Senin malam, 25 Agustus 2025, saya menerima telepon dari Pak Alimin DS, Pimpinan Redaksi Publikasionline.id yang juga Ketua JOIN Bantaeng. Dengan gaya bercandanya yang khas, beliau menyampaikan undangan untuk hadir di sebuah kegiatan Bawaslu Kabupaten Bantaeng. “Besok di Hotel Kirei, jangan sampai tidak datang,” ujarnya ringan namun penuh maksud. Saya iyakan tanpa pikir panjang.
Keesokan harinya, Selasa pagi, saya berangkat dari kampung halaman di Loka, Kecamatan Uluere. Jaraknya sekitar 18 kilometer dari kota. Dengan sepeda motor, butuh kurang lebih 30 menit untuk tiba di Kota Bantaeng. Udara pagi masih sejuk ketika saya meluncur, dan dalam hati saya sudah membayangkan suasana diskusi tentang demokrasi yang biasanya selalu hangat.
Tiba di Hotel Kirei sekitar pukul 09.15, saya disambut meja registrasi. Daftar hadir ternyata sudah dipenuhi nama-nama lembaga. Tanpa berpikir panjang, saya menuliskan nama saya atas nama Ketua JOIN Bantaeng. Usai itu, saya melangkah masuk ke aula. Beberapa panitia yang juga staf Bawaslu Bantaeng menyapa ramah. Bahkan, Ketua Bawaslu Bantaeng, Ibu Ningsih Purwanti, yang saya kenal sebagai sosok murah senyum, juga menyapa saya langsung. Itu memberikan rasa hangat tersendiri di awal acara.
Dari kejauhan, saya melihat Kak Sulhan dan Naca duduk di sebuah meja. Karena masih ada kursi kosong, saya memilih bergabung bersama mereka. Tak lama, acara dimulai. Susunan kegiatan berjalan seperti biasa: laporan panitia dari Kepala Sekretariat Bawaslu, sambutan-sambutan, lalu doa bersama. Semua berlangsung khidmat.
Namun, inti acara baru benar-benar terasa saat narasumber mulai bicara. Moderator sesi pertama, Ibu Wahni dari Bawaslu Bantaeng, memandu jalannya diskusi. Sejumlah narasumber hadir dengan perspektif yang kaya. Ada Aflina Mustafainah, Ketua Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan Sulsel, yang menyoroti brutalnya praktik politik uang.
Ada pula Faisal Amir, mantan Ketua KPU Sulsel, yang menekankan pentingnya integritas dan kepastian hukum. Kemudian, Dayanto, Tenaga Ahli Bawaslu RI, yang hadir via Zoom, berbicara tentang penguatan kelembagaan pengawas pemilu. Lalu, Alamsyah dari Bawaslu Sulsel yang fokus pada pengawasan Pemilu 2024.
Hingga akhirnya, sore tiba. Tepat pukul 15.40 Wita, giliran narasumber kelima, Dr. H. Adi Suryadi Culla, M.A., akademisi dari FISIP UNHAS, menyampaikan materinya hingga pukul 17.40 Wita. Sesi ini dipandu oleh moderator berbeda, yakni, Arfah Yulianto, Kepala Sekretariat Bawaslu Bantaeng, yang memang secara khusus mendampingi jalannya materi terakhir tersebut.
Jujur, inilah sesi yang paling membekas bagi saya. Beliau membuka dengan kalimat yang cukup mengejutkan: “Demokrasi itu kutukan bagi penyelenggara pemilu.”
Kalimat itu sontak membuat ruangan hening. Saya pribadi merasa kalimat itu bukan sekadar retorika, melainkan sebuah refleksi panjang dari perjalanan demokrasi Indonesia. Adi Suryadi menjelaskan, demokrasi tidak pernah melahirkan sistem yang sempurna. Demokrasi penuh ketidaksempurnaan, dan karena itu kritik terhadap penyelenggara seperti Bawaslu adalah sebuah keniscayaan. Demokrasi, katanya, lahir bukan dari rakyat, melainkan dari sebuah proses panjang sejarah yang penuh kompromi.
Saya merenung sejenak. Kata-kata itu menohok, tapi juga membuka mata. Selama ini, kita sering memandang demokrasi sebagai sesuatu yang ideal, padahal sejatinya demokrasi adalah jalan yang berliku, penuh kelemahan, tetapi tetap menjadi alat terbaik untuk menjaga peralihan kekuasaan secara damai.
Di sela diskusi itu, Kak Sulhan yang duduk di dekat saya berkomentar singkat namun tajam, “Inilah menariknya demokrasi. Ia memang rapuh, tetapi justru di situlah kekuatannya—karena semua pihak dipaksa untuk terus menguji, mengkritisi, dan memperbaiki.”
Tak berhenti di situ, Kak Sulhan kemudian menambahkan satu pandangan yang menurut saya sangat penting: “Bawaslu dalam ketidaksempurnaannya harus diberi ruang untuk tumbuh dengan kultur khas Bantaeng, yang mungkin berbeda dengan daerah lain. Justru di situlah letak kekuatan demokrasi lokal kita, ketika lembaga tumbuh dengan cara yang lebih sesuai dengan masyarakatnya sendiri.”
Komentar itu menurut saya melengkapi pesan yang disampaikan Adi Suryadi, bahwa demokrasi harus tumbuh dalam ruang ketidaksempurnaan, bukan dalam klaim sempurna.
Di titik itu saya merasa, Bawaslu Bantaeng melakukan langkah yang tepat dengan menggelar forum ini. Menghadirkan narasumber lintas perspektif bukan hanya memberi wawasan baru, tetapi juga membangun kesadaran bahwa demokrasi adalah kerja kolektif. Ada pemerintah, ada penyelenggara, ada pengawas, ada partai politik, ada masyarakat sipil, dan tentu saja ada pers yang tak kalah penting dalam menjaga transparansi.
Kegiatan hari itu menegaskan bahwa demokrasi bukanlah tentang mencari kesempurnaan, melainkan tentang bagaimana kita menerima kekurangan dengan lapang dada dan memperbaikinya sedikit demi sedikit. Adi Suryadi menyebut, Bawaslu harus belajar menerima kritik sebagai bagian dari proses tumbuh. Bagian ini bagi saya sangat penting: tanpa kritik, demokrasi justru akan mandek.
Setelah kegiatan selesai, saya tidak langsung kembali ke Loka. Ada beberapa urusan yang saya selesaikan lebih dahulu di kota. Saya juga menyempatkan diri membesuk seorang sahabat yang sedang dirawat di RSUD Bantaeng. Malam semakin larut, dan sebelum benar-benar pulang, saya singgah di sebuah warkop di kota. Segelas kopi hangat menutup hari panjang penuh pembelajaran.
Perjalanan pulang ke Loka malam itu terasa berbeda. Jalanan gelap dengan angin malam yang menusuk justru memberi ruang refleksi. Saya merasa, hari itu bukan sekadar menghadiri kegiatan, tetapi sebuah pengalaman yang memperkaya cara pandang saya tentang demokrasi. Demokrasi memang tidak sempurna, tetapi justru di situlah letak harapannya. Kita semua, dalam ruang kecil maupun besar, punya peran untuk menjaganya.
Dan bagi saya, Selasa, 26 Agustus 2025, di lantai 4 Hotel Kirei, Bantaeng, adalah momen berharga untuk kembali meyakini bahwa demokrasi, meski penuh paradoks, tetap layak diperjuangkan.

Takdir Mahmud, lebih akrab disapa Abhy, lahir dari pasangan orangtua Mahmud dan Kumina. Pendiri Serambi Baca Tau Macca, inisiator Kemah Buku Kebangsaan (KBK) dan relawan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng.
Email: takdir@pplhpuntondo.or.id
Leave a Reply