Sekitar puluhan tahun lalu, Jalan Mamoa, Makassar, di sebuah rumah yang cukup sederhana seorang remaja baru saja pulang sekolah. Ia bawa ransel hitam yang mulai lusuh. Baju putih abu-abu yang ia pakai tak begitu baru. Seingat saya, itu pertama kali saya melihatnya.
Sebenarnya, saya berteman dengan kakaknya. Ia senior saya di organisasi daerah. Lama saya berinteraksi dengan kakaknya, dan akhirnya mengantar juga mengenal dia, walau tak begitu akrab. Tak seakrab dengan kakaknya.
Dengan kesibukan kuliah dan aktivitas lainnya. Setelah kepengurusan di organisasi daerah selesai, saya jarang ketemu lagi kakaknya tentu juga dengannya. Nyaris saya tak lagi pernah berkunjung ke rumahnya di Mamoa itu.
***
Saya bertemu kembali dengan siswa yang baru saja pulang sekolah itu, setelah sekian tahun. Mungkin sekitar dua tahun kalau saya tidak salah ingat. Tapi, saat itu, ia tak lagi pakai putih abu-abu. Statusnya sudah menjadi mahasiswa. Kami kuliah di kampus yang sama, namun berbeda jurusan. Ia mengambil jurusan bahasa Inggris, bahasa yang ia geluti sejak SMA.
Perjalanan waktu mengantar kami semakin akrab. Satu hal jembatannya karena aktif di organisasi ekstra yang sama dan menyenangi ide-ide. Menggeluti gagasan universal kemanusiaan. Suka pada buku. Berkeluyuran mencari majelis-majelis ilmu. Mulai dari kanan hingga kiri. Kami sering terlibat diskusi, membicarakan tokoh-tokoh yang mengubah dunia.
Di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) walaupun saya lebih senior, namun beberapa pendidikan formalnya saya selesaikan bersama. Latihan Kader Dua hingga Senior Course, kami di forum yang sama.
Setelah masa di HMI selesai, tidak seperti kawan-kawannya yang hijrah ke ibu kota Jakarta. Ia memutuskan pulang kampung di Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. Memilih mengabdi di Desa Raoda.
Di desa itu, ia bersama masyarakat membangun pertanian dan mengajar anak-anak desa bahasa Inggris. Tiga tahun ia mendampingi desa. Setiap pekan ia menelusuri jalan berbatuan yang menanjak untuk sampai ke desa itu. Dan hebatnya lagi semua dikerjakan dengan sukarela. Apa yang dilakukannya itu, seperti mempertontonkan sikap altruis sejati.
Bekal pengalaman itu, desa tempat ia tumbuh memanggil untuk pulang. Masyarakat di desanya memintanya untuk menjadi kepala desa. Lalu ia menjadi Kepala Desa Woitombo, Kecamatan Lambai, Kolaka Utara. Di sini perjuangan sesungguhnya dimulai.
***
Perlahan langkah demi langkah disusun. Situasi desa mulai diubah. Pemuda yang mabuk-mabukan mulai terarah. Bahkan beberapa dari mereka dikuliahkan, dibawa ke Kediri di Jawa sana belajar bahasa Inggris. Selebihnya dicarikan pekerjaan. Pemimpin sebagai pelayan rakyat tak sekadar slogan, ia membuktikan dengan kebijakan serta perilaku.
Desa yang luasnya satu garis pendek saja itu, tentu tetap punya tantangan. Namun, visinya membangun desa eduwisata mulai terang walaupun belum benderang.
Komitmen eduwisata, terlihat setelah ia selesai membangun perpustakaan desa terbesar di Indonesia Timur, begitu pengakuan Perpustakaan Nasional. Di tambah dengan program tahunannya yang meriah: Kemah Rakyat. Sebuah pilihan program dari segi penamaan sudah menandakan keberpihakan. Konon, nama Kemah Rakyat itu, lahir dari sikap negasi Kemah Elit yang dilakukan oleh Pemkab Kolaka Utara saat itu.
Kemah Rakyat 15 sampai 17 Agustus 2025 baru saja selesai. Kedua kalinya saya diundang di acara ini. Satu hal yang selalu saya temui di setiap hadir di Kemah Rakyat ini, semua elemen terlibat. Bekerja dan merayakan bersama. Kemah Rakyat sesarinya program yang mendekatkan literasi ke masyarakat.
Barangkali masyarakat Desa Waitombo tak pernah membayangkan desanya banyak dikunjungi oleh orang. Riang gembira merayakan nilai. Mengeja semesta. Menjaga lingkungan. Di balik gunung nan indah di desanya, pohon-pohon sudah tumbang oleh tambang.
Informasi yang saya dengar, bahkan kantor desa sudah dilobi oleh pihak tambang untuk dipindahkan karena di bawahnya nikel melimpah ruah.
Kemah Rakyat sebuah jalan kecil literasi yang konsisten dijalani oleh Pemerintah Desa Woitombo dengan mengajak berkolaborasi beberapa komunitas. Mereka saling rangkul dan saling peluk, merapatkan barisan untuk menjaga nyala literasi. Tak hanya itu, kegiatan ini tindakan menjaga kewarasan. Bentuk perlawanan.
Di Kemah Rakyat, literasi dimaknai secara luas tak hanya tentang baca tulis. Tapi, memberi ruang kepada seni dan budaya serta bisnis memiliki tempat. Menjadi bagian dari gerakan literasi.
Saya sangat berterima kasih dilibatkan dalam kegiatan ini. Melihat semuanya bekerja dalam satu napas. Satu nada dan irama dengan dirigen andal Kepala Desa Woitombo: Muhammad Akbar. Anak remaja pakai putih abu-abu yang saya temui puluhan tahun lalu.

Founder Rumah Baca Akkitanawa dan Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Luwu.
Leave a Reply