Akulturasi budaya Arab sangat sering kita jumpai, bahkan hampir di setiap daerah di Indonesia. Salah satunya adalah syair Barakong yang berasal dari Kabupaten Bantaeng.
Syair sufisme merupakan ungkapan cinta antara hamba dan Tuhannya. Melalui kata-kata, ia menjelma menjadi kalimat-kalimat indah yang memiliki makna mendalam tentang kedekatan spiritual. Namun, di Bantaeng, syair sufistik Barakong digunakan sebagai ekspresi kegembiraan dan kebahagiaan saat menemukan jodoh.
Barakong digunakan dalam tradisi a’burangga, yaitu salah satu prosesi pengantin dari garis keturunan raja yang telah berlangsung sejak dahulu hingga kini. Ia adalah sebentuk tradisi dan ungkapan cinta yang dianut oleh keturunan Raja Bantaeng atas perjumpaan dua mempelai. Tradisi ini digelar sebagai bentuk restu dan persiapan menjelang pernikahan keesokan harinya.
Selain pada prosesi a’burangga, Barakong juga dijumpai dalam tradisi appasunna (sunatan) sebagai wujud syukur atas kedewasaan seorang anak laki-laki.
Syair Barakong merupakan hasil akulturasi antara budaya Arab dan budaya lokal Bantaeng. Hal ini tampak dari naskah Barakong yang memuat tulisan lontara dan Arab. Perpaduan ini mencerminkan terjadinya persentuhan budaya yang melahirkan naskah Barakong, yang mengungkapkan cinta, kedekatan, dan kebahagiaan, terutama dalam peristiwa menemukan jodoh. Tradisi ini terus dilestarikan oleh para keturunan Raja Bantaeng sebagai warisan leluhur.
Naskah Barakong sendiri ditulis ulang oleh Kali Abdillah, yang merupakan kali terakhir hingga kini. Gelar kali disandang oleh penasihat raja yang memiliki pemahaman agama yang mendalam. Jabatan ini setara dengan menteri dalam urusan pemerintahan, peradilan, dan keagamaan, serta berperan sebagai penyebar agama Islam di Bantaeng.
Naskah Barakong pertama kali diperkenalkan oleh Kali Ali, yang merupakan kali kedua setelah Kali Muhammad, dan kemudian diwariskan kepada putranya, Kali Ramli, lalu diteruskan oleh Kali Abdillah. Kali Ali menulis Barakong pertama kali, setelah menimba ilmu di Mekah selama kurang lebih 25 tahun. Namun, naskah tulisan Kali Ali tersebut, sudah tidak diketahui keberadaannya. Jadi, naskah yang ada saat ini adalah tulisan tangan dari Kali Abdillah.
Masyarakat pengguna Barakong memahami bahwa kata ini berasal dari bahasa Arab “berkat”, yang dalam bahasa daerah disebut barakka, berarti keberkahan. Maka, orang yang melaksanakan Barakong diharapkan memperoleh keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Makna tersebut merupakan proyeksi dari kesakralan teks-teks Arab yang kerap dikaitkan dengan kekuatan supranatural Islam. Barakong juga dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur atas segala nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada manusia. Ekspresi ini tercermin dalam penggunaannya pada tradisi a’burangga dan appasunna, yang sama-sama menjadi simbol kebahagiaan.
Tradisi a’burangga identik dengan keramaian, kegembiraan, dan keceriaan atas momen besar kala dua insan hendak membangun kehidupan baru bersama. Begitu pula appasunna, yang menjadi hari bahagia bagi keluarga atas anugerah seorang anak laki-laki yang akan baligh, yang dirangkai ikrar dua kalimat syahadat.
Karena itu, Barakong juga mengandung unsur hiburan, sebagai syair yang penuh sukacita. Namun, di sisi lain, maknanya sebagai harapan untuk menjauh dari kemungkaran memperkuat pemahaman bahwa Barakong adalah bentuk keberkahan.
Bahasa dan makna Barakong yang sarat nilai-nilai Islam menjadi simbol yang kuat dan menarik perhatian masyarakat. Syair berbahasa Arab yang dilantunkan pada malam hari dalam keramaian a’burangga dan appasunna juga menjadi media penyebaran Islam. Hal ini ditandai dengan selalu ada pendengar yang merespon dengan kalimat, “Allahu Akbar”, “Masyaallah”, atau selawat Nabi. Para pelantun Barakong juga memaknai bait-bait yang dibawakan sebagai ungkapan kebahagiaan dalam beragama.
Melalui lantunan tersebut, tersirat pula pesan damai dalam alunan melodi dan aransemen gendang yang indah. Makna religius dalam Barakong menunjukkan adanya penyesuaian dengan adat setempat. Syarat-syarat pelaksanaan lantunan Barakong dilengkapi dengan aneka makanan khas Bantaeng yang wajib dihidangkan. Onde-onde, misalnya, sebagai salah satu makanan khas yang wajib disuguhkan memiliki makna simbolik: saat dimasak, ia akan cepat mengapung. Diharapkan calon pengantin pun demikian—jika tenggelam dalam masalah rumah tangga, ia bisa segera bangkit mengatasinya. Makanan lain seperti pisang, labu, kelapa, dan gula merah juga sarat pesan dan pelajaran hidup, terutama dalam berumah tangga dan kehidupan setelah memasuki masa baligh.
Di akhir puisi Barakong, terdapat kata tajali, yang masih dipahami oleh pelaku adat. Tajali mengandung makna perjalanan suci manusia menuju perjumpaan dengan Tuhan. Proses ini diawali dengan pengosongan diri, lalu diikuti dengan menghiasi diri dengan akhlak mulia sebagai syarat meraih ilmu pengetahuan. Pemahaman ini berasal dari ajaran tasawuf yang praktiknya masih kuat hingga sekarang. Bagian puisi tajali ini menghubungkan kembali makna Barakong sebagai syair sufi khas Bantaeng yang mesti dilestarikan.
Kredit gambar: Kompasiana.com

Lahir di Bantaeng 28 September 2000, tinggal di Jl. Sungai Bialo. Ketua Umum HMI Cabang Bantaeng periode 2025—2026.
Leave a Reply