Di tahun 2023, Slank banjir hujatan gegara membuat lagu berjudul, “Polisi yang Baik Hati”. Lagu yang diunggah di YouTube resmi mereka di momen HUT Bhayangkara itu dikritik habis-habisan oleh banyak orang. Komentar seperti “Slank sekarang jadi band plat merah”, “Slank udah enggak kritis lagi”, hingga “Slank udah enggak Slank” berseliweran di media sosial.
Namun, Slank tetap tenang. Mereka, yang bahkan pernah dicekal karena lagu, “Gossip Jalanan”, terlalu matang sekaligus slengean untuk panik menghadapi kritik semacam itu. Dalam satu kesempatan, Bimbim, drummer sekaligus pemimpin Slank, justru mengatakan bahwa ia senang lagu itu jadi polemik. Baginya, polemik itu menunjukkan bahwa masyarakat masih peduli pada bangsa ini. Ia juga bilang bahwa lagu itu bisa memicu institusi kepolisian untuk terus berbenah.
Saya, sebagai anak muda yang menggemari Slank sejak Sekolah Dasar, hanya bisa melihat semua itu dengan pandangan nanar. Saya tak habis pikir, bagaimana mungkin masyarakat bisa sebegitu bencinya hanya karena satu lagu? Bagaimana bisa satu karya langsung menghapus jejak panjang perjalanan Slank yang begitu vokal terhadap ketidakadilan?
Sementara saya sendiri, justru merasa bahwa Slank adalah bagian dari hidup saya. Lagu-lagu mereka menemani dan bahkan menyelamatkan saya di berbagai titik krusial kehidupan.
Jangan Coba-Coba Korupsi
Pertama kali mengenal Slank, saya masih bocah SD. Sepupu saya adalah seorang Slankers yang sering nongkrong di Potlot. Ia memperkenalkan saya pada dunia Slank dengan penuh kebanggaan. Setiap kali saya main ke rumahnya, saya disuguhi spanduk besar bergambar kupu-kupu yang bukan sekadar dekorasi, melainkan simbol kebebasan dan keberanian: logo Slank.
Salah satu lagu pertama yang benar-benar membekas adalah “Seperti Para Koruptor’. Bayangkan, seorang anak SD mendengarkan lirik seperti:
“Hidup sederhana, gak punya apa-apa tapi banyak cinta.
Hidup bermewah-mewahan, punya segalanya tapi sengsara.
Seperti para koruptor…”
Lagu itu seperti nasihat moral yang terus bergaung di kepala saya hingga dewasa. Bahkan di kantin sekolah, teman saya bernama Yanto pernah membelikan saya stiker kuning bertuliskan “Jangan Coba-Coba Korupsi”. Lewat tangan mungilnya, saya tahu bahwa pemberian itu bukan sekadar main-main, tapi dampak dari musik yang kami dengarkan bersama.
Kini, di usia dewasa, ketika saya sudah mengenal dunia kerja, saya makin paham betapa relevannya pesan-pesan Slank. Lingkungan tidak selalu bersih dari godaan uang. Saya melihat bagaimana uang bisa mengubah sikap orang, bagaimana orang bisa bersikap baik di depan atasan tapi tega menjatuhkan teman selevel. Saya menyaksikan orang-orang yang melakukan segalanya demi uang—termasuk hal-hal yang jelas-jelas salah dan dilarang.
Tapi lirik Slank terus membimbing saya:
“Uang haram nanti karma, uang panas cepat melayang,
Uang jin dapet dari tuyul, uang setan gak bakal berkah…”
Itu dari lagu “Halal”, lagu yang menjadi pengingat bahwa keberkahan rezeki lebih penting dari jumlahnya.
Slank juga mengingatkan:
“Merangkak dari bawah, gak perlu mewah-mewah,
Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit.
Mau cepet kaya, masuk penjara.”
Sebuah prinsip yang saya pegang teguh.
Skripsi, Pandemi, dan Kekuatan Lagu Slank
Tahun 2020 adalah tahun paling menantang dalam hidup saya. Pandemi COVID-19 melanda. Semua orang terjebak di rumah, termasuk dosen pembimbing skripsi saya. Tak ada pilihan lain, saya harus berani menemui dosen saya langsung ke rumahnya. Masalahnya, saya bukan orang yang mudah menghafal jalan. Bahkan untuk keluar rumah ke tempat baru saja, saya bisa tersesat.
Tapi lagu Slank membantu saya mengatasi ketakutan itu. Lagu seperti “Jurus Tandur (Maju Terus Pantang Mundur)” dan “Mars Slankers”, memompa semangat saya.
“Walau beribu-ribu rintangan, kita slalu tebas…
Walau berjuta-juta halangan, kita pasti berantas…”
Dengan lagu-lagu itu mengalun di kepala, saya pun nekat berangkat, dan akhirnya berhasil menemui dosen pembimbing saya.
Dan ya, skripsi saya selesai.
Patah Hati dan Kesendirian
Ketika patah hati, saya menemukan pelukan dari lagu-lagu Slank. Saat pacar saya pergi dan menemukan orang baru, saya merasa hampa. Dunia mendadak sunyi. Tapi lagu-lagu seperti “Anyer 10 Maret” dan “Terbunuh Sepi”, menjadi soundtrack kesedihan yang sangat cocok.
Lirik-liriknya menggambarkan rasa sepi dan perih yang sangat personal. Saya seperti berada di pantai sendirian, angin menerpa tubuh, dunia tampak luas dan kosong. Slank tidak menghibur dengan kata-kata manis, tapi menemani dengan kejujuran. Dan dari kejujuran itulah, saya merasa dipahami.
Orang Baik di Depan, Menggonggong di Belakang
Dunia kerja juga memperlihatkan realitas orang-orang yang pandai bersandiwara. Di depan atasan tampak patuh dan ramah, tapi di belakang bisa menggigit siapa pun yang dianggap menghalangi jalan. Dan saya langsung teringat lagu “Anjing” dari album kedua Slank.
Di sana, Slank menyuarakan keresahan yang sama.
“Banyak anjing menggonggong.. Banyak anjing menjilat.. Banyak anjing meneteskan ludah..
Berputar-putar.. memberi salam, biar nurut tetep aja, binatang!”
Saya kagum dengan cara Slank menggambarkan keadaan itu, lagu dari era di album kedua Slank yang rilis tahun 1991 itu, ternyata menggambarkan situasi yang saya lihat hari ini, tetapi dengan lirik yang “tersembunyi”.
Saya Tetap Mencintai Slank
Setelah semua itu, apakah saya akan membenci Slank hanya karena satu lagu? Tentu tidak.
Saya tahu, Slank bukan malaikat. Tapi Slank juga bukan penjahat. Mereka hanya manusia yang tetap berusaha menyuarakan sesuatu, meski caranya mungkin tak lagi sekeras dulu. Dan menurut saya, itu bukan tanda melemah, tapi tanda bertumbuh.
Slank sudah terlalu dalam tertanam di hidup saya. Lagu-lagu mereka bukan cuma untuk didengar, tapi untuk dijalani.
Dan buat saya, cinta pada Slank bukan hanya soal musik, tapi soal nilai-nilai yang mereka tanamkan. Nilai tentang kejujuran, perjuangan, kesetiaan, dan keberanian melawan ketidakadilan. Jadi, sekali lagi saya bilang: Bagaimana mungkin saya membenci Slank hanya karena satu lagu?
Piss!
Kredit gambar: IntipSeleb

Lahir di Bogor, Jawa Barat, 31 Desember 1997. Menyelesaikan studi S1 di Universitas Ibnu Khaldun Bogor (UIKA) Fakultas Pendidikan Agama Islam tahun 2020. Ketertarikannya pada dunia seni dan kepenulisan dimulai sejak sekolah menengah pertama. Hingga di tahun 2016, ia menempati peringkat ke-3 lomba cerpen se-SMK Negeri 1 Gunung Putri, dan pada 2019, ia meraih juara 1 Lomba Seni Akustik di kampusnya. Kini, ia bekerja sebagai tenaga teknis pada bidang pemberitaan di Ditjen Bimas Islam, Kemenag RI.
Leave a Reply