Legenda Buang Alua di Cedo

Menyebut Kampung Cedo, akan teringat cerita legenda Buang Alua. Nama kampung ini, hanya memiliki satu kemiripan nama di Kabupaten Bantaeng, yaitu Cedo Ca’di (ca’di artinya kecil), tempat ini berjarak kurang lebih 3 km dari Cedo. Tempat tersebut bukanlah pemukiman penduduk, melainkan hanya hamparan sawah dan kebun.

Cedo terletak pada arah timur laut Kelurahan Lamalaka, Kecamatan Bantaeng. Jika berkesempatan mengunjunginya melalui jalur darat beraspal, maka satu-satunya akses yang menghubungkan ke wilayah tersebut adalah harus memasuki Desa Rappoa, Kecamatan Pajukukang. Jarak tempuhnya sekitar 1 kilometer.

 Saat ini Cedo dihuni penduduk kurang lebih 113 Kepala Keluarga (KK), di dalamnya ada 1 RW dan 3 RT. Di kampung tersebut, saya lahir dan dibesarkan. Kala itu, di usia anak-anak menuju remaja, saya sesekali mendengar perbincangan warga, bahwa di Cedo pernah ada legenda Buang Alua.

Cerita Buang Alua bahkan pernah disebut dalam pagelaran pameran seni di Bantaeng, terselip satu bait puisi di antara banjaran huruf, menyebut assa’na (asli) Jalarambangna Bantaeng, Buang Alua  ri Cedo (pemukul lesung di Cedo), bersama dengan beberapa kampung lainnya, seperti Kongkong Pongoro’na Loka (anjing gilanya Loka), Jarang Balibina Lembang (kuda berwarna merah tuanya Lembang), dan Ka’daro  Tattinompanna Kaili (tempurung kelapa telungkupnya Kaili).

Bahkan seingat saya, di kisaran tahun 2003, atas inisiasi anak muda Cedo, didukung oleh seluruh elemen masyarakat, kami membentuk klub sepakbola sebagai sarana mengasah bakat, klub itu kami beri nama Buang Alua FC. Sebagai penanda bahwa di kampung kami memang pernah ada cerita yang melegenda.

Menurut beberapa cerita yang diwariskan almarhumah Nenek Dori’, salah satu tokoh yang dituakan, dahulu di Cedo ada tradisi unik setiap kali menyambut musim panen padi. Saat bulan purnama datang, para perempuan akan berkumpul dan memukul lesung bersama sebagai bagian dari ritual syukur. Lalu, mengapa kisah ini sempat melegenda? Konon, pada suatu malam yang tampak biasa, kegiatan menumbuk padi di lesung justru menjadi awal dari sebuah cerita yang tak terduga. Di tengah dentuman alu yang menghantam lesung, tumbuhlah benih asmara antara dua insan, yang makin hari makin menggebu, hingga akhirnya membawa keduanya ke rumah penghulu. Dalam ungkapan Makassar-Bantaeng, peristiwa ini disebut sebagai naerang nai kalenna riballa’na gurua”, yang berarti “membawa dirinya ke rumah penghulu.”

Lain lagi dengan informasi dari Daeng Nasir, ia mengutarakan cerita dari kakeknya, Suribu, pemilik ilmu Buang Alua. Konon, dulu pernah ada perempuan yang mengandalkan dirinya, tidak bisa ditaklukkan oleh laki-laki mana pun. Suribu merasa tertantang, hingga akhirnya dengan ilmu pengasihan Buang Alua, perempuan tersebut akhirnya jatuh hatinya.

Seiring waktu berjalan dan dekade demi dekade berlalu, cerita tentang asal mula tradisi Buang Alua pun tetap hidup dalam ingatan. Sosok pemilik ilmu sakral Buang Alua ternyata orang asli Cedo, bernama Suribu. Ia dikenal memiliki 13 orang istri, dan di antara anak-anaknyalah ilmu tersebut diwariskan kepada seorang laki-laki yang sudah paruh baya, saat usia saya sekitar 13 tahun kala itu.

Sosok paruh baya itu bernama Musa. Ia kadang dipanggil uwak, kakek, atau daeng—tergantung siapa yang memanggilnya. Saat itu, saya memang tidak sempat mengorek lebih jauh tentangnya. Namun, yang saya tahu, beliau sering didatangi oleh banyak orang dengan berbagai maksud, entah dari mana asalnya. Yang saya ingat dan dengar, kebanyakan dari mereka datang untuk meminta ilmu pengasihan, dengan tujuan yang berbeda-beda.

Sosok Musa sebagai pewaris Buang Alua, menjadi buah bibir karena kehebatan ilmunya. Saya mencoba membuka tabir akan misteri kesakralan ilmu pengasihan ini, ternyata beliau telah meninggal dunia. Tetapi asa itu coba saya kuatkan, dengan mengorek beberapa sumber informasi yang pernah datang kepada Musa, meminta ilmu pengasihan.

Benar adanya, Buang Alua ada sama Uwak Musa, tutur salah satu pemberi informasi, sekaligus murid yang pernah berguru kepada Musa yang tidak ingin disebutkan namanya.  Ritual yang dilakukan oleh Musa adalah memakai wadah baskom yang di dalamnya telah berisi air dan yang dikomat-kamitkan mantra. Juga diberikan botol yang berisi minyak.

Namun, Nasir sebagai anak pertama Musa, ternyata adalah pelanjut dan pemilik ilmu Buang Alua. Ia menyampaikan bahwa setiap ada yang datang meminta ilmu pengasihan, apakah karena cintanya ditolak, atau karena bercerai dan ingin dipersatukan lagi, ataupun motif pengasihan lainnya. Ritual dilakukan dengan mengawali salat hajat, seperti yang dilakukan pemilik ilmu Buang Alua sebelumnya, Suribu, Musa, dan termasuk Nasir sendiri.

Untuk berhajat meminta ilmu pengasihan Buang Alua putra, beberapa syarat yang dipersiapkan sebelum diritualkan, yaitu menyiapkan baku’ karaeng (bakul atau wadah kecil dari daun lontar), setelahnya akan diberikan botol kecil yang didalamnya berisi minyak yang telah ditanak (minyak kelapa yang diolah secara tradisional), minyak tersebut akan dipakai sebagai pengasihan bagi siapa yang diniatkan.

Ternyata mantranya ada dua, pertama mantra pappagantina (pemicu dari minyak tersebut) atau pelengkap dari ilmu Buang Alua, mantra yang dimaksudkan adalah yaitu “buang alua ri cedo tallulamaka biringna sisapa’ galung natimboi bulu-bulu”. Bukan tidak bermaksud mengartikan ke dalam Bahasa Indonesia, melainkan hanya untuk menjaga kesakralan mantra ini, juga ada bahasa yang dalam sudut pandang estetika, tidak elok di-Indonesia-kan. Sedang mantra kedua, salah satu mantra pamungkas, yang oleh sumber pemberi informasi tetap dirahasiakan.

Saya, sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di kampung, tempat  legenda cerita Buang Alua di Cedo, mencoba melihat dari beberapa sudut pandang.

Pertama, Buang Alua dalam segala praktik mistisnya, dalam sudut pandang konteks kehidupan sosial, mencerminkan sisi kompleks dari kebutuhan manusia akan cinta dan penerimaan. Di satu sisi, ia menunjukkan bagaimana tradisi dan kepercayaan lokal, menjadi sarana untuk menyalurkan harapan dan perasaan yang tak tersampaikan. Di sisi lain, praktik ini juga membuka ruang refleksi, sejauh mana seseorang rela mengorbankan nilai-nilai moral demi keinginan pribadi.

Kedua, dalam masyarakat umum, dan oleh masyarakat sekitar Cedo, legenda Buang Alua bukan sekadar kisah mistis, tetapi simbol dari relasi kuasa dalam cinta, tentang dominasi dan hasrat, serta keinginan untuk mengendalikan. Kehadirannya menjadi cermin, bagaimana manusia bisa terjebak di antara kepercayaan, tradisi, dan kehendak bebas. Maka memahami Buang Alua di Cedo, dalam segala kekeramatannya, entah dari sisi mantra dan lainnya,  bukan pada konteks percaya atau tidak, melainkan bagaimana kita menyikapi dinamika cinta dan hubungan antar manusia dengan lebih bijak, tanpa harus melukai kebebasan dan perasaan orang lain.

Ketiga, Buang Alua sebagai bagian dari praktik budaya mistis dalam masyarakat Cedo secara khusus, dan khalayak banyak secara umum, adalah mencerminkan relasi kompleks antara kepercayaan tradisional, kebutuhan emosional, dan dinamika sosial. Sebagai media untuk memperoleh perhatian dan cinta dari seseorang. Mantra ini bukan hanya mencerminkan harapan individu terhadap hubungan asmara, tetapi juga menunjukkan bagaimana kekuatan spiritual kerap dijadikan alat untuk mengintervensi kehendak bebas pihak lain.

Pada akhirnya, Buang Alua lebih dari sekadar cerita atau mantra, tapi jejak tentang bagaimana manusia mencari cinta, kuasa, dan pengakuan dalam diam. Ia hadir barangkali bukan untuk diwarisi, tapi untuk diresapi—sebagai pelajaran bahwa cinta tak selalu harus memiliki.

Catatan: Tulisan ini termuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita (2025), hal. 159-162.


Comments

4 responses to “Legenda Buang Alua di Cedo”

  1. Luar biasa cerita legenda ini bercerita tentang budaya lokal yang ada di daerah Cedo Kab.Bantaeng yang berfungsi sebagai wahana edukasi di era milenial agar dapat mengenal dan melestarikan warisan budaya lokal

    1. Lukman HS Avatar

      Cocok Bu Neni

  2. MasyaAllah, semoga mantra buang Alua tidak kita terapkan Pindu😁
    Bahaya intu🙏🏻🙏🏻🙏🏻

    1. Lukman HS Avatar

      Begitu yah…
      Tapi masalahnya saya tidak tahu manteranya, hanya mengorek dna caritahu asal muasalnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *