuk dirinya sendiri. 

Namun, baru saja saya membuka les membaca semingguan ini. Pikiran ini lagi-lagi datang kepada saya. Setelah melakukan obrolan panjang skala ringan hingga berat dengan umi terkait pendidikan. Saya semakin memikirkannya lagi, hingga ingin mengeluarkannya dalam bentuk tulisan.

Kembali ke pertanyaan awal tadi, jadi siapakah yang perlu kita “tunjuki” tanggung jawab ini? Saya menuliskan ini berdasarkan keresahan saya sebagai pengajar les membaca anak usia dini. Seorang ibu yang dulunya bekerja di homeschooling selama 4 tahun sebagai kepala sekolah dan juga guru. Jadi terbayanglah, betapa gregetnya saya melihat ini. 

Ditambah lagi latar belakang keluarga yang kurang lebih 30-an tahun bergerak dalam bidang pendidikan dan parenting. Jika saya mengatakan tanggung jawab ini adalah milik sekolah. Sekolah jenjang mana yang bersedia memikulnya? Mengingat carut marutnya pendidikan di Indonesia. Pergantian sistem dan kurikulum per lima tahun. Tidak adanya keberlanjutan. Padahal, pendidikan adalah upaya proses belajar sepanjang hayat. 

Seperti apa bentuknya jika program belajar membaca ini dimasukkan. Apakah pada jenjang TK? Di mana atensi fokus anak masih sekitaran 15 menit saja. Belum lagi kebutuhan anak yang berbeda-beda. Starting point yang tidak sama. Wajarlah jika di TK lebih enak dan nyaman bagi anak usia dini itu bermain dan berkreasi saja.

Kalau begitu, mari kita coba geser ke jenjang kelas satu SD. Mungkin di sini bisa kita masukkan dengan syarat kemampuan membaca ini, haruslah berkelanjutan ketika naik kelas selanjutnya. Dengan asesmen di awal. Di titik inilah pondasi membaca perlu diperkuat saja dulu. Tidak usah disibukkan dengan berbagai macam mata pelajaran, toh membaca saja masih terbata-bata.  Plus latihan kemampuan fisik. Alasannya? Anak yang telah matang kemampuan motoriknya, baik kasar dan halus (jadi ingat bakso, hehehe), memiliki kemampuan fokus belajar yang lebih tinggi.

Sederhananya, kebutuhan akan bergerak sudah diberi makan. Jadi, sudah bisa diajak lebih bekerja sama sewaktu menggunakan motorik halus dan berfokus pada mengingat. Tetapi apakah bisa cara itu diterapkan? Mungkin kontroversial, karena pendidikan kita selalu ingin saja berlari, termasuk mengejar pelajaran. Tanpa tahu mengapa harus berlari dan apakah memang seperlu itu berlari? Dan ingat, ini hanyalah POV (Poin of View) seorang IRT yang sebagian besar waktunya mengurus anak dan rumah. 

Jadi, bagaimana kalau kita berikan saja tanggung jawab ini kepada masing-masing orang tua? Biarkan saja mereka “berkelahi” mencari cara dan sistem agar anaknya mampu membaca. Begitu mungkin pikiran orang-orang yang kita beri pajak.

Mengingat kondisi pendidikan di atas. Sebenarnya ada banyak metode, cara belajar agar anak bisa membaca dan bisa dilakukan oleh orang tua. Semisal, metode Montessori, dengan berfokus pada fonetik (membunyikan huruf) yang bermakna, tanpa mengeja. Mengenal huruf dengan alat peraga atau disebutnya aparatus. Sehingga lebih “menempel” di kepala mereka dengan menggunakan indera peraba.

Ada juga metode TBUN (Tautkan, Bedakan, Ulangi, Nyanyikan). Dengan tahapan seperti ini: menghubungkan gambar dengan kata-kata yang sesuai untuk meningkatkan pemahaman dan memori (tautkan). Lalu, membantu anak membedakan huruf, suku kata, dan kata melalui teks berwarna (bedakan). Selanjutnya, mengulang materi yang telah dipelajari untuk memperkuat ingatan dan pemahaman (ulangi). Terakhir, mengajak anak menyanyikan teks yang dibaca, biasanya melalui barcode yang terintegrasi dalam buku, untuk membuat proses belajar lebih menyenangkan (nyanyikan).

Ada juga metode membaca suku kata. Saya menggunakan ini dengan bantuan kartu. Berfokus pada suku kata, serta kartu sebagai alat bantu untuk mengingat suku kata itu. Dan pasti masih banyak metode lainnya yang perlu diselami lagi. Tiap cara, tentulah punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sisa disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. 

Saya lebih memilih menggunakan metode suku kata, mengingat jika dua metode lainnya akan sulit jika harus ditranformasikan pengetahuan itu kepada orang tua. Agar mereka dapat melakukannya di rumah sebagai latihan belajar. Apalagi, saya melihat umi saya telah menggunakannya selama lebih 5 tahun. Dan berhasil. Jadilah metode ini saya pilih dengan selingan kegiatan lain, seperti melukis, bermain playdough/lego, membaca nyaring (read aloud), dan semacamnya.

Saya juga memberikan lembar kerja dengan media alat bantu kepada orang tua, disertai lembar laporan belajar lengkap dengan penjelasan seperti “keberhasilan anak hari ini”, “tantangan yang dihadapi” dan semacamnya. Agar orang tua melihat, kalau pencapaian itu bukan hanya sekadar bisa membaca secara cepat atau lambat. Tapi ada proses yang anak-anak itu jalani, dan itu perlu diberi apresiasi, walaupun terlihat sederhana dan biasa saja bagi orang dewasa. 

Nah, keluar dari pembicaraan soal metode ini. Apakah semua keluarga mampu untuk memberi anaknya fasilitas les membaca? Atau apakah mereka juga mampu sebagai orang tua menjalankan sistem ini? Kenapa pertanyaan ini muncul? Mengingat kondisi rumah tangga sekarang, kita berhadapan dengan  kehidupan ekonomi yang semakin mahal, otomatis kita perlu melakukan penghematan dan memilih prioritas agar uangnya dapat fokus ke kebutuhan yang lebih penting, (jelas sekali les mambaca tidak termasuk di sini dan jenis-jenis les lainnya).

Dengan kondisi harga yang semakin naik, sedang pendapatan yang tidak naik. Orangtua pastilah perlu menukar waktunya dengan mencari pekerjaan tambahan. Alhasil, modal utama, yaitu waktu untuk anak belajar bersama orangtua akan tergantikan dengan waktu yang dipakai bekerja. Supaya memiliki kehidupan yang layak. Bahkan, terkadang banyak kondisi kedua orangtua sudah bekerja, menukarkan waktu hingga anak pun terlihat “ditelantarkan”, masih saja belum mencukupi standar kehidupan yang layak itu.

Jadi jika memang sebenarnya, tanggung jawab membaca ada pada orangtua. Namun, hal yang mesti dituntut adalah sistem dari pemerintah, termasuk kebijakan dalam hal penurunan harga barang dan juga pendapatan layak bagi rakyatnya. Biarlah kami sebagai orang tua yang mengajari anak kami. Tapi tolong, bantu kami dari uang pajak yang kami berikan, agar kami memiliki kehidupan yang layak. Toh, selama ini juga sejak anak lahir ke dunia orang tua sudah bertanggung jawab sepenuhnya kepada anak. Bahkan tanpa diminta ataupun dituntut. Karena kami tahu, sejak menjadi orang tua, rasa-rasanya kami siap memberikan apa pun, bahkan nyawa kami kepada anak.

Sekian tulisan, sebenarnya curhatan dari ibu rumah tangga ini yang baru saja membuka les membaca. Sebagai upaya bertahan hidup di negara Indonesia dengan kelimpahan alam yang luar biasa. Semoga bisa menjadi penguat dan bahan refleksi kesadaran kalau urusan rumah dan juga parenting adalah bagian dari politik. 

Sumber gambar: https://chatgpt.com/c/68cf2eb0-defc-8324-97cf-fef44b0ff142


Comments

One response to “Belajar Membaca, Tanggung Jawab Siapa?”

  1. Hamsir Jailani Avatar
    Hamsir Jailani

    Daging semua ini isinya..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *