Isu keterlibatan legislator dalam proyek dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Bantaeng belakangan ramai diperbincangkan. Program yang sejatinya digagas Presiden untuk memperkuat ketahanan gizi anak bangsa, kini justru terancam citranya karena adanya dugaan campur tangan wakil rakyat dalam ranah eksekusi kebijakan.
Jika benar anggota DPRD Bantaeng turut melibatkan diri langsung dalam pengelolaan dapur MBG, hal itu tidak hanya mencederai prinsip tata kelola pemerintahan, melainkan juga semakin meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif. Parlemen daerah seharusnya berdiri di posisi netral sebagai pengawas jalannya program, bukan malah ikut menjadi pemain utama dalam proyek eksekutif.
Dalam sistem demokrasi, relasi antara eksekutif dan legislatif memiliki garis pembatas yang jelas. DPRD memiliki tiga fungsi pokok: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Posisi ini penting karena memastikan kebijakan pemerintah daerah berjalan sesuai jalur, berpihak pada rakyat, serta terhindar dari penyalahgunaan. Ketika legislator justru melebur ke ranah eksekusi proyek, maka mekanisme check and balance otomatis lumpuh.
Logika sederhana dapat menjawab pertanyaan publik: bagaimana mungkin pengawas sekaligus menjadi pelaksana? Jika kondisi ini dibiarkan, maka DPRD kehilangan daya kritisnya. Mereka yang seharusnya menjadi “mata rakyat” dalam mengontrol kebijakan justru terjebak dalam kepentingan praktis yang sarat konflik.
Lebih jauh, keterlibatan anggota dewan dalam proyek MBG berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha lokal di Bantaeng. Program dapur MBG sejatinya terbuka untuk semua pihak: koperasi, UMKM, hingga komunitas yang memenuhi standar kelayakan. Namun, ketika ada campur tangan politik, maka seleksi mitra rawan menjadi tidak obyektif. Yang diuntungkan bukanlah pelaku usaha yang benar-benar mampu, melainkan mereka yang dekat dengan lingkar kekuasaan.
Di titik inilah letak bahaya terbesar: hilangnya prinsip meritokrasi. Program MBG yang digadang-gadang sebagai langkah besar membangun kualitas SDM bangsa bisa berubah menjadi sekadar ladang proyek segelintir elit politik. Masyarakat Bantaeng, yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama, justru berisiko mendapat gizi buruk dalam arti kebijakan: program tidak tepat sasaran, penuh celah penyimpangan, dan berpotensi merugikan anggaran negara.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, memang menegaskan bahwa kerja sama dengan dapur MBG terbuka untuk semua pihak. Artinya, siapa pun memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi mitra pemerintah. Pernyataan ini sejalan dengan semangat inklusivitas yang ingin ditanamkan pemerintah pusat. Tetapi, terbuka untuk semua pihak bukan berarti terbuka untuk intervensi politik praktis. Legislator harus mampu membaca garis batas antara kepentingan pribadi dan mandat rakyat.
Sebagai warga Bantaeng, kita patut bertanya: di manakah moralitas wakil rakyat ketika kepentingan publik dipertaruhkan? Apakah mereka rela mengorbankan citra DPRD demi keuntungan jangka pendek? Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan refleksi atas fenomena yang sudah berulang kali terjadi. Di banyak daerah, kepercayaan terhadap parlemen memang terkikis oleh praktik yang sama: politisi berupaya menancapkan kuku pada proyek eksekutif.
Secara etis, keterlibatan DPRD dalam proyek MBG juga menyalahi semangat good governance. Tata kelola pemerintahan yang baik menuntut adanya akuntabilitas, transparansi, dan independensi lembaga. Jika DPRD sekaligus menjadi eksekutor, maka siapa yang akan mengawasi mereka? Situasi seperti ini membuka ruang bagi praktik kolusi, nepotisme, hingga korupsi yang lebih sistematis.
Dari sisi emosional, masyarakat Bantaeng tentu merasa kecewa. Bagaimana mungkin wakil rakyat yang dipilih dengan penuh harapan justru merusak kepercayaan itu sendiri? Program MBG bukan sekadar soal makan siang anak sekolah, melainkan tentang masa depan generasi. Jika sejak awal program ini sudah disusupi kepentingan politik, maka apa jadinya nasib anak-anak kita kelak?
Di tengah keprihatinan ini, penting bagi publik untuk bersuara. Civil society, media, hingga akademisi di Bantaeng perlu mempertegas sikap: DPRD tidak boleh bermain di ranah yang bukan miliknya. Suara kritis masyarakat adalah tameng terakhir agar program MBG tetap berjalan sesuai tujuan mulianya.
Pada akhirnya, isu keterlibatan legislator dalam proyek MBG di Bantaeng harus dijawab dengan ketegasan. DPRD mesti kembali ke relnya sebagai pengawas, bukan pelaksana. Biarlah eksekutif bekerja menjalankan program, sementara legislatif menjaga agar jalannya program tetap bersih dan berpihak pada rakyat.
Sebab, ketika fungsi pengawasan dan eksekusi kebijakan melebur dalam satu tangan, sejarah sudah berulang kali membuktikan: penyimpangan hanyalah soal waktu.
Kredit gambar:
chatgpt.com/s/m_68cce28ba84081918307e532132b26d3

Takdir Mahmud, lebih akrab disapa Abhy, lahir dari pasangan orangtua Mahmud dan Kumina. Pendiri Serambi Baca Tau Macca, inisiator Kemah Buku Kebangsaan (KBK) dan relawan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.
Email: takdir@pplhpuntondo.or.id


Leave a Reply