Tujuh Kare’ ri Bantaeng

Onto yang saat ini adalah salah satu kelurahan di Kabupaten Bantaeng, di zaman dahulu memiliki peran sejarah tersendiri yang menjadi cikal bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Massualle, salah satu generasi penerus dari keturunan Kerajaan Bantaeng, mengatakan bahwa dulu Bantaeng ini masih berupa lautan, hanya wilayah tertentu saja yang berupa daratan, yaitu Onto dan beberapa daerah di sekitarnya, yakni Sinoa, Bissampole, Gantarangkeke, Mamampang, Katapang, dan Lawi-Lawi.

Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’.  Suatu ketika, para Kare’ yang semuanya berjumlah tujuh orang ini, bermusyawarah untuk mengangkat satu orang yang akan memimpin mereka. Sebelum bermufakat, mereka menjalankan pertapaan lebih dulu, meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Mahakuasa), siapa kira-kira yang tepat menjadi pemimpin mereka. Adapun lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah Onto. Saat ini, tempat-tempat semadi itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap, berdinding dan bertiang bambu).

Lanjut cerita, ketika mereka bersemadi, turunlah cahaya ke Kare’ Bisampole (pimpinan daerah Bisampole) dan terdengar suara, ”Apangaseng antu nuboya nakadinging-dinginganna,” (apa yang kalian cari dalam cuaca dingin seperti ini). Lalu Kare’ Bisampole menjelaskan maksud kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara, “Ammuko mangemako ri mamampang ri Buangayya ri Salu’ Cinranayya,” (besok datanglah kesatu tempat permandian yang terbuat dari bambu).

Keesokan harinya, tibalah mereka di tempat yang dimaksud itu. Di sana, mereka menemukan seorang laki-laki yang sedang mandi, yang kemudian oleh para Kare’ digelari dengan “To Manurunga ri Onto”. Ketujuh Kare’ ini lalu menyampaikan tujuannya mencari pemimpin, sekaligus memintanya memimpin mereka.

Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi dengan syarat, “Eroja nuangka anjari Karaeng, mingka nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau sampara mamanyu.” (Saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian, tapi saya ibarat angin dan kalian ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.

Ketujuh Kare’  yang diwakili oleh Kare’ Bisampole pun menyahut; “Kutarimai pa’palanu mingka kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, kualleko tambara tangkualleko racung,” (saya terima permintaanmu, tapi kau hanya kuangkat menjadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau kuangkat menjadi raja agar menjadi obat dan bukannya racun).

Maka jadilah Tomanurung ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala penjuru, maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya Onto).

Setelah itu, mereka pun berangkat ke sebuah tempat yang sekarang disebut Gamacayya. Di tempat itu mereka bernaung di bawah pohon, bertanyalah Tomanurung, “Pohon apa ini?” Lalu dijawab oleh Kare’ Bisampole, “Pohon Taeng!” Sambil memandang kearah enam Kare’ yang lain. Serentak keenam Kare’ yang lain menyatakan, “Ba’,” (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul kata Bantaeng, dari dua kata tadi, yaitu ba’ dan taeng, jelas Karaeng Imran Massualle.

Begitulah kisah tentang Onto yang dalam tradisi tutur masih dipercaya sebagai cikal bakal dari Bantaeng, juga sebagai tempat mereka memilih pemimpin pertama di Bantaeng. Konon, karena kesakralannya sebagai tempat turunnya Tomanurung, daerah Onto ini menjadi daerah perlindungan bagi keturunan Raja Bantaeng bila mendapat masalah yang besar. Kebiasaan inilah yang menjadikan sebuah mitos bahwa anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini, kecuali dalam kondisi genting seperti diserang musuh. Kalaupun sedang tidak dalam masalah yang besar, mereka harus dipakaikan dulu tanduk dari emas, baru bisa memasuki Kawasan Onto.

Berbagai sejarah, mitos, dan cerita di balik keberadaan tujuh Kare’ atau tau tujua dan Balla Tujua di Onto inilah yang menghasilkan sebuah perumusan simbolisasi angka tujuh dalam tanggal awal pembentukan Pemerintah Kabupaten Bantaeng di awal-awal setelah kemerdekaan. Angka tujuh yang diilhami dari Onto ini, lalu kemudian disandingkan dengan angka dua belas yang menunjukkan sistem adat Bantaeng di zaman dahulu yang dinamakan Adat Sampulonrua, atau semacam DPRD sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui unsur jannang (kepala kampung) sebagai anggotanya, yang secara demokratis menjalankan pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.

Keberadaan simbolisasi angka dalam struktur masyarakat kita, tidak hanya digunakan di urusan sejarah dan kisah. Angka-angka ini juga diterapkan masyarakat Bantaeng melalui berbagai kebiasaan dan tradisi yang akan selalu berkaitan dengan angka tujuh dan dua belas, seperti salah satunya ketika melaksanakan pernikahan, maka erang-erang atau seserahan yang dibawa ke mempelai wanita wajib berjumlah 12 erang-erang yang disebut erang-erang sampulonrua.

Maka begitulah semua sejarah, legenda, dan mitos itu berkelindan dalam tatanan kehidupan masyarakat Bantaeng. Meski saat ini masih banyak kebijakan yang belum selaras dengan budaya kita, seperti kebijakan tata ruang yang belum mengistimewakan Kawasan Onto, tetapi kita tetap harus memberikan usaha dan suara terbaik kita, guna menggaungkan pentingnya pelestarian sejarah, adat, dan budaya di Bantaeng tercinta.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 1-3.

Kredit gambar: https://chatgpt.com/s/m_68c8965718f081918e5a1596b2ae371b


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *