Pajak, Keadilan, dan Wajah Republik: Sebuah Renungan Filosofis

Pajak di Indonesia selalu hadir di antara kita seperti udara yang tak kasat mata tetapi menekan dari segala sisi. Ia masuk dalam setiap transaksi, mengintip di setiap slip gaji, bahkan hadir dalam segelas kopi yang kita seruput di warung pinggir jalan.

Tetapi anehnya, banyak dari kita merasa bahwa pajak adalah sesuatu yang jauh, seolah-olah ia bukan milik rakyat melainkan milik para birokrat yang duduk di kursi kekuasaan.

Di sinilah menariknya membicarakan pajak. Ia tidak sekadar kewajiban administratif melainkan cermin dari relasi antara negara dan warganya. Ketika kita membayar pajak maka kita sedang meneguhkan ikatan sosial, sebuah “kontrak tak tertulis” yang menunjukkan bahwa kita percaya kepada negara untuk mengelola hidup bersama. Tetapi apakah ikatan itu masih utuh di Indonesia hari ini? Atau jangan-jangan ia telah retak, ditelan oleh praktik feodalisme, oligarki, dan ketidakadilan?

Saya tergerak untuk menelisik pajak kita hari ini yang bukan semata-mata dari angka dan tabel ekonomi, melainkan dari perspektif yang lebih luas yaitu sejarah, filsafat politik, refleksi Islam, dan tentu saja pengalaman konkret di masyarakat kita.

Kalau kita menengok ke masa lalu, pajak di Nusantara berakar pada praktik upeti. Rakyat harus menyetor hasil bumi, tenaga, atau barang tertentu kepada penguasa. Pajak kala itu bukanlah bentuk partisipasi sukarela, tetapi lebih sebagai tanda tunduk. Para raja dan bangsawan memperlakukan rakyat sebagai ladang pemerasan, sementara rakyat menanggung beban tanpa ruang untuk bertanya: “Untuk apa semua ini?”

Kolonialisme Belanda memperkuat pola itu. Sistem pajak kolonial adalah instrumen eksploitasi, dari contingenten (setoran wajib hasil bumi) hingga landrent (sewa tanah). Rakyat Jawa misalnya, dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi, gula, atau nila tetapi bukan demi kesejahteraan mereka, melainkan demi keuntungan kolonial. Pajak lebih menjadi alat penindasan dan bukan alat keadilan.

Lalu kemudian Indonesia merdeka. Harapannya adalah pajak akan berubah wajah dari simbol perbudakan menjadi instrumen pembangunan. Tetapi warisan feodal dan kolonial itu ternyata tidak serta-merta hilang. Relasi kuasa tetap timpang. Birokrasi masih bermental penguasa dan bukan pelayan. Pajak dalam banyak hal tetap terasa sebagai beban rakyat kecil, sementara yang besar bisa lolos lewat celah hukum atau kolusi.

Secara teoritis pajak adalah instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial. Logikanya sangat sederhana yaitu yang mampu atau yang kaya membayar lebih, menanggung lebih banyak, sementara yang kurang mampu mendapat subsidi. Pajak menjadi alat redistribusi kekayaan agar jurang sosial tidak melebar. Begitu logika yang seharusnya.

Tetapi kita di Indonesia, logika itu sering kali terbalik. Kita tahu berita tentang korporasi raksasa yang menikmati insentif pajak, bahkan ada yang menghindari kewajiban dengan skema offshore. Sementara masyarakat miskin, mulai dari pedagang kaki lima, petani, buruh, atau pegawai kecil sekalipun tidak punya pilihan selain taat wajib pajak.

Inilah yang membuat pajak kerap dipandang sinis. Rakyat kecil merasa dipalak, sementara yang besar dilindungi. Alih-alih simbol solidaritas, pajak sering kali justru terlihat sebagai wajah ketidakadilan. Maka di sinilah pentingnya kembali kepada dasar filsafat politik. Bahwa pajak hanya sah apabila ia dijalankan dalam kerangka keadilan.

Thomas Aquinas (1225-1274) pernah menegaskan bahwa hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Demikian pula pajak yang tidak adil pada dasarnya hanyalah perampokan yang dilembagakan.

Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dalam The Social Contract berbicara tentang “volonté générale” atau kehendak umum. Pajak dalam semangat ini adalah wujud kehendak bersama yaitu rakyat rela menyumbang sebagian penghasilannya demi kesejahteraan kolektif. Tetapi bagaimana jika negara tidak menjalankan amanat itu? Bagaimana jika pajak hanya menjadi bahan bakar bagi segelintir elite?

Pada titik inilah kontrak sosial itu menjadi retak. Rakyat kehilangan rasa percaya. Mereka tetap membayar pajak, tetapi di dalam hati mereka merasa dikhianati. Muncul pula sinisme seperti: “Untuk apa bayar pajak kalau ujung-ujungnya dikorupsi?” Sinisme inilah sebenarnya yang berbahaya, sebab ia bisa mengikis fondasi etis negara.

Michel Foucault (1926-1984) pernah menyebut bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja lewat paksaan melainkan juga lewat wacana dan legitimasi. Pajak yang adil akan melahirkan legitimasi, sementara pajak yang korup justru melahirkan perlawanan, meski sering kali dalam bentuk diam-diam seperti penghindaran pajak oleh rakyat kecil yang merasa tidak mendapatkan timbal balik.

Lalu bagaimana Islam mendudukkan pajak ini? Islam memandang harta sebagai amanah, dan bukan milik absolut individu. Dalam Al-Qur’an, zakat disebutkan berulang kali sebagai instrumen keadilan sosial. Zakat, infak, dan sedekah berfungsi untuk membersihkan harta dan mendistribusikan kesejahteraan.

Konsep pajak dalam negara modern, sebenarhya bisa dibaca sebagai kelanjutan dari prinsip ini yaitu harta yang berlebih harus diputar untuk kepentingan bersama. Tetapi syaratnya tetap sama yaitu distribusi itu harus adil dan transparan. Rasulullah saw. (570-632) menegaskan bahwa pemimpin adalah pelayan rakyat dan bukan pemilik ataupun penguasa rakyat.

Tetapi sayangnya, yang kita saksikan justru sering berlawanan. Pajak memang dipungut, tetapi apakah ia sampai kepada fakir miskin, anak yang putus sekolah, atau desa-desa yang terpencil? Atau malah berhenti di rekening pejabat dan proyek mercusuar yang lebih sibuk membangun citra daripada membangun kehidupan?

Sebenranya di sinilah pentingnya menghidupkan kembali semangat maqasid al-syari‘ah. Bahwa segala kebijakan termasuk pajak harus bermuara pada terjaganya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika pajak justru merampas hak rakyat tanpa memberi jaminan kehidupan yang lebih baik, maka ia telah melenceng dari tujuan syariat.

Indonesia sudah sering kali dikritik sebagai negara demokratis dengan wajah feodal. Pajak pun tidak lepas dari pola ini. Lihat saja bagaimana pejabat memperlakukan rakyatnya. Mereka merasa berhak memungut, tetapi jarang merasa berkewajiban memberi penjelasan. Transparansi bagi mereka dianggap sebagai kemurahan hati kepada rakyat dan bukan kewajiban.

Pola feodal inilah yang membuat relasi negara dan rakyat menjadi timpang. Pajak menjadi alat penguasa dan bukan alat rakyat. Padahal dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat. Maka seharusnya rakyatlah yang menuntut: “Kami membayar pajak, tunjukkan apa balasannya!” Karena tanpa kesadaran itu, pajak hanya akan menjadi bentuk upeti modern. Kita kembali ke masa kerajaan yang hanya berganti kostum. Dari istana ke gedung parlemen, atau dari raja ke birokrat.

Coba kita bayangkan seorang ibu tua miskin di kampung yang harus membayar pajak bumi dan bangunan dari tanah warisan kecilnya. Ia taat meski penghasilannya pas-pasan. Meski hanya makan seadanya. Atau bahkan lebih banyak melakukan puasa Senin dan Kamis demi penghematan.

Tetapi di sisi lain, ia menonton berita tentang pengemplang pajak yang nilainya triliunan rupiah tetapi lolos dengan alasan “teknis administrasi.” Apa yang dirasakan ibu itu? Apakah ia akan percaya bahwa negara memperlakukannya setara dengan konglomerat?

Atau pikirkan seorang pedagang kecil yang harus membayar retribusi harian di pasar. Ia tidak pernah menolak, tetapi ia juga tidak pernah melihat pasar itu bersih, aman, atau tertata. Retribusi itu ke mana? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang mengendap di hati rakyat yang perlahan membentuk ketidakpercayaan.

Jika saja pajak ingin berfungsi sebagai instrumen keadilan, maka ia harus dibangun di atas kepercayaan. Rakyat harus percaya bahwa setiap rupiah yang mereka setorkan akan kembali dalam bentuk jalan yang mulus, sekolah yang layak, layanan kesehatan yang terjangkau, seluruh layanan publik yang santun berkemanusiaan, subsidi fakir miskin, dan kehidupan yang lebih bermartabat.

Kepercayaan itu hanya lahir dari transparansi dan akuntabilitas. Negara harus berhenti memandang rakyat sebagai objek pemungutan, dan mulai memandang mereka sebagai subjek yang berdaulat. Pajak harus dipahami bukan sebagai beban, melainkan lebih sebagai kontribusi sukarela untuk kehidupan bersama.

Filsafat politik menyebutnya reciprocity yaitu timbal balik. Negara tidak bisa hanya menuntut tanpa memberi. Pajak yang sehat adalah pajak yang adil, transparan, dan mengikat semua pihak mulai dari rakyat kecil hingga pejabat tinggi.

Pajak bukan sekadar angka di laporan keuangan negara. Pajak lebih sebagai cermin bahwa apakah republik ini berdiri di atas asas keadilan atau masih terjebak dalam warisan feodalisme?

Kalau kita ingin melihat kualitas demokrasi Indonesia, jangan hanya lihat pada pemilu atau pidato pejabat. Lihatlah pada sistem pajaknya. Apakah rakyat merasa dihormati ketika membayar? Dan apakah mereka melihat manfaat nyata dari kontribusi itu?

Filsafat mengajarkan kita untuk selalu bertanya pada akar persoalan. Dan di balik pajak, persoalan terbesarnya bukanlah tarif atau mekanisme melainkan keadilan. Selama keadilan itu belum hadir maka pajak akan terus dipandang sebagai palak negara dan bukan kontrak sosial.

Tugas kita, baik sebagai warga maupun intelektual adalah berupaya terus mengingatkan bahwa pajak harus kembali ke hakikatnya, yaitu instrumen solidaritas untuk kehidupan yang lebih adil. Jika tidak, maka kita hanya akan mengulang sejarah panjang upeti feodal dalam kostum modern, dan republik ini, sekali lagi bisa kehilangan jiwanya.

Kredit gambar: Mediaindonesia.com


Comments

One response to “Pajak, Keadilan, dan Wajah Republik: Sebuah Renungan Filosofis”

  1. Sukma Ilham Avatar
    Sukma Ilham

    Jika tidak memaksa ya bukan pajak namanya. Pajak adalah perangkat penting bagi negara untuk membiayai kegiatan pemerintah dan menyediakan layanan publik. Tentu semua hal yang normatif soal pajak bisa disebut panjang lebar tapi apa arti itu semua jika pengelola pajak tidak punya kehendak baik untuk menerapkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Semua carut marut persoalan pajak karena pengelola pajak naik syahwatnya demi melihat keseksian uang pajak. Bukan hanya pajak jika hendak bicara soal negeri ini. Semua keruwetan dalam negeri bermula dari kurang atau tidak adanya kehendak baik untuk menerapkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan bagi semuanya. Jadi bagaimana sih membangun kehendak baik agar negara berjalan kearah yang diharapkan bangsa?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *