Fenomena Pembacaan Kitab Barazanji di Bantaeng dalam Pandangan Ilmu Linguistik

“Aneh”, mungkin kata yang cocok untuk menggambarkan budaya aksen Barazanji yang sering didendangkan oleh orang-orang di perkampungan Kabupaten Bantaeng. Ketika mendengarkan orang-orang di kampung-kampung Bantaeng, sambil membaca teks, kita mungkin akan keheranan, tidak bisa mengikuti alur nada, seolah-olah menjadi buta aksara.

Suara dan teks yang terdengar tidak sesuai, akan tetapi begitulah adanya. Bait syair pada kitab Barazanji akan dilantunkan dengan aksen yang sedikit berbeda dengan teks. Terdapat imbuhan-imbuhan yang tidak diketahui bagaiamana pola perubahannya. Hal tersebut telah membudaya di Bantaeng, khususnya di daerah perkampungan.

Hal tersebut mungkin terdengar aneh, dan beberapa orang akan menganggapnya sebagai sesuatu yang salah. Mengubah aksen Arab, menambah imbuhan dengan seenaknya, mengikuti budaya yang tidak diketahui asal-usulnya.

Beberapa orang mungkin menganggapnya sebagai budaya yang harus diubah, tidak layak untuk dilestarikan. Namun, apakah budaya tersebut benar-benar merupakan hal yang aneh, budaya yang salah? Apakah aksen syair-syair dalam kitab Barazanji benar-benar mutlak dan harus sesuai kaidah tajwid? Dan bagaimana ilmu linguistik memandang fenomena tersebut?

Tradisi pembacaan kitab Barazanji, merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya religius yang masih hidup dan berkembang di tengah masyarakat Bantaeng. Kitab ini berisi syair-syair pujian dan kisah kehidupan Nabi Muhammad saw, dibacakan dalam berbagai upacara keagamaan, seperti maulid Nabi, akikah, hingga perayaan-perayaan tradisional bernuansa Islam. Meskipun teks Barazanji ditulis dalam bahasa Arab, praktik pelafalan oleh masyarakat Bantaeng, menunjukkan perbedaan mencolok dari kaidah tajwid yang biasanya digunakan, dalam pembacaan teks-teks keagamaan Islam, seperti Al-Qur’an. Fenomena ini menjadi menarik untuk ditelaah melalui kacamata ilmu linguistik, karena mengandung gejala-gejala perubahan bunyi dan bentuk, yang berkaitan erat dengan aspek budaya, identitas, dan fungsi sosial bahasa.

Salah satu ciri khas pelafalan kitab Barazanji di Bantaeng adalah, kecenderungan masyarakat dalam mengubah huruf-huruf konsonan Arab menjadi bentuk vokal yang lebih lunak atau sesuai dengan sistem bunyi dalam bahasa lokal, seperti syair pada bab محل القيام halaman 129

أنت شمس انت بدر * أنت نور فوق نور

Kata بدر pada syair tersebut secara tajwid huruf د dibaca mati “badrun” dengan sedikit pantulan, karena termasuk dalam huruf qolqolah. Namun, dalam praktiknya oleh masyarakat Bantaeng dibaca dengan fatha yaitu “badarun”. Banyak bunyi huruf yang seharusnya dibaca dengan konsonan, tetapi diubah menjadi huruf vokal agar terdengar lebih ringan dan mengalir dengan irama.

Selain itu, masyarakat juga menambahkan semacam seruan atau lengkingan suara tertentu di awal maupun di akhir bait syair yang dibacakan. Seperti pada bait berikut

أنت شمس انت بدر * أنت نور فوق نور

Pabarazanji (orang yang membaca Barazanji) ketika telah mencapai kata badrun akan menambahkan bunyi “ae” sehingga dibaca “ae anta”. Penambahan tersebut juga dapat dilihat pada bait syair di bab yang sama

عندما شدوا المحامل * وتنا دواللرحيل

setelah kata المحامل pabarazanji menambahkan bunyi “illi” sehingga terdengar dibaca “illi wa tana”. Pabarazanji melafalkan seolah-olah mengulang kembali huruf sebelumnya, yang kemudian jika deperhatikan dengan saksama, pabarazanji seolah-olah menghindari penuturan huruf konsonan secara berurutan,  di mana pada kata المحامل tetap dibaca mati “mahaamil” namun kemudian ditambahkan bunyi illi untuk menghindara langsung ke huruf senajutnya yaitu “Wa”.

Fenomena ini secara fonologis dapat disebut sebagai vokalisasi dan epenthesis, yaitu proses pengubahan konsonan menjadi vokal dan penambahan bunyi yang tidak terdapat dalam bentuk aslinya. Proses ini bukan semata-mata bentuk penyimpangan, tetapi justru menjadi bentuk kreatif adaptasi bunyi dalam interaksi antara bahasa Arab sebagai bahasa teks, dan bahasa lokal sebagai bahasa penutur.

Dalam bahasa Makassar, kita megenal aksara Lontara. Di mana dalam aksara lontara, kebanyakan setiap huruf memiliki huruf-huruf vokal. Sehingga dapat menjadi salah satu bukti, bahwa masyarakat Bantaeng dalam berbahasa, cenderung menggunakan huruf vokal di antara huruf-huruf konsonan. Jarang ditemui pengucapan huruf konsonan secara berurutan. Sehingga hal tersebut memengaruhi cara penuturan pabarazanji ketika melafalkan syair Barazanji. Seperti pada kata بدر, harusnya dibaca badrun jika mengacu pada kaidah tajwid, tapi dibaca badarun.

Dalam kajian sosiolinguistik, praktik tersebut mencerminkan bagaimana masyarakat Bantaeng, memaknai bahasa sebagai bagian dari identitas dan ekspresi sosial mereka. Pelafalan khas Barazanji bukan hanya bentuk pelanggaran terhadap aturan tajwid, tetapi merupakan penyesuaian budaya yang mencerminkan nilai-nilai lokal. Pembacaan syair yang dibalut dengan suara lengkingan atau lantunan nada khas, justru memperkaya makna spiritual dan memperkuat rasa kebersamaan dalam komunitas. Bahasa, dalam hal ini, digunakan bukan hanya untuk menyampaikan pesan secara literal, tetapi juga untuk menciptakan suasana sakral dan emosional yang kuat.

Dari sudut pandang linguistik antropologi, fenomena ini juga dapat dilihat sebagai bentuk performatif bahasa dalam konteks budaya. Pembacaan Barazanji tidak bisa dilepaskan dari fungsi estetik dan ritus yang menyertainya. Penambahan suara, pengubahan pelafalan, serta gaya pembacaan yang khas, menjadi bagian dari strategi budaya untuk menjadikan teks lebih hidup dan bermakna dalam konteks lokal. Ini menunjukkan bahwa bahasa adalah entitas yang dinamis dan selalu berada dalam proses negosiasi antara norma-norma formal dan praktik sosial masyarakat.

Dengan demikian, fenomena pelafalan kitab Barazanji di Bantaeng menjadi contoh nyata bagaimana bahasa berinteraksi dengan budaya, identitas, dan spiritualitas. Ilmu linguistik memungkinkan kita melihat bahwa perbedaan pelafalan bukan hanya soal benar atau salah secara kaidah, melainkan juga soal bagaimana masyarakat membentuk makna, melalui bahasa dalam konteks budaya yang hidup.

            Fenomena pembacaan kitab Barazanji bukanlah merupakan hal yang salah dan menyimpang. perubahan-perubahan dalam bunyi teks yang dilakukan oleh Pabarazanji merupakan bentuk kreativitas adaptasi bunyi dalam interaksi antara bahasa Arab sebagai bahasa teks, dan bahasa lokal sebagai bahasa penutur. Pabarazanji seolah-olah menjadikan syair-syair dalam kitab Barazanji mencerminkan identitas diri sebagai penutur lokal. Selain itu, juga menambah nilai-nilai estetika sehingga terdengar lebih hidup dan bermakna.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 207-210.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *