Ketika perusahaan menyembunyikan pelanggaran di balik jargon kerugian, dan negara memilih diam dalam posisi saksi, maka satu-satunya kekuatan yang tersisa bagi buruh adalah suara. Dan suara itulah yang kini ingin kami nyatakan kepada publik.
PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI), perusahaan smelter nikel yang beroperasi di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), memutus hubungan kerja dengan buruhnya dan secara sepihak hanya membayar 0,5 kali pesangon, dengan dalih mengalami kerugian. Ini adalah bentuk pengingkaran terang-terangan terhadap komitmen bersama yang sebelumnya difasilitasi oleh Bupati Bantaeng dan Kapolres Bantaeng.
Rentetan pelanggaran yang dilakukan HNAI bukan hal sepele. Mereka mengganti upah lembur dengan skema insentif yang hanya setara 40% dari hak normatif buruh. Mereka membayar upah di bawah ketentuan Upah Minimum Provinsi (UMP), merumahkan buruh tanpa dasar hukum, dan menolak anjuran pengawas ketenagakerjaan. Bahkan, ketika telah disepakati untuk membayar pesangon penuh, mereka secara sepihak mentransfer hanya setengahnya—tanpa koordinasi, tanpa bukti kerugian dua tahun berturut-turut, dan tanpa penetapan dari Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 164 ayat (3) jo. Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
Celakanya, pelanggaran ini justru diselubungi legalitas semu: surat pernyataan perusahaan ditandatangani pula oleh pejabat negara. Bukankah ini mencoreng kewibawaan institusi publik yang seharusnya melindungi hak warga negara?
Pasal 7 UU No. 2 Tahun 2004 menegaskan bahwa Perjanjian Bersama (PB) yang disepakati para pihak memiliki kekuatan hukum setara dengan putusan PHI. Artinya, pengingkaran terhadap PB bukan sekadar urusan internal perusahaan, melainkan pelanggaran hukum yang serius.
Kami, buruh-buruh yang selama ini menjadi tulang punggung produksi smelter di Bantaeng, menolak tunduk pada kesewenang-wenangan. Kami tidak menuntut lebih dari apa yang telah diatur undang-undang. Kami hanya ingin hak buruh ditegakkan.
Hari ini mungkin kami tidak punya kuasa atas modal, tidak punya panggung di istana kekuasaan. Tapi kami punya kebenaran. Dan kami tidak akan diam.
Dengan ini, Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) menyampaikan sikap resmi terhadap Surat Pernyataan PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia tertanggal 29 Agustus 2025, yang ditandatangani oleh pihak perusahaan, disaksikan oleh Bupati Bantaeng dan Kapolres Bantaeng. Surat tersebut menyatakan bahwa pembayaran pesangon kepada buruh hanya akan dilakukan sebesar 0,5 kali ketentuan undang-undang, yang jelas merupakan penyimpangan serius dari kesepakatan sebelumnya.
SBIPE menilai bahwa HNAI telah dengan sengaja memelintir isi surat perjanjian dan tidak menjelaskan secara utuh kronologi lahirnya pernyataan tersebut. Maka dari itu, perlu kami tegaskan bahwa Perjanjian Bersama (PB) tidak dapat dipisahkan dari rangkaian pelanggaran dan pembangkangan hukum yang dilakukan oleh HNAI, yang berujung pada aksi pendudukan selama 16 hari di depan pabrik oleh para buruh.
Pelanggaran yang Dilakukan PT. HNAI antara lain:
Pelanggaran Waktu Kerja
Secara sistematis, HNAI menerapkan sistem kerja yang menyengsarakan buruh, yaitu sistem shift selama 12 jam kerja per hari dalam 5 hari kerja, dan sistem reguler selama 10 jam per hari sepanjang minggu tanpa jeda.
Pertama, penyalahgunaan skema insentif shift. Perusahaan mengganti upah lembur dengan insentif shift, yang nilainya hanya sekitar 40% dari upah lembur yang semestinya dibayarkan sesuai ketentuan hukum.
Kedua, penolakan terhadap anjuran pengawas ketenagakerjaan. HNAI menolak melaksanakan anjuran pengawas ketenagakerjaan terkait pembayaran kekurangan upah lembur bagi 20 buruh, yang telah melewati proses bipartit dan tripartit. Bahkan, perusahaan justru menggugat secara hukum kasus pelanggaran yang jelas-jelas mereka lakukan.
Ketiga, pembayaran upah di bawah UMP. Selama tahun 2025, upah yang dibayarkan kepada buruh tidak mengacu pada Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan terkait UMP tahun 2025, yang secara hukum wajib diikuti.
Keempat, kebijakan “dirumahkan” yang tidak diatur UU. HNAI menerapkan kebijakan “dirumahkan” secara sepihak, yang tidak memiliki dasar hukum, dan hanya memberikan upah sebesar Rp1,5 juta per bulan kepada buruh.
Perjanjian Bersama dan Pengingkaran Kesepakatan
Atas berbagai pelanggaran tersebut, SBIPE menggelar aksi pendudukan di depan pabrik. Aksi dihentikan setelah dilakukan perundingan yang difasilitasi langsung oleh Bupati Bantaeng. Hasil perundingan menyepakati bahwa perusahaan akan membayar pesangon secara penuh sesuai ketentuan perundang-undangan.
Namun, atas permintaan pihak perusahaan, poin tentang besaran dan dasar hukum pembayaran pesangon tidak dicantumkan secara eksplisit dalam naskah perjanjian, dengan alasan untuk menghindari jebakan hukum jika terjadi PHK di masa depan. SBIPE menyetujui kesepakatan tersebut dengan komitmen bersama, bahwa perusahaan akan tetap membayar pesangon secara penuh. Draf surat awal dan tandatangan Bupati Bantaeng dan Kapolres Bantaeng, menjadi bukti adanya kesepahaman para pihak.
Tindakan Sepihak dan Manipulatif oleh HNAI
Fakta kemudian menunjukkan bahwa HNAI mengingkari kesepakatan tersebut. Perusahaan menerbitkan surat PHK dengan dalih mengalami kerugian. Surat itu langsung ditolak oleh SBIPE karena bertentangan dengan hasil perundingan sebelumnya.
SBIPE kembali melakukan koordinasi dengan Bupati Bantaeng. Dalam pertemuan lanjutan yang dihadiri kuasa hukum HNAI, terungkap bahwa memang ada kesepakatan lisan mengenai penghapusan pasal rinci tentang pesangon, namun komitmennya adalah pembayaran penuh tetap dilakukan. Bupati meminta waktu 7 hari untuk berkomunikasi dengan pihak HNAI.
Namun, sebelum batas waktu 7 hari berakhir, tepatnya pada 29 Agustus 2025, HNAI mentransfer pesangon sebesar 0,5 kali ketentuan secara sepihak, tanpa koordinasi dengan SBIPE maupun dinas ketenagakerjaan. Tindakan ini menjadi bukti bahwa HNAI dengan sengaja mempermainkan isi Perjanjian Bersama yang ditandatangani bersama pemerintah daerah.
Setelah 7 hari berlalu, SBIPE kembali menggelar aksi di depan kantor bupati. Dalam pertemuan dengan perwakilan buruh, Bupati Bantaeng menyampaikan bahwa HNAI tetap bersikukuh membayar hanya 0,5 kali pesangon. Ini membuktikan bahwa surat HNAI ke dinas ketenagakerjaan sengaja dibuat untuk memelintir isi PB dan menghindari tanggung jawab hukum.
Pelanggaran Hukum oleh PT. HNAI
Pasal 164 ayat (3) jo. Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 (sebagaimana diubah oleh UU Cipta Kerja) menyebut:
“Dalam hal pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tutup disebabkan kerugian terus-menerus selama 2 tahun, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 0,5 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali, dan uang penggantian hak.”
Catatan penting:
- Kerugian harus dibuktikan dengan laporan keuangan tahunan yang diaudit secara independen.
- PHK karena kerugian harus melalui penetapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), bukan keputusan sepihak perusahaan.
- Faktanya:
- HNAI tidak menunjukkan laporan audit independen yang membuktikan kerugian selama 2 tahun berturut-turut.
- Surat HNAI hanya menyebut kerugian selama 8 bulan terakhir, yang tidak cukup untuk melakukan PHK dengan skema pesangon 0,5 kali.
- Tidak ada putusan PHI, artinya tindakan PHK dan pembayaran 0,5 kali pesangon adalah tindakan melawan hukum.
- Pengingkaran Perjanjian Bersama (PB)
- Berdasarkan Pasal 7 UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, Perjanjian Bersama yang ditandatangani para pihak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan PHI.
- HNAI melanggar PB yang disaksikan pejabat negara, sekaligus melecehkan otoritas pemerintah daerah dan mempermainkan hukum Indonesia.
Tuntutan SBIPE
Dengan ini, SBIPE menyatakan sikap:
- Menolak sepenuhnya Surat Pernyataan HNAI tertanggal 29 Agustus 2025.
- Menuntut pembayaran pesangon secara penuh kepada buruh yang terkena PHK sesuai ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
- Menuntut pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran ketenagakerjaan yang dilakukan HNAI.
- Mendesak Bupati Bantaeng dan Kapolres Bantaeng untuk mengambil tindakan tegas terhadap pengingkaran PB.
- Meminta Pemerintah Pusat dan DPR RI untuk mengevaluasi dan mengawasi secara ketat perusahaan smelter yang tidak mematuhi hukum ketenagakerjaan Indonesia.
Ketika Negara Bungkam, Rakyat Angkat Bicara
Sikap ini kami sampaikan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan konstitusional untuk menjaga muruah hukum dan keadilan. Di negeri ini, hukum terlalu sering tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Tapi kami percaya, rakyat yang bersatu tidak bisa dikalahkan oleh kekuasaan yang sewenang-wenang.
Kami mengajak seluruh masyarakat sipil, organisasi buruh, mahasiswa, akademisi, media, dan lembaga negara untuk tidak tinggal diam. Ketika kekuasaan lebih melindungi modal daripada rakyat, ketika surat perjanjian dilanggar dan pejabat publik bungkam, maka satu-satunya jalan yang tersisa adalah melawan secara kolektif dan terbuka.
Karena itu, kami, buruh-buruh yang dipecat dan diabaikan, tidak akan menyerah. Kami akan terus turun ke jalan bersama organisasi pemuda, mahasiswa, dan rakyat tertindas lainnya. Kami akan terus bersuara karena kami tahu, diam adalah kematian perlahan bagi keadilan.
Apa yang dialami oleh buruh HNAI adalah cermin dari kegagalan negara dalam menjalankan mandat konstitusi: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara yang membiarkan rakyatnya diisap, dieksploitasi, dan dipermainkan oleh korporasi besar, adalah negara yang gagal menjalankan kewajibannya.
Dan jika negara bungkam, maka rakyat harus bicara. Jika keadilan dilumpuhkan, maka solidaritas rakyat harus bangkit. Kami akan terus melawan.

Ketua Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Bantaeng


Leave a Reply