Ritual dan Kesakralan Pulau Batunu

Ditulis dalam buku Menulis Desa membangun Indonesia, kumpulankarya masyarakat Desa Bonto Jai yang di dalamnya terdapat judul “Bonto Jai Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan”, oleh Amiluddin Azis, bahwa dalam tradisi melakukan panen maupun setelah panen di Desa Bonto Jai, melakukan suatu kegiatan semacam ada’ 12 kayu lompoa (ganrang tallu)  dan pamanca. Demikian juga pada acara pernikahan yang diperuntukkan bagi keturunan raja, dengan harapan panen bisa berhasil, dan sepasang suami istri, anak-anak dan cucunya senantiasa berbahagia dan disegani.

Selain yang disebutkan di atas, ada namanya accera’, sebuah tradisi memotong ayam di sawah yang luas (galung pa’kajangnangang), dilakukan pada saat petani menabur benih, sebelum dan sesudah ditanam, dengan harapan untuk menolak hama perusak dan hasil panen meningkat.

Adapun kebiasan selanjutnya proses maulid. Maulid disebarkan melalui proses tahapan, seperti sikkiri bunga dan sikkiri lebba yang dilakukan selama tiga hari dan tiga malam, makna dari 2 sikkiri tersebut tentu sangat mendalam, tapi dalam tulisan ini, kami tidak jelaskan secara detail, sebab orang-orang yang mengetahuinya sudah terpanggil oleh Allah Swt.

Selanjutnya adalah appatutu, budaya yang dilakukan masyarakat pada saat gerhana bulan, dan yang paling terakhir adalah appakarena menuju Batunu (sebuah situs yang disakralkan di laut Bonto Jai). Namun, sebagian masyarakat Bonto Jai tentu memandang berbeda kata “sakral” pada situs Batunu, termasuk penulis yang tetap meyakini bahwa Batunu punya nilai mistis dan sakral.

Penulis tetap berpegang teguh dan berlindung kepada Allah Swt, dari fitnah dan keji kaum jin yang bisa menghasut dan menipu manusia dari arah mana pun.

Batunu adalah sebuah pulau yang tak berpenghuni manusia, melainkan dihuni oleh bangsa jin. Pulau ini terletak di Dusun Mattoanging, Desa Bonto Jai, Kec. Bissappu, Kab. Bantaeng. Pulau ini dikenal dengan sebutan lain, seperti Batunurung. Di dalam buku Menulis Desa membangun Indonesia, di dalamnya terdapat judul “Makna di Balik Batunu” oleh Lilis Adriani Ansar, menjelaskan bahwa Batunu ini tetap berdiri kokoh di lautan Bonto Jai, tidak pernah tenggelam walau air laut pasang, tetap memperlihatkan bentuk yang sempurna (kesempurnaan hanya milik Allah Ta’ala), ketika yang melihatnya berdiri di atas trotoar jalan, maupun ketika dipandang dari arah samping dari atas perahu.

Dalam Tulisan Lilis itu, dikatakan bahwa menurut cerita legenda, Batunu ini mempunyai 7 saudara di beberapa tempat berbeda, fungsinya sama. Ketujuh batu ini mempunyai pinati, atau biasa disebut oleh orang desa sebagai “orang pilihan yang bisa menyuguhkan atau berbicara dengan bangsa gaib yang berada di pulau tersebut. 

Bagi sebagian masyarakat, kesakralan Batunu dijadikan sebagai tempat untuk meminta sesuatu, dan dianggap mampu mengubah nasib dengan cara yang cukup sederhana, yakni dengan cara bernazar, entah itu dilakukan dengan hati, maupun dengan lisan. Menurut cerita sekitar Pelabuhan Mattoanging, bahwa di saat pembangunan pelabuhan tersebut, dilakukan ritual memotong seekor kerbau hitam, dengan tarian diiringi dengan tabuhan gendang, penari dari luar Bonto Jai yang melakukan ritual mengalami keanehan yang luar biasa. Mula-mula masyarkat sekitar yang hadir hanya kelihatan biasa-biasa saja, lama-kelamaan keanehan mulai terjadi kepada salah satu penari, penari tersebut mengalami kesurupan yang menjadi penyampai pesan dari bangsa jin penghuni Batunu.

Pesan tersebut diungkapkan oleh seorang orang tua bernama Raba, dikatakan sekitar bulan Oktober tahun 2019 silam, kata penari yang kesurupan, “Nakkemi injo passaba nakkulle mate pajagana pelabuhanga, nakke todo passaba natu’guru pajamana rusunga, tena kusituju punna nubaungi pelabuhanga, tena kusituju punna simata-mataji nubaung tena nutabe’-tabe’, punna teamako allangere kabara, pinawangi kanangku, ammolongko tedong, pagganranganga, siagang tari-tariang.”

Kurang lebih seperti itu penyampai pesan dari jin yang berada di Batunu tersebut, selain syarat tersebut, ada beberapa syarat sesajen yang disiapkan oleh masyarakat yang melakukan ritual, seperti, songkolo, gagape, rokok, daun sirih, buah pinang, lilin, dan  benang putih. Setelah ritual tersebut, pembangunan proyek pelabuhan dan Rusunawa dilanjutkan kembali, hingga kini pelabuhan dan Batunu berdampingan.

Ada banyak alasan, kenapa Batunu disakralkan oleh orang-orang yang memercayainya, menurutnya, Batunu adalah penyambung lidah antara manusia dengan Tuhan, sehingga masyarakat sebagian masih percaya, bahwa kekuatan mistis tentang keberadaan Tuhan, melalui makhluk gaib penghuni Batunu, bisa membantu orang-orang untuk menyampaikan hajat atau keinginan, bagi mereka Batunu adalah manifestasi keberadaan Tuhan.

Tulisan tentang Batunu ini bukan versi lengkap, bahkan masih banyak lagi cerita-cerita sakral, atau ritual yang dilakukan sebagian masyarakat yang berada di wilayah tersebut, atau bahkan di luar wilayah tersebut, penulis hanya mengambil sebagian dari apa yang telah ditulis sebelumnya.

Olehnya itu dalam tulisan ini, saya tetap mengklarifikasi mengenai adanya ritual dan persembahan-persembahan selain Allah itu adalah syirik besar, dan akan mengarahkan kepada kita untuk melakukan dosa besar kepada Allah Swt. Dalam kitab Tauhid oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan bahwa firman Allah Swt, yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku.” (Adz-Dzariyat: 56). Ayat ini jelas, bahwa selain penyembahan kepada Allah, maka itu adalah dosa besar. Jika tulisan ini punya salah maka itu datangnya dari setan, dan jika di dalamnya ada kebaikan maka itu datangnya dari Allah Swt.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 45-48.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *