Bonto Jai, sebuah desa yang terletak di antara lautan biru yang membentang luas, dan hamparan sawah yang hijau, ternyata menyimpan kisah panjang yang belum banyak diketahui masyarakat luas. Di tengah arus modernisasi dan perubahan zaman, jejak sejarah desa ini perlahan mulai terlupakan—terselip di antara cerita lisan, peninggalan fisik yang usang, dan memori kolektif masyarakat yang mulai memudar. Padahal, Bonto Jai bukanlah sekadar nama sebuah wilayah administratif, melainkan saksi bisu dari peristiwa-peristiwa penting yang membentuk jati diri masyarakatnya hari ini.
Bonto Jai berada di bagian timur Kota Bantaeng, berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto. Bonto Jai dikenal dengan Desa To’ro Matayya, desa pertama kita jumpai ketika menginjakkan kaki di Kabupaten Bantaeng.
Bonto jai berasal dari kata bonto (tanah), atau bisa juga disebut bukit (tergantung konteks), sedangkan jai berarti banyak, jadi Bonto Jai berarti tanah yang luas atau banyak, khususnya dari sumber daya alam, baik dari laut maupun darat. Mayoritas penduduk Bonto Jai adalah nelayan dan petani.
Alamnya yang indah dan masyarakat yang sejahtera tidak hadir begitu saja. Ia lahir dari sejarah panjang yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Bantaeng sendiri, sebuah kabupaten yang memiliki cerita yang panjang dan kompleks, mulai dari zaman prasejarah hingga masa kolonial Belanda.
Kisah Bonto Jai, hanya sebagian kecil dari sejarah yang ada di Bantaeng. Sebagaimana dikutip dari buku Menulis Desa Membangun Indonesia, ditulis oleh Amiluddin, S.E., M.M. menjelaskan bahwa Bonto Jai pada awalnya adalah sebuah kampung kecil yang dikenal dengan Jannang Tino. Kata tino berasal dari katati’no atau matang. Ti’no menandakan sebuah harapan yang besar, semoga pemimpin dan masyarakatnya senantiasi dewasa dalam berbagai aspek, baik intelektual, emosional, dan spiritual.
Desa Bonto jai pada masa kepemimpinan Jannang Tino, telah di jabat oleh 5 orang pemimpin atau jannang, antara lain, Jannang Rukka (1935-1940), Jannang Sau’ (1940-1942), Kr. Samsu (1953–1960), Kr. Malewang (1953–1960), dan Dalle Dg. Beta (1960-1966).
Masa pemerintahan pertama sampai ketiga kurang stabil, disebabkan terjadi perang dan revolusi fisik, termasuk daerah Tino yang merupakan daerah pertemuan sekaligus persembunyian para kolonial Belanda maupun Jepang. Ini karena wilayah Tino berada di perbatasan Kabupaten Jeneponto.
Di masa kepemimpinan Jannang Rukka sampai Kr. Samsu, perlahan membaik dan mengalami perubahan, salah satunya perintisan jalan Tino–Mattoanging, perumahan juga mulai ditata dengan baik.
Pada masa pemerintahan ini pula, ditetapkan satu keputusan adat yang tidak boleh dilanggar:
- Ada’ 12 Kayu lompoa (ganrang tallu), pamanca yang diadakan pada saat ada pesta pernikahan yang diperuntukkan pada anak raja dan keturunannya. Juga saat pesta panen, dengan harapan hasil panen berhasil dan melimpah.
- Accera’ atau biasa disebut pemotongan ayam di sawah pada saat akan menabur benih dan sesudah panen, dengan harapan terhindar dari hama yang dapat merusak tanaman padi sehinngga hasil panen berhasil.
- A’Maudu’ atau sering kali disebut maulid, maulid ini dibagi menjadi dua: sikkiri’ bodo dan sikkiri labbu, dilaksanakan selama tiga hari tiga malam.
- Appatutu, atau budaya yang dilakukan masyarakat pada saat gerhana bulan.
- Appakarena, menuju Batunu (sebuah situs yang disakralkan oleh masyarakat) yang pelaksanaannya pada musim kemarau.
Pada tahun 1966–1968 , Istilah jannang berubah menjadi bori’. Namun, istilah bori’ tidak berlansung lama, setelahnya terjadi lagi perubahan nama dari jannang menjadi kelurahan yang saat ini dikenal Bonto Manai. Bonto Manai pertama dipimpin oleh Wahid Kaluku, tapi tidak berlansung lama, sehingga dilanjutkan oleh Kr. Mari’ dengan wilayah pemerintahan meliputi Tino-Mattoanging yang disingkat Patima (Panaikan, Tino, Mattoanging) pada saat itu.
Pada Tahun 1997–1999, Bonto Jai masih dalam status desa persiapan, yang merupakan hasil pemekaran dari Kelurahan Bonto Manai. Pada masa itu, pemerintah daerah menunjuk Drs .M. Syahrul Tahir Sila sebagai kepala desa persiapan, sampai diadakannya pemilihan kepala desa defenitif.
Selasa 09 Februari tahun 1999 Bonto Jai diresmikan dari desa persiapan menjadi Desa Bonto Jai, berdasakan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Sulawesi Selatan dengan nomor 1062/XII/1998.
Pada tahun 2000, Bonto Jai kembali melaksanakan Pilkades di mana Drs. M. Tahir Sila kembali terpilih masa periode 2000-2005. Kemudian pada 05 Februari 2025, Bonto Jai kembali melaksanakan pesta demokrasi yang kedua kalinya. Saat itu, terpilih Muhammad Saleh Ibrahim dengan masa jabatan 2005–2011 dan terpilih lagi di periode berikutnya.
Di akhir tahun 2017, Bonto Jai kembali menggelar pesta demokrasi, dilaksanakan secara serentak di Kabupaten Bantaeng. Di Bonto Jai sendiri, ada 4 orang yang ikut berpartisipasi: Muhammad Saleh Ibrahim, Kr Liwang, Irwanto, dan Amiluddin, S.E. Akhirnya, Amiluddin terpilih sebagi kepala desa, masa jabatan 2017–2023.
Di awal pemerintahan Amiluddin, Bonto Jai memekarkan wilayah menjadi 3 Dusun, yaitu Dusun Pati, Tino, dan Mattoanging, yang awalnya hanya terdiri dari 2 dusun yaitu Dusun Tino dan Mattoanging. Pemerintah Bonto Jai saat itu mengusung visi pemerintahan “Desa Bonto Jai yang maju, mandiri, dan berkeadialan”.
Sampai saat ini (2025), Amiluddin masih menjabat sebagai Kepala Desa Bonto Jai dengan berbagai prestasi yang diraih dan menjadi salah satu desa terbaik di Kabupaten Bantaeng, plus menjadi salah satu desa percontohan.
Dari pemekaran tiga dusun, terdapat 4 kampung yang masing-masing mempunyai nilai dan cerita yang menarik, pemberian nama kampung ini bukan hanya sekedar nama, melainkan punya nilai filosofis masing-masing.
- Kampung Pa’ranga
Menurut sumber Muh. Saleh Daaeng Rola, seorang pelaku sejarah menjelaskan bahwa Kampung Pa’ranga dulunya adalah hutan belantara yang merupakan daerah pertempuran kerajaan, mengingat wilayah Pa’ranga berbatasan dengan Jeneponto yang hanya dibatasi dengan sungai, sehingga menjadi wilayah strategis untuk berperang. Hingga suatu masa, terjadi kesepakatan damai, setuju untuk menghentikan peperangan (ni pa’rangi bunduka) dari kata pa’rangi, yang melatarbelakangi nama dari Kampung Pa’ranga.
Sumber lain mengatakan, suatu ketika ada dua kerajaan yang terlibat peperangan di masa lalu, salah satu raja yaitu Kr. Pa’ranga gugur dan dimakamkan di Kampung Pa’ranga, yang sampai sekarang masih dikunjungi oleh kerabatanya.
- Kampung Tino
Kampung Tino (saat ini di kenal dengan nama Dusun Pati, Pa’ranga-Tino) adalah kampung yang berbatasan dengan Jeneponto, menjadi kampung pertama yang kita temui ketika memasuki wilayah Bantaeng. Menurut cerita dari Alimuddin Dg. Tiro, sebagai saksi sekaligus pelaku sejarah, menjelaskan bahwa, “Dulu Kampung Tino Toa (Kampung Tua), menurut cerita, nenek moyang orangtua dulu, sejak pada masa tumanurunga, Tino sudah ada dan berpenghuni, makanya dikatakan Kampung Toa (Kampung Tua).
Sumber lain mengatakan bahwa penghuni Tino awalnya adalah orang-orang Cina-Mongol. Konon Tino adalah tempat transitnya kapal-kapal layar Cina sekaligus tempat istirahat sebelum melanjutkan perjalanan darat menuju Kampung Onto dan Sinoa, yang merupakan daerah pengasil sayuran dan rempah-rempah. Onto dan Sinoa adalah pemberian nama orang Cina-Mongol, yakni dari kata hontou, menjadi Onto dan tionghoa menjadi Sinoa. Sebagai bukti sejarahnya dapat dilihat dengan adanya nama kampung Lembang Cina dan Kampung Tino Toa itu sendiri.
Di sisi lain, kita dapat melihat dengan jelas banyaknya kuburan-kuburan tua dan peninggalan seperti arca (awangngang) yang banyak ditemukan dengan motif Cina, seperti piring, mangkuk dan yang lainnya.
Menurut Alimuddin Daeng Tiro, sebelum ada perubahan nama Cino Toa menjadi Tino Toa, nama Kampung Tino Toa adalah pemberian dari Karaeng Bantaeng pada masa itu. Hal ini berdasar bahwa Tino Toa merupakan Kampung Toa yang sudah berpenghuni, dan memiliki adat 12 (ada’ sampulonrua). Adat ini tidak berlaku di semua kampung pada masa itu.
Kampung Tino Toa dianggap oleh Karaeng Bantaeng pada masa itu, sebagai kampung yang budaya dan masyarakatnya sudah matang dalam berpikir serta berperilaku, sehingga dianggap sebagai tu matoa (orang yang lebih dituakan). Ini dibuktikan dalam sejarah Kerajaan Bantaeng, ketika orang Tino Toa a’jaga atau a’ronda (piket) di Balla Lompoa (Kerajaan Bantaeng). Pada masa itu, warga Tino Toa tidak dibiarkan piket di halaman Balla Lompoa apalagi di kolong Balla lompoa (siring), melainkan lebih banyak dipersilakan di atas lego-lego (pelataran Balla Lompoa).
Pada masa itu, Tino Toa ditunjuk oleh Kerajaan Bantaeng menjadi pusat pemerintahan otonomi daerah yang dipimpin oleh seorang jannang dengan wilayah meliputi Panaikang dan Parasula. Yang melatar belakangi ditunjuknya Tino Toa, adalah karena sifat rendah hati dan kesederhanaan masyarakatnya.
Sifat rendah hati dan kesederhanan itu dibuktikan dalam sejarah, sekalipun Tino Toa sebagai kampung tua yang mempunyai adat 12 (sampuloanrua) dengan martabat tinggi (pattauang). Tino Toa tidak pernah membentuk kerajaan atau melantik karaeng (raja), berbeda dengan kampung lain di sekitarnya, misalnya Kampung Tino (Kareang Tino), Kaili (Kareang Kaili), Tarowang (Karaeng Tarowang), Rumbia (Karaeng Rumbia), dan lain-lain.
Tino Toa sebagai kampung tua berada di daerah pesisir, sehingga menjadi daerah persinggahan, baik melalui jalur laut maupun darat, sehingga banyak terjadi perkawinan silang antar kampung, maupun antar kabupaten.
- Kampung Mattoanging.
Berdasarkan beberapa referensi dan penuturan seorang pelaku sejarah yang masih hidup, Haruna Daeng Runa, diketahui bahwa sebelum wilayah itu dinamai Mattoanging, tempat tersebut telah dikenal dengan latar belakang sebuah bongkahan batu di tengah laut yang disebut Batunu.
Konon kabarnya, menurut orang-orang, terdapat batu yang berada di tengah laut yang dulunya tidak ada, tiba tiba muncul, sehingga pada waktu itu dinamakan Batu Nurung yang disingkat Batunu, berarti batu yang tiba-tiba muncul.
Keterangan lain menyebutkan bahwa Batunu berasal dari kata batu gunung. Konon, jenis batu ini sama dengan yang ada di Batu Ejayya di Kelurahan Bonto Jaya. Cerita yang beredar, menyebutkan bahwa Batunu tidak pernah tenggelam sekalipun ombak laut tinggi. Sebagian orang percaya, jika Batunu sampai tenggelam maka itu pertanda buruk, karena daratan akan ikut tenggelam.
Di sekitar Batunu terdapat batu yang menyerupai singgasana. Menurut cerita yang berkembang, Batunu dihuni oleh makhluk tak kasatmata berupa ular berkepala dua, yang kerap muncul dan duduk di batu berbentuk singgasana tersebut. Inilah yang diyakini sebagai alasan mengapa Batunu tidak pernah tenggelam hingga kini. Dari kisah itulah, banyak masyarakat dari luar Bonto Jai datang untuk menabur bunga, membaca doa (baca-baca), dan mempersembahkan sesajen. Ritual ini biasanya dipimpin oleh seseorang yang disebut pinati.
Kehadiran Batunu menarik banyak orang yang penasaran dan ingin melihatnya dari dekat. Batu ini bisa terlihat jelas saat air laut surut, terutama ketika bersamaan dengan momen menikmati matahari terbenam. Selain karena rasa penasaran, sebagian besar orang datang dengan alasan attoanging (menikmati hembusan angin laut). Semakin hari, semakin banyak yang berdatangan dan kemudian bermukim dengan alasan “mange attoanging“. Dari sinilah kampung ini kemudian dinamai Mattoanging, dan nama itu tetap digunakan hingga sekarang.
Menelusuri jejak sejarah Bonto Jai ibarat membuka kembali lembaran lama yang nyaris terlupakan. Dari cerita rakyat yang diwariskan secara lisan, peninggalan masa lampau, hingga kenangan para tokoh tua desa, tampak bahwa Bonto Jai memiliki sejarah yang kaya, unik, dan penuh makna. Sejarah ini bukan sekadar kumpulan peristiwa, tetapi menjadi fondasi jati diri masyarakatnya hari ini.
Mengangkat kembali sejarah desa berarti bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga memberi penghormatan kepada para leluhur yang telah membangun desa ini dengan nilai kebersamaan, kerja keras, dan gotong royong. Di tengah arus perubahan yang cepat, pelestarian sejarah lokal menjadi penting agar identitas dan karakter masyarakat tidak hilang ditelan zaman.
Semoga tulisan dengan ini dapat menjadi pemantik kesadaran, terutama bagi generasi muda Desa Bonto Jai, untuk lebih mencintai dan memahami akar budaya tempat mereka berpijak. Karena hanya dengan mengenal masa lalu, kita dapat melangkah lebih mantap menuju masa depan.
Catatan: Tulisan ini telah dimuat pada buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), 38-44.

Akrab disapa Bung Leo, lahir di Bantaeng 16 April 1983. Aktivitas sekarang sebagai pengelola perpustakaan dan relawan literasi Desa Bonto Jai.
Leave a Reply