Kebenaran, Kerendahan Hati, dan Masa Depan Pengetahuan

Sejarah pengetahuan manusia adalah kisah panjang tentang keberanian dan kerendahan hati. Keberanian untuk bertanya di tengah ketidakpastian, dan kerendahan hati untuk menerima bahwa setiap jawaban adalah langkah sementara menuju pemahaman yang lebih dalam.

Namun, di tengah laju kemajuan teknologi dan kompleksitas sistem sosial, kita menghadapi bahaya baru: arogansi ilmiah—sebuah keyakinan berlebihan pada kelengkapan dan supremasi pengetahuan yang kita miliki saat ini.

Arogansi ilmiah bukanlah kesalahan individu semata, tetapi gejala dari struktur sosial, politik, dan budaya yang memuja kepastian dan hasil instan. Ia lahir ketika sains melupakan akarnya sebagai pencarian terbuka, lalu menjelma menjadi otoritas yang merasa berhak menentukan batas kebenaran. Dalam keadaan ini, filsafat menjadi pengingat yang tak tergantikan. Ia mengajak kita untuk melihat pengetahuan sebagai proses dialog, bukan monolog; sebagai jembatan, bukan menara gading.

Refleksi filosofis mengajarkan bahwa kerendahan hati bukan lawan dari ketegasan, dan pengakuan akan keterbatasan bukan tanda kelemahan. Justru dari pengakuan itulah lahir kekuatan untuk terus belajar, memperbaiki kesalahan, dan membuka diri terhadap perspektif yang berbeda. Tanpa kesadaran ini, kemajuan yang kita banggakan dapat berubah menjadi alat yang menghancurkan keadilan, merusak ekosistem, dan merendahkan martabat manusia.

Masa depan pengetahuan bergantung pada pilihan yang kita buat hari ini: apakah kita akan membiarkan arogansi ilmiah menguasai institusi pendidikan, ruang publik, dan kebijakan global; atau kita akan menumbuhkan kembali etos ilmiah yang rendah hati dan reflektif. Pilihan ini bukan semata tanggung jawab ilmuwan, melainkan panggilan bagi semua warga peradaban yang hidup di tengah arus informasi dan inovasi yang tak henti mengalir.

Jika kita memilih kerendahan hati ilmiah, maka sains akan kembali menjadi mitra filsafat, seni, agama, dan kebijaksanaan tradisional dalam merawat kehidupan. Kita akan memiliki pengetahuan yang tidak hanya akurat secara teknis, tetapi juga bijaksana secara moral. Kita akan mampu membangun teknologi yang tidak hanya efisien, tetapi juga manusiawi. Dan yang terpenting, kita akan mengembalikan pengetahuan pada tujuan asalnya: membebaskan manusia dari belenggu ketidaktahuan, tanpa menciptakan belenggu baru yang lahir dari kesombongan intelektual.

Pada akhirnya, kebenaran bukanlah mahkota yang kita pakai untuk menandai keunggulan, melainkan obor yang kita jaga bersama, agar cahaya pengetahuan tetap menerangi jalan peradaban. Obor itu hanya akan bertahan jika kita memegangnya dengan hati-hati, dengan kesadaran bahwa cahaya yang kita miliki hanyalah sebagian kecil dari terang yang tak terhingga. Di sinilah filsafat dan sains saling menyapa—dalam kerendahan hati yang tak pernah berhenti mencari.

Arogansi ilmiah adalah paradoks tragis: ia lahir dari keberhasilan pengetahuan, tetapi justru berpotensi merusak integritas ilmu itu sendiri. Minimnya pemahaman filsafat membuat ilmuwan atau praktisi pengetahuan mudah terjebak pada absolutisme metodologis, reduksionisme sempit, dan penolakan terhadap perspektif lain. Fenomena ini tidak hanya membatasi ruang kemajuan intelektual, tetapi juga membawa risiko etis yang besar bagi masyarakat dan peradaban.

Filsafat hadir bukan untuk menghambat laju sains, tetapi untuk menjadi penuntun agar perjalanan itu tetap berada di jalur yang manusiawi dan reflektif. Ia mengingatkan bahwa setiap teori adalah konstruksi sementara, setiap metode memiliki bias, dan setiap pengetahuan membawa tanggung jawab moral.

Membangun kerendahan hati ilmiah memerlukan komitmen jangka panjang: pendidikan filsafat sejak dini, dialog lintas disiplin, kesadaran etis, keberanian untuk mengakui ketidaktahuan, dan keterbukaan terhadap pluralisme metodologis. Tanpa itu semua, kemajuan ilmu pengetahuan hanya akan memperbesar jurang antara kecanggihan teknis dan kebijaksanaan manusia.

Kerendahan hati bukan berarti mengurangi ketajaman intelektual; justru sebaliknya, ia memperluas cakrawala pengetahuan dengan mengakui bahwa kebenaran selalu lebih besar dari jangkauan metodologi kita. Dalam kerendahan hati itulah, ilmu pengetahuan menemukan martabatnya yang sejati—bukan sebagai penguasa realitas, tetapi sebagai pengabdi pencarian kebenaran.

Kredit gambar: Indonesiainaise.id


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *