Batu “Keramat” Selamatkan Hutan di Bantaeng

Ada cerita bersemayam di rerimbun pohon Hutan Campaga, tentang batu yang menjadi simbol kepatuhan orang-orang Campaga dalam menjaga hutan. Cerita yang terus mengalir dari generasi ke generasi  membentuk budaya penghargaan terhadap alam, pelarangan menebang pohon, meludah apalagi kencing di sumber mata air dalam hutan.

Pada masa lalu, hutan di Campaga dikuasi oleh dua orang: Karaeng Baso Lompo Bongga dan Petta Selek. Di antara mereka ada perselisihan. Perselisihan yang berpotensi memicu perang itu, dimulai saat salah satu di antara mereka, yakni Karaeng Baso Lompo Bongga, berencana membangun Salu’ Salapang (sembilan saluran air) di daerah mata air Tomboloa. Rencana ini ditentang oleh Petta Selek.

Lalu hadirlah seorang pendamai: Petta Lanre Daeng Massenga. Orang ini dikenal sakti karena menjuarai passaungangtau—sabung manusia dengan cara saling menikam menggunakan badik—diGantarangkeke, bagian selatan Campaga (Hanya saja, sabung manusia pada gilirannya diganti dengan sabung ayam). Berkat keberhasilannya mendamaikan dua orang yang berselisih tadi, kesepakatan damai pun dibangun dengan cara membagi dua wilayah kekuasaan dalam hutan. Karaeng Baso Lompo Bongga menguasai bagian selatan Hutan Campaga, sementara Petta Selek menguasai bagian utara.

Penanda batas wilayah kekuasaan dua orang tadi adalah sebuah batu bernama Babang Tangngaya—batu yang terletak di tengah-tengah. Petta Lanre Daeng Massenga-lah—sang pendamai—yang memindahkan batu itu. Ia letakkan batu tersebut, yang awalnya berada di dekat mata air Tomboloa, ke tengah-tengah hutan, antara bagian utara dan selatan hutan. Di kemudian hari, batu ini bukan sekadar penanda batas wilayah kekuasaan; ia juga dijadikan sebagai tempat pertemuan guna membicarakan pelbagai hal penting, atau disebut ‘kawaru’___acara ritual usai panen padi dengan menyanyikan lagu attena dan menghamparkan sajian sesajen di atasnya.

Penduduk Campaga dan sekitarnya, percaya Babang Tangngaya ditempati makhluk halus berambut panjang. Ceritanya berawal saat Pallapak Barambang (pengawal) Karaeng Baso Lompo Bongga, melihat sosok berambut panjang yang tidak dikenalnya sedang  mandi di mata air Tomboloa. Ketika sosok itu curiga ada yang memperhatikan, berlarilah ia menuju sebuah batu yang dekat dengan mata air. Masuklah ia ke dalam batu Babang Tangngaya. Kejadian itu sebelum Petta Lanre Daeng Massenga memindahkan batu Babang Tangngaya untuk dijadikan batas wilayah kekuasaan.

******

Kisah di atas adalah setitik upaya mengangkat cerita rakyat yang masih bertahan dan punya kekuatan untuk memengaruhi perilaku masyarakat, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam. Baik itu pengelolaan untuk fungsi produksi maupun fungsi konservasi, atau kaitan antara konservasi dan produksi. Hutan Campaga adalah potret hutan yang dijaga ketat oleh masyarakat melalui tradisi.

Januari 2007, Menteri Kehutanan dari kabinet Indonesia bersatu jilid satu, MS. Ka’ban, berkunjung langsung ke Bantaeng, mencanangkan Program Hutan Desa di Kelurahan Campaga, Kecamatan Tompubulu. Pencanangan tersebut menandai kepercayaan pemerintah untuk menyerahkan pengelolaan kawasan Hutan Negara kepada masyarakat. Dipilihnya Campaga sebagai salah satu lokasi dari tiga desa yang dicanangkan untuk program Hutan Desa di Bantaeng. Tentu saja karena orang-orang di Campaga telah menunjukkan bukti nyata terjaganya Hutan Campaga.

Hutan Campaga yang luasnya 23 hektar merupakan ekosistem hutan tropika dataran rendah. Kawasan hutan tersebut diapit  dua anak sungai yang berair sepanjang tahun. Kawasan hutan ini juga dialiri beberapa saluran air. keberadaan anak-anak sungai dan saluran air itu menyebabkan kelembaban tanah dan udara di dalam hutan cukup tinggi. Sehingga kesan ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah sangat kuat.

Kesan hutan hujan tropika dataran rendah juga didukung banyaknya pohon besar berdiameter lebih dari 90 sentimeter dengan tinggi total mencapai lebih dari 40 meter dan membentuk 4 lapisan tajuk. Pohon-pohon besar yang ada di dalam kawasan hutan tersebut, umumnya memiliki banir yang tingginya lebih dari 3 meter. Banyak jenis kaleleng (liana) merambat sampai ke lapisan tajuk hutan. Sementara pada lantai hutan, tumbuh jenis-jenis kalatea, berkembang sangat rapat dan subur, mencirikan keadaan tanah yang lembab/basah.

Keanekaragaman jenis pohon Hutan Campaga masih cukup bagus. Ini terbukti dengan inventarisasi potensi Hutan Desa yang pernah dilakukan oleh Fakultas Kehutanan Unhas. Menggunakan metode sistematik sampling with purposive start, inventarisasi itu menunjukkan hasil analisis vegetasi: untuk pohon berdiameter lebih dari 20 sentimeter dalam 4 plot berukuran 20 m x 20 m ada 31 jenis pohon. Indeks keanekaragaman pohon (Indeks Shanon) dari 31 jenis yang terjaring dalam keempat plot sampel tersebut mencapai 2,96 dengan indeks kekayaan 7,42 dan indeks kemerataan 0,86.  Ditambah 76 jenis pohon berdiameter lebih dari 5 senti meter  yang mengelilingi kawasan Hutan Campaga. Di antaranya, dalam bahasa lokal, adalah: Binuang (Octomeles Sumatarana), lento-lento, kaloa (Pangium Edule), jabon, mali-mali, bayuru, kayu manis (Dracontomeleon Mangiferum), suren, kampala (Instia Palembanica), anuhung, dan erasa.

Hasil inventarisasi yang dilakukan Fakultas Kehutanan Unhas, menunjukkan buah dari cerita tentang batu Babang Tangngaya yang menjadi simbol kepatuhan orang-orang Campaga dalam menjaga hutan. Terus mengalir dari generasi ke generasi  membentuk budaya penghargaan terhadap alam, pelarangan menebang pohon, meludah apalagi kencing di sumber mata air dalam Hutan Campaga.

Jalan aspal yang membelah sisi barat hutan Campaga sama sekali tidak menggoda masyarakat untuk mengambil satu dua batang pohon dari hutan. Pohon-pohon tetap menjulang, tak ada tangan jahil yang merebahkan, bahkan batang-batang pohon besar dan kecil yang tumbang akibat angin kencang dibiarkan melintang dan lapuk bersama waktu.

Benang merah yang menghubungkan cerita diatas dengan sikap hidup orang Campaga, bisa kita simak dari penuturan pria bernama Daeng Bundu (60 tahun) per April 2025. 

Pria yang mengaku memiliki garis keturunan dari Petta Lanre Daeng Massenga ini, tetap menyimpan baik-baik pesan ayahnya, Palaguna, “Jagai boronga na akkulle ta’jaga mata erena, kasaba loe siana-siananu niaka rongnganna boronga anggentungi tallasana—Jagalah hutan agar terjamin pula keberadaan mata air, sebab orang-orang yang berada di bagian hilir Hutan Campaga adalah saudara-saudaramu yang memanfaatkan air untuk menjamin kelangsungan hidupnya.”

Barangkali sikap bijaknya dalam menjaga hutan bermuasal dari ayahnya yang merupakan “Galla Campaga (Kepala Kampung)” terakhir. Daeng Bundu dilahirkan pada saat pertempuran antara DI/TII dan Pemerintah Indonesia tengah berlangsung. Sebab itulah ia bernama Bundu. ‘Bundu’ dalam bahasa Makassar, berarti perang.

Dalam merawat hutan, Daeng Bundu tidak sendiri. Masyarakat di Campaga dan tetangga desa sering terlibat memindahkan bibit kayu di kebun-kebunnya untuk ditanam di dalam hutan. Aktivitas penanaman dilakukan tanpa harus menunggu distribusi bibit pohon dari Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Bialo di Bantaeng. Selain menanam pohon, Daeng Bundu juga terkadang membersihkan kaleleng yang merambat di pohon-pohon kecil, agar pohon-pohon itu tetap bisa tumbuh besar.

******

Ini masih terkait dengan Daeng Bundu, pria yang mengabdikan hidupnya untuk menjaga hutan. Pada satu kesempatan bincang ringan di rumahnya, ia mengatakan, “Sebagian hidupku kuabdikan untuk merawat dan menjaga hutan beserta mata-airnya.”

Tekad dan sikap hidupnya itu bukan datang begitu saja dari ruang hampa. Sebagaimana ia katakan, itu semua berangkat dari fakta, bahwa begitu banyak orang yang mengambil manfaat dari pohon dan mata air di Hutan Campaga, khususnya oleh masyarakat di luar Campaga. Pemanfaatan ini terkait dengan peran ekonomi yang diberikan kepada masyarakat, khususnya masyarakat dengan ekonomi rendah.Daeng Bundu menerangkan, ada keluarga tergolong miskin di Kampung Simoko, Kelurahan Campaga, yang memanfaatkan kluwak  untuk dijual di pasar-pasar tradisional.

Kenyataan-kenyataan itulah yang membuatnya kukuh menjaga hutan. “Walaupun sampai nyawaku melayang, aku akan tetap mempertahankan terjaganya hutan jika ada yang berani merusaknya!” tuturnya.

Dari segi ekonomi dan pelestarian lingkungan, kesakralan yang dipegang masyarakat sekitar hutan oleh batu Babang Tangngaya yang terus berlanjut sampai sekarang, memegang peranan penting. Ia juga yang menjadikan Hutan Campaga bisa bertahan di tengah kepungan kebun-kebun petani.

Hingga ketersediaan sumber mata air terus mengairi sawah seluas kurang lebih 500 Hektar, tersebar di desa-desa bagian selatan Hutan Campaga (data inventarisasi Unhas). Sekaligus dimanfaatkan untuk menyirami tanaman cengkih jika musim kemarau tiba.

Hitung-hitungan ekonomi atas manfaat pengairan dari mata-air Hutan Campaga ini, mengantar kita pada hasil yang tidaklah sedikit.

Hasil pendapatan ekonomi dari lahan persawahan seluas 500 hektar yang diairi dari Hutan Campaga, memperkirakan pendapatan masyarakat mencapai 16 miliar 250 juta rupiah/panen, bila dilihat dari rata-rata penghasilan sawah di Sulawesi Selatan yang dapat menghasilkan 5 ton gabah dalam 1 hektar. Harga gabah kering sesuai peraturan yang dikeluarkan Bulog per Januari tahun 2025 ini, sebesar 6.500 rupiah/kilogram. Berarti dalam dua kali panen dalam setahun dapat menghasilkan 32 miliar 500 juta rupiah.

Manfaat di luar sektor persawahan itu juga dirasakan benar oleh masyarakat. Di Kampung Simoko, 25 (dua puluh lima) Kepala Keluarga miskin secara langsung memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, untuk dijual di pasar tradisional dan dijadikan konsumsi rumah tangga. Di antara hasil hutan bukan kayu itu ada kluwak, kemiri, madu, rambutan, bu’ne, annuhung, lupisi, katute, panasa, kasimpo, songi, sattulu, belimbing,dan lain sebagainya. Manfaat lainnya yang dirasakan masyarakat dari air Hutan Campaga, keberadaan dua usaha wisata kolam renang sebagai kepemilikan pribadi yang kerap dikunjungi ramai oleh pengunjung, apalagi di hari-hari libur.

Bukan masyarakat saja yang secara langsung merasakan manfaat dari keberadaan mata-air Hutan Campaga. Tak kurang dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Perumda Tirta Eremerasa Kabupaten Bantaeng, juga menimba manfaatnya. Data pengelolaan air PDAM pada tahun 2022 mencapai 32,1% dari total jumlah jiwa penduduk 199.393 jiwa. Rincian sambungan pelanggan Perusda Tirta Eremerasa sebanyak 17.269 unit untuk rumah tangga, sambungan untuk sosial 156 unit, instansi pemerintahan 117 unit, niaga 266 unit, industri 4 unit dan hidran umum sebanyak 135 unit. Dari sambungan jaringan pipa PDAM di atas, sebahagian pasokan airnya berasal dari mata air di Hutan Campaga.

Kita sudah melihat, betapa besar manfaat yang diberikan hasil hutan dan mata air di dalam Hutan Campaga. Lebih penting lagi, kita juga sudah melihat bagaimana masyarakat di sekitar hutan menjaga hutan melalui sistem dan tradisi turun temurun mereka. Sistem dan tradisi dengan model ‘konservasi klasik’ yang dibungkus dengan cerita mitos dari generasi ke generasi, untuk mempertahankan kelestarian hutan sebagai bagian penyelematan lingkungan. Kesemua itu tidak cukup dengan pengakuan semata, tapi selayaknya ditunjang dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, guna melestarikan kearifan lokal dan kebudayaan yang telah terbangun sejak dulu. Sebagai bagian dari kepastian keberlanjutan dari pemenuhan kehidupan ekonomi rakyat, usaha wisata dan PDAM serta lingkungan hidup masyarakat Bantaeng.

Catatan: Tulisan ini termuat dalam buku, Bantaeng Satu Negeri Seribu Cerita, (2025), hal 88-93

Kredit gambar: Wikiwand


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *