Karaeng Parappa Daeng Marewa Masih Berdiri di Pattaneteang

“Bagaimana jika seseorang dikubur bukan untuk beristirahat, tapi untuk terus berdiri menjaga tanah kelahirannya?”

Di Batu Massoong, Desa Pattaneteang, terdapat makam tak biasa. Makam itu melingkar, dengan nisan batu hitam di tengahnya.

Konon, Karaeng Parappa Daeng Marewa dikubur berdiri, membawa badik, menghadap Kindang. Ini jadi simbol bahwa kepemimpinan dan keberanian tetap hidup, bahkan setelah wafat.

Bayangkan sebuah sore yang sunyi di kaki Pegunungan Lompobattang. Angin sejuk menyapu ilalang, dan suara burung-burung hutan mengiringi langkah seseorang yang menapaki jalan setapak menuju makam itu. Di tengah hening, berdirilah batu nisan yang menyimpan kisah seorang raja yang menolak untuk tunduk, bahkan pada kematian. Bagi warga sekitar, makam itu bukan sekadar kuburan, tapi tugu kehormatan.

Pattaneteang terdiri dari beberapa kampung, seperti Batu Massoong, Borong Nangka, Bonto Tallu, dan lainnya. Terbentuknya perkampungan–perkampungan ini berkaitan erat dengan sejarah Kerajaan Kindang. Sang tokoh sentral, Raja Kindang ke-IV, Karaeng Parappa Daeng Marewa—atau yang juga dikenal dengan sebutan Karaeng Cammoa—membuka Batu Massoong sebagai perkampungan baru dan mencetak persawahan di Bungeng. Dari sinilah akar Desa Pattaneteang bermula.

Pada masa pemerintahannya, pecah perang antara Karaeng Kindang dan Karaeng Tanete yang dikenal dalam sejarah sebagai Perang Beba. Kedua tokoh adalah sepupu satu kali, dan perang itu terjadi karena sengketa sawah di Lemponge (sekarang wilayah Hulo, Desa Sapo Bonto, Kabupaten Bulukumba). Dalam pertempuran itu, pasukan Karaeng Kindang sempat dipukul mundur hingga ke Campaga, di mana mereka membangun benteng pertahanan (kini menjadi Desa Tamaona).

Ada kisah yang menyebutkan bahwa sebelum mundur, pasukan Kindang berhasil membunuh Karaeng Tanete. Meski demikian, pertempuran terus berlanjut dan menyebabkan ribuan pasukan tewas. Jejak sejarah itu masih terpatri di pekuburan Galung Lohe.

Terdesak oleh lawan, Karaeng Parappa Daeng Marewa mundur bersama pasukannya ke daerah yang kini dikenal sebagai Passimbungan (Makassar: berhamburan), lalu bersembunyi di Cobbu (Makassar: sembunyi), hingga menetap sementara di Gunung Senggang (Makassar: persinggahan) dan Na’na (Makassar: mendengar berita). Dari sana, ia menyeberang ke Batu Massoong dan membuka lahan sawah baru di Bungeng. Namun saat benih tak tersedia, ia meminta bantuan pada Karaeng Bantaeng yang menjawab, “Jangankan benih, untuk dimakan pun saya siapkan.”

Bayangkan tujuh kuda berjalan pelan menuruni lembah, masing-masing memikul harapan sebuah kampung yang belum sempat memanen. Ketika panen tiba, bukan hanya padi yang tumbuh, tapi juga tali persaudaraan antara Kindang dan Bantaeng. Sejak itu, tanah itu menjadi bagian dari Bantaeng, dan lahirlah Desa Pattaneteang.

Makam Karaeng Parappa kini jadi tempat ziarah. Makam ini dikenal karena bentuknya yang unik dan pesan terakhir sang Karaeng: dikubur berdiri, membawa badik, menghadap Kindang. Ada dua versi cerita: satu, simbol kepemimpinan yang tegak meski wafat. Dua, ia ingin menghadapi malaikat maut dengan berani. Versi kedua lebih bersifat mitos, tapi memperkaya cerita rakyat.

Banyak yang datang berziarah, terutama keturunannya. Bagi keturunannya, – dan masyarakat Pattaneteang,- mereka menyebut Karaeng Parappa Daeng Marewa dengan sebutan “Puang Karaeng.” Penamaan ini punya cerita tersendiri. Dahulu, di Bantaeng tidak boleh ada dua orang yang bergelar Karaeng. Maka digabunglah dua gelar bangsawan, yakni Puang dan Karaeng, menjadi satu: “Puang Karaeng.”

Konon, ia punya 40 istri dan banyak keturunan. Salah satunya adalah Karaeng Sabbe’, yang melahirkan lima anak: La Tangka Daeng Solle’, Patte’ Pattaungang, Karaeng Erang Daeng Lompo, Pung Intan, dan Pung Lino. Keturunan mereka kini tersebar di seluruh kampung Pattaneteang.

Pattaneteang berada di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng. Terletak di lereng timur Pegunungan Lompobattang pada ketinggian 650–1760 mdpl. Dulu, Pattaneteang bagian dari Desa Labbo, sebelum resmi menjadi desa pada 1988 saat Karaeng H. Pappa Mas menjabat sebagai Plt Kepala Desa.

Sejak 2020, di bawah Kepala Desa Lukman Bungdung, Pattaneteang menjadi Desa Mandiri menurut Indeks Desa Membangun (IDM). Saat Lukman terpilih pada 2016, statusnya masih desa tertinggal. Dalam lima tahun, status itu berubah total.

Peran Pemerintah Desa dalam Merawat Warisan Sejarah

Makam Karaeng Parappa bukan hanya peninggalan sejarah, tapi juga simbol budaya dan jati diri warga Pattaneteang. Pemerintah desa punya peran penting menjaga situs ini. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:

1. Tata dan Petakan Makam
Data dan atur ulang area makam agar tertata dan nyaman dikunjungi.

2. Sediakan Papan Informasi
Buat papan sejarah dalam bahasa Indonesia dan Bugis/Makassar agar pengunjung paham nilai makam ini.

3. Rutin Dirawat dan Dijaga
Lakukan gotong royong atau tunjuk juru kunci lokal untuk merawat makam.

4. Jadikan Destinasi Budaya Desa
Masukkan makam ini ke dalam program wisata budaya desa.

5. Libatkan Generasi Muda
Ajak pelajar dan pemuda dalam dokumentasi, pelatihan pemandu lokal, atau lomba sejarah desa.

6. Usulkan Jadi Cagar Budaya Lokal
Koordinasi dengan dinas terkait agar makam ini diakui sebagai situs budaya dan dilindungi.

Dengan pelestarian yang baik, makam Karaeng Parappa bisa jadi tempat ziarah dan ruang belajar sejarah bagi generasi muda Pattaneteang dan Bantaeng.

Makam Karaeng Parappa bukan sekadar batu dan tanah yang menyimpan jasad seorang raja. Ia adalah penanda bahwa sejarah tidak hanya hidup dalam buku, tapi juga dalam lanskap, ingatan, dan tindakan masyarakat yang mewarisinya. Keteguhan Karaeng Parappa dalam hidup maupun kematian mengajarkan kita bahwa kepemimpinan sejati berakar dari keberanian, pengorbanan, dan cinta pada tanah kelahiran.

Kini, tugas kita bukan hanya mengenang, tapi merawat dan mewariskan kisah ini—agar generasi berikutnya tak sekadar tahu siapa Karaeng Parappa, tapi juga terinspirasi menjadi penerus nilai-nilainya.

Catatan: Tulisan ini telah dimuat di buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 240-243.

Kredit gambar: https://chatgpt.com/s/m_68c4cdd4741081918e2b4fc7b9a50b68


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *