Butta Toa, Butta Sipakatau

Butta Toa, Butta SipakatauDi balik hamparan pegunungan yang hijau dan pesisir Sulawesi Selatan yang tenang, terbentang sebuah wilayah bernama Bantaeng. Tanah ini bukan sekadar titik di peta, melainkan ruang hidup yang telah lama berdenyut dalam sejarah Nusantara.

Beberapa abad silam, nama Bantaeng telah bergema di berbagai penjuru negeri, dikenal sebagai pusat interaksi budaya dan perdagangan. Dalam naskah kuno Nagarakretagama, yang ditulis pada masa kejayaan Majapahit, wilayah ini disebut “Bantayan”, sebuah penanda bahwa Bantaeng bukanlah tanah asing bagi kerajaan-kerajaan besar di Jawa pada abad ke-14.

Kendati demikian, sejarah Bantaeng tidak bermula dari tinta Kerajaan Majapahit semata. Jejaknya diyakini telah ada sejak abad ke-12, dan menjadikannya sebagai salah satu wilayah tertua di Sulawesi Selatan. Maka tak heran jika masyarakat menyebutnya Butta Toa (tanah tua); sebuah julukan yang bukan hanya mencerminkan usia, tetapi juga kedalaman nilai-nilai budaya dan sejarah yang mengakar kuat.

Di antara lapisan sejarah itu, terselip sebuah kisah yang terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakat: legenda To Manurung. Dalam versi Bantaeng, ia dikenal sebagai To Manurung Ri Onto: sosok yang datang bukan dengan kekuatan fisik, melainkan dengan cahaya dan suara.

La Sakka dalam penelitiannya, menyebut bahwa kehadiran To Manurung terjadi pada malam Jumat yang sunyi, dan menyerukan panggilan terhadap Tau Tujua (tujuh tokoh) masyarakat untuk berkumpul dan menerima amanat. Dari pertemuan itu, lahirlah gelar-gelar kepemimpinan, salah satunya adalah Rampang sebagai pelindung. Setelah gelar dan amanah diberikan, To Manurung pun menghilang, meninggalkan warisan nilai yang terus dijaga.

Namun seiring perjalanan waktu, cerita tentang To Manurung perlahan meredup. Modernisasi dan rasionalisasi industri mengubah banyak hal, mulai dari gaya hidup, cara berpikir, bahkan cara membangun. Pembangunan menjadi seragam, sering kali terlepas dari akar budaya lokal.

Di tengah arus itu, legenda To Manurung justru menawarkan sesuatu yang berbeda: sebuah narasi alternatif yang kaya akan nilai kemanusiaan dan inklusi sosial. Dalam berbagai penelitian, To Manurung bukan sekadar mitos. Ia adalah simbol pencerahan, pemulihan sosial, dan keadilan.

Nilai sipakatau, yang berarti saling memanusiakan, menjadi inti dari kearifan lokal yang diwariskan. Karenanya itu, dalam konteks pembangunan berbasis GEDSI (Gender, Disability, and Social Inclusion), nilai ini mengajak kita untuk menghormati semua individu, perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya.

Bayangkan jika visi kemanusiaan To Manurung dihidupkan kembali dalam narasi kampanye sosial modern. Cahaya pencerah itu bisa menjadi pemicu gerakan kolektif, di mana komunitas lokal berkumpul untuk menerima amanat baru: menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil.

Sementara dalam pendidikan, nilai pangngadakkang (tata krama sosial) bisa diajarkan sebagai panduan etis. Pun demikian dalam konteks kebijakan, inovasi berbasis tradisi bisa menghadirkan akses yang merata bagi semua lapisan masyarakat.

Kendati Bantaeng telah memulai langkah itu, ditandai dengan hadirnya Peraturan Bupati No. 29 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender. Namun tantangan tetap ada. Narasi bahwa perempuan tidak layak memimpin masih sering kali terdengar.

Demikian pula, stigma terhadap kelompok disabilitas masih terus berlangsung. Mereka sering kali dipandang sebelah mata, dianggap tidak mampu berkontribusi, dan hanya pantas dikasihani. Ironisnya, sebagian besar kelompok disabilitas di wilayah ini ikut terjebak dalam stigma yang sudah mengakar kuat di sebagian masyarakat tersebut. Padahal, nilai-nilai lokal seperti sipakainga, sikatutui, dan sikapaccei justru menjunjung tinggi penghormatan dan kesetaraan.

Pada akhirnya, legenda To Manurung mengingatkan, bahwa pencerahan bukanlah sesuatu yang jauh dan abstrak. Ia adalah amanat yang harus dijalankan dalam kehidupan nyata. Karena itu, dengan memaknai ulang kearifan lokal sebagai fondasi pembangunan, maka Bantaeng tidak hanya akan menjadi tanah tua yang dikenang, tetapi juga tanah masa depan yang diperjuangkan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *