Kemerdekaan Masih Jauh: Cerita Buruh 16 Hari di Depan Pabrik Huadi

Pagi itu, udara di Kawasan Industri Bantaeng terasa lebih berat dari biasanya. Bau logam yang menyengat bercampur dengan debu halus yang beterbangan dari truk-truk pengangkut ore.

Di sepanjang jalan poros Bantaeng–Bulukumba, suara mobil tronton menggeram, memecah pagi yang seharusnya tenang. Rudi, buruh PT Huadi Nickel Alloy yang hampir empat tahun bekerja di pabrik itu, menatap ke arah gerbang perusahaan. Di balik pagar tembok setinggi tiga meter, tungku-tungku smelter masih menyala, memuntahkan asap, seakan tak peduli pada ratusan nasib yang kini menggantung di udara.

Tanggal 01 Juli 2025, namanya resmi masuk dalam daftar 350 buruh yang “dirumahkan”—istilah yang diucapkan manajemen dengan ringan, tapi tak pernah ada dalam kamus Undang-Undang Ketenagakerjaan. “Dua bulan lagi saya genap empat tahun di sini,” katanya sambil menggenggam slip gaji yang warnanya sudah memudar. “Kami bertahan sejauh ini karena belum melihat keadilan terkait hak kami sebagai pekerja.”

Hari-hari setelah pengumuman itu berjalan lambat dan penuh kegelisahan. Grup WhatsApp buruh menjadi riuh, bukan dengan candaan seperti biasa, melainkan potongan kabar tentang ekspor feronikel yang dipercepat. Video dari rekan-rekan di dalam pabrik menunjukkan karung-karung besar feronikel, masih panas, langsung dikemas dan diangkut ke tronton.

“Besi masih panas saja langsung di-packing,” tulis seorang buruh di grup, disambut emotikon marah dari puluhan anggota.

Sore menjelang malam, kabar datang lagi. Kapal MV Saturn sudah bersandar di perairan sekitar Jetty Huadi. Jadwalnya, 12 ribu metrik ton feronikel akan diangkut ke Tianjin, China. Perintah lembur keluar, operator forklift dipaksa bekerja dua kali lipat dari biasanya.

Di titik ini, kesabaran mulai menipis. Risal, salah satu buruh yang juga dirumahkan, mengusulkan agar aksi dipercepat. “Jangan tunggu sampai Senin. Minggu kita mulai. Kita hentikan ekspor ini,” tegasnya dalam rapat darurat di sekretariat SBIPE.

Tanggal 13 Juli 2025 malam, keputusan bulat diambil. Aksi di gerbang utama akan dimulai esok pagi, sebelum tronton-tronton itu sempat bergerak. Tidak ada lagi yang bisa dinegosiasikan. Bagi para buruh, inilah garis batas antara diam dan melawan. 

Hari Pertama di Gerbang Pabrik (14 Juli 2025)

Suasana di poros Bantaeng–Bulukumba biasanya riuh oleh aktivitas truk pengangkut bahan baku yang melintas ke jetty. Tapi pagi itu, udara dingin bercampur dengan ketegangan. Embun tipis belum terangkat sepenuhnya ketika Enal, buruh yang namanya juga ada dalam daftar dirumahkan, tiba paling awal di depan gerbang utama PT Huadi Nickel Alloy. Jam tangannya menunjukkan pukul 06.30 WITA.

Tidak lama, enam buruh lain bergabung. Mereka tak banyak bicara, hanya saling mengangguk. Dari kejauhan, deretan tronton mulai terlihat, lampu sorotnya masih menyala, bergerak perlahan ke arah gerbang. Masing-masing tronton membawa karung-karung besar berisi feronikel dari dalam pabrik menuju jetty.

Di antara mereka, Rudi berdiri sambil menggenggam spanduk yang sudah disiapkan malam sebelumnya. Panjangnya lima meter, bertuliskan tegas: “AKSI KAWAL HAK BURUH HUADI–HENTIKAN EKSPOR SEBELUM HAK BURUH DIPENUHI.

”Ketika tronton pertama mendekat, Enal melangkah maju. Tangannya terangkat, memberi isyarat berhenti. Sopir menurunkan kaca, wajahnya bingung sekaligus waspada. “Maaf Daeng. Tidak bisa lewat. Tidak ada pengangkutan nikel. Akses ditutup,” kata Enal. Spanduk dibentang melintang di pintu masuk, menutup setengah jalur utama.

Tegangan mulai terasa. Di sisi kiri gerbang, enam orang sekurity berdiri berbaris, beberapa memegang handy talkie, matanya terus mengawasi. Di sisi lain, para buruh mulai berdatangan. Motor diparkir di sisi kanan jalan.

Menjelang pukul 08.00, suara mobil tronton yang terhenti membuat suasana semakin tegang. Dari dalam pabrik, bunyi logam beradu, bercampur teriakan leader dan TKA (Tenaga Kerja Asing) yang memerintahkan percepatan muatan. Buruh di luar saling bertukar kabar dari WhatsApp “ekspor ditunda” Informasi itu menyebar cepat, memantik semangat.“Berhasil kita tahan,” kata Risal sambil menepuk bahu Rudi. Tapi mereka tahu, ini baru permulaan.

Matahari mulai meninggi. Jalan utama perusahaan yang biasanya sibuk, kini terasa seperti titik pusat penantian. Beberapa warga sekitar mampir, sebagian membawa air mineral dan makanan ringan untuk para demostran. Di sela obrolan, terdengar kalimat yang mulai menjadi mantra bagi semua: “Ini bukan cuma soal PHK. Ini soal harga dirita.

”Dukungan berdatangan, baik melalui pesan singkat, video pendek dikirim via WhatsApp. Aksi solidaritas juga dilaksanakan di kantor Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Selatan. Di Jakarta aksi dilaksanakan di kantor kementerian Ketenagakerjaan RI. Di depan Huadi, massa terbagi, ada yang fokus di jetty untuk memastikan tidak ada aktivitas persiapan ekspor. Hingga menjelang magrib, buruh masih siaga, tidak ingin kecolongan.

Dan hari itu, 14 Juli 2025, pintu gerbang Huadi resmi menjadi medan baru, bukan lagi hanya pintu masuk pabrik, tetapi garis batas antara mereka yang menyerah dan mereka yang memilih bertahan.

***

Senin malam, truk-truk bahan baku yang biasanya melewati jalan utama huadi menuju pelabuhan benar-benar terhenti. Yang ada hanya denting sendok di gelas kopi, gesekan tenda yang tertiup angin, dan percakapan pelan para buruh yang diiringi desir angin laut dari arah jetty.

Di tenda utama, hujan membuat pantulan cahaya dari aspal. Cukup untuk membuat wajah-wajah yang duduk melingkar terlihat jelas. Rudi, Risal, Enal, dan beberapa buruh lain duduk bersila di atas terpal. Di tengah lingkaran, termos besar berisi kopi panas bergantian mengisi gelas.

Di dalam pabrik, feronikel tetap dikemas oleh buruh yang masih masuk bekerja dalam pengawasan ketat HRD. Sementara buruh yang berada di gerbang, juga tidak lepas dari pengamatan pihak manajemen perusahaan.

“Saya di-chat sama HRD, bertanya apakah saya bagian dari serikat? Saya langsung jawab iye saya bagian dari serikat, dan tidak nabalasmi,” kata Mansur, buruh yang dirumahkan dari PT Yatai Nickel Alloy bagian dari Huadi Group di Bantaeng.

“Mereka pasti mau cari cara supaya kita bubar,” kata Risal sambil menatap ke arah jalan masuk pabrik yang lebih terang.

“Biar saja. Kalau mereka punya nyali, suruh saja datang dan bicara di sini,” sahut Rudi, suaranya tegas tapi pelan.

Angin malam membawa aroma asin bercampur debu dari area sekitar pabrik menyertai percakapan para buruh di tenda aksi. Sesekali, suara ombak terdengar samar-samar, mengingatkan bahwa jetty dan laut hanya berjarak 700 meter dari mereka. Beberapa buruh bergantian berjaga di titik portal pembatas, memastikan tidak ada kendaraan perusahaan yang mencoba keluar masuk tanpa sepengetahuan mereka.

Menjelang tengah malam, kabar berembus lewat telepon genggam seorang buruh, ada rombongan orang yang akan didatangkan. Pesan WhatsApp berisi rencana “mengusir” massa aksi beredar di beberapa grup. Suasananya langsung berubah.

“Kalau betul mereka datang, jangan terpancing. Tarik massa ke belakang,” kata Enal yang malam itu mendapat giliran memimpin jaga.

Beberapa buruh memindahkan motor mereka ke sisi jalan yang lebih aman. Yang lain memilih tetap di dalam tenda, duduk rapat-rapat sambil memperhatikan gerbang. Wajah-wajah itu bukan wajah yang tak kenal takut, mereka tahu risiko benturan fisik, tapi malam itu keberanian mengalahkan kecemasan.

Di pojok tenda, seorang buruh bersama anaknya meminta difoto di depan gerbang berlatar bendera SBIPE. “Untuk apa foto ini?” tanya Rudi.

“Biar ada cerita untuk anakku nanti. Supaya dia tahu bapaknya pernah bertahan di sini,” jawabnya tanpa mengangkat kepala.

Menjelang pukul dua dini hari, tidak ada rombongan yang datang. Jalan poros huadi kembali sepi. Hanya suara serangga malam dan dengkuran pelan dari beberapa buruh yang tertidur di atas terpal yang di gelar di tanah kosong samping pabrik.

Hari kedua

15 Juli 2025, pukul tujuh pagi udara masih dingin, gerimis masih turun. Aksi hari kedua dimulai, mesin genset dibunyikan dan volume sound dinaikkan, satu persatu buruh kembali membacakan daftar tuntutan dalam orasi. “Bayar upah lembur, berikan upah penuh karyawan yang dirumahkan, hidup buruh, hidup buruh” Malik mengulang kata-kata itu tidak kurang dari tiga kali.

Bagi Malik, keikutsertaannya dalam aksi ini menjadi pembelajaran penting. Selama ini, ada banyak hal yang ingin ia sampaikan dan proteskan langsung di depan HRD, namun hal itu tak pernah dilakukan. Tekanan besar dan ketakutan kehilangan pekerjaan selalu menjadi penghalang. Kini, setelah kurang lebih tiga bulan aktif bersama serikat dan terlibat dalam berbagai diskusi, Malik mulai memahami aturan-aturan yang dilanggar perusahaan serta hak-hak yang seharusnya ia terima selama bekerja.

Di belakang pos keamanan, rapat evaluasi berlangsung di lahan parkir seluas sekitar 900 meter persegi, beralaskan lantai cor semen yang dingin. Sebanyak tiga puluh orang penanggung jawab lapangan hadir. Di antara mereka, lima orang perempuan ikut duduk dalam lingkaran rapat. Mereka bukan buruh, mereka adalah istri-istri buruh yang menitipkan harapan pada hari itu.

“Saya hadir, Pak. Samaja dengan buruh. Selama ini saya selalu dukung suami agar bekerja dengan baik di perusahaan. Iye… masa begini ji balasannya?” Ucap salah satu dari mereka, suaranya bergetar menahan kecewa.

Aksi pendudukan awalnya direncanakan hanya berlangsung tiga hari, berakhir pada 16 Juli. Tiga hari dianggap cukup untuk menunggu itikad baik, cukup untuk memberi kesempatan pihak Huadi menemui para buruh dan duduk berdialog, mencari jalan keluar atas tuntutan yang sudah lama disuarakan.

Siang menjelang sore, udara di poros Huadi terasa semakin panas, meski cahaya matahari mulai condong ke barat. Di dalam pabrik, HRD dan jajaran manajemen hanya menginginkan demonstrasi segera berakhir dan aktivitas ekspor kembali berjalan. Belum ada tanda-tanda pertemuan, apalagi dialog. Justru kabar beredar dari mulut ke mulut, PT. Huadi dikabarkan mengeluarkan memo untuk merumahkan seluruh karyawan.

Rudi membaca memo dari layar Hp sambil mengernyit. “Ini apa maksudnya? Seolah-olah kita yang salah?” Memo itu, dengan huruf tebal dan stempel perusahaan, mengumumkan bahwa seluruh buruh “dirumahkan” sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kata “dirumahkan” ini dipakai untuk memukul rata semua pekerja, yang demo maupun yang tidak.

“Ini jelas mau bikin kita bentrok sama kawan sendiri,” kata Enal. Risal menambahkan, “Biar seolah-olah kita penyebab semua orang kehilangan kerja. Padahal masalahnya dari mereka.

”Di tenda aksi, diskusi memanas. Sebagian buruh merasa memo itu adalah manuver kotor, sebagian lagi menganggap ini ujian untuk melihat seberapa kuat mereka bertahan. Namun satu hal pasti yakni tidak ada yang mau pulang. Untuk membakar semangat, Rudi meneriakkan kata-kata pembakar semangat “hidup buruh…hidup buruh” teriakan yang sama ratusan buruh lain dari dalam tenda maupun yang berkumpul di tanah kosong dengan kepalang tangan dan mata yang menyala. “Hidup buruh, hidup buruh!”

”Di tengah isu dirumahkan, kabar lain datang. Bupati memanggil perwakilan buruh ke rumah jabatan untuk bertemu Forkopimda dan Direktur Utama PT. Huadi. Di mata buruh, ini momen penting. Untuk pertama kalinya, direksi akan duduk satu meja mendengar langsung tuntutan mereka.

Menjelang Magrib, beberapa buruh mengganti baju dengan seragam kerja yang masih mereka simpan. Bukan untuk bekerja, tapi untuk menunjukkan identitas dan solidaritas. Empat orang perwakilan SBIPE, termasuk Junaid Judda ketua SBPIE berangkat menuju rumah jabatan Bupati.

Rumah jabatan itu berdiri megah dengan halaman luas lapangan Lompobattang. Lampu-lampu yang melilit pohon menyala. Di dalam ruangan lampu memantulkan cahaya ke meja makan bundar yang bisa berputar, lengkap dengan kursi empuk. Tapi kemewahan itu tidak mengubah rasa getir di hati buruh yang duduk di sana.

Bupati memulai pertemuan dengan suara tenang, “Kami Forkopimda bersikap netral. Tidak berpihak ke buruh, tidak juga ke perusahaan. Kami ingin pertemuan ini menghasilkan kesimpulan bersama.”

Edi, Kepala Departemen Advokasi SBIPE, tak membuang waktu ketika gilirannya tiba. Dengan nada pelan namun tegas, ia mengurai semua persoalan, mulai dari pelanggaran upah, alat pelindung kerja yang tak sesuai standar, hingga skema “dirumahkan” yang tanpa dasar hukum. Saat kata “pelanggaran ketenagakerjaan” terucap, matanya beralih, menatap tajam langsung ke arah Direktur Utama Huadi, Jos Stefan Hideky.

Abi, yang duduk berhadapan langsung dengan Jos Stefan Hideky, segera melanjutkan. Kehadirannya sebagai Sekjen SBIPE memberi bobot tersendiri pada forum itu. Ia membacakan bukti-bukti dan pasal-pasal yang dilanggar Huadi dari lembaran kertas yang sudah ditandai dengan stabilo tebal. Satu per satu ia tekankan, sambil menatap lurus ke arah manajemen, bahwa pelanggaran-pelanggaran inilah yang menghantam kehidupan buruh saat ini.

Namun, meski semua fakta sudah diungkap, suasana pertemuan seperti terperangkap di ruang hampa. Perusahaan mengangguk, Forkopimda mencatat, tapi solusi konkrit tidak keluar. Bupati menutup dengan kalimat yang membuat hati buruh terasa digantung, “Kita akan menunggu proses di Pengadilan Hubungan Industrial.” Tidak ada kejelasan seperti apa perlindungan hak buruh, baik dirumahkan maupun yang di PHK.

Malam itu, perwakilan buruh kembali ke tenda aksi. Memo perusahaan belum dicabut. Ratusan buruh yang menunggu di depan gerbang mendengar kabar bahwa Forkopimda tak memberi hasil pasti. Tapi yang membuat mereka tetap duduk di atas terpal bukanlah sekadar keras kepala, melainkan keyakinan, semakin mereka bertahan, semakin besar kemungkinan kebenaran akan memihak.

Aksi pun diputuskan untuk dilanjutkan. Surat pemberitahuan resmi dimasukkan ke Polres Bantaeng, tambahan tujuh hari pendudukan di depan gerbang pabrik.

Provokasi dari Ormas, Hingga Brimob

Malam keempat pendudukan terasa berbeda. Angin dari laut membawa kabar yang membuat sebagian buruh menggenggam erat ponselnya. Sebuah tangkapan layar chat beredar di grup WhatsApp. Isinya jelas permintaan bantuan personil dari organisasi yang dikenal dekat dengan dunia keamanan jalanan, lengkap dengan instruksi.

“Ketua MPC Bantaeng butuh bantuan sekitar 20 orang. Ada yang ganggu PT Huadi. Sudah hari ke-3 tidak ada aktivitas. Nanti semua difasilitasi, jangan pakai atribut. Malam ini jam 10.”

Membaca itu, suasana di tenda aksi mengeras. Beberapa buruh secara refleks ingin bertahan di barisan depan. Tapi Junaid mengangkat tangan, memberi isyarat untuk mundur beberapa meter dari gerbang. “Kita jangan terpancing. Kalau mereka datang, biar yang di depan cuma sedikit, yang lain mundur,” ucapnya.

Enal menambahkan, “Orang-orang yang datang itu mungkin tidak tahu akar masalah. Kita jangan sampai bentrok fisik. Yang kita bawa ini harga diri dan tuntutan, bukan otot.”

Malam itu, rombongan yang diduga dipanggil perusahaan tidak jadi maju. Tapi ketegangan meninggalkan bekas. Para buruh tidur dengan waspada, mata bergantian berjaga sambil memandangi cahaya lampu jalan yang memantul di badan truk-truk parkir.

Pagi tanggal 18 Juli, ancaman datang dari arah berbeda. Sekitar 50 buruh dari PT. Heng Sheng, perusahaan tetangga, mendatangi lokasi aksi. Dipimpin staf HRD mereka, rombongan itu meminta agar akses ke jetty dibuka penuh untuk perusahaan mereka.

Bagi buruh Huadi yang sudah duduk 5 hari di tenda, permintaan itu seperti tantangan terbuka.

“Kalau kita kasih buka, mereka bisa bawa feronikel Huadi lewat situ. Tidak ada jaminan,” kata Risal.

Suasana mulai memanas. Beberapa buruh mengusulkan untuk memindahkan motor ke lahan kosong agar tidak mudah diakses, tapi yang lain menolak.

“Kalau motor dimasukkan berarti kita takut,” sahut salah seorang di barisan depan.

Hasriani Tenri salah satu Anggota DPRD kabupaten Bantaeng Dapil Pa’jukukang. Sejak hari pertama aksi memberikan dukungan penuh dan terlibat langsung di lokasi aksi.

Ia maju sendirian ke depan. Memeluk dada dengan kedua tangannya. Jaraknya hanya 10 meter dari rombongan Heng Sheng. “Berhenti di sini dulu. Kita bicara baik-baik,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa sebelumnya ia dan ketua serikat sudah menemui manajemen PT. Heng Sheng untuk menawarkan solusi, “Jetty dibuka, asal ada jaminan barang yang diangkut bukan milik Huadi.” Tapi pertemuan itu tak menghasilkan keputusan.

“Kalau jawabannya bukan jaminan, lalu kalian datang ke sini dengan rombongan, apa maksudnya? Panji perang?” Tenri menatap tajam.

Sejenak hening. Salah satu perwakilan Heng Sheng akhirnya bicara, “Kami datang untuk persaudaraan, bukan perang.”

Hanya setelah mendengar itu Tenri memanggil perwakilan SBIPE lainnya. Percakapan berlanjut dengan nada lebih dingin. Heng Sheng tetap ingin akses, SBIPE tetap menolak tanpa jaminan tertulis. Pertemuan singkat itu berakhir tanpa bentrok, tapi ketegangan menyusup ke setiap langkah mereka kembali ke tenda.

Di depan tenda, bendera SBIPE terus berkibar, menantang terik matahari dan mata-mata yang mengintai dari dalam pabrik. Tapi semua tahu, gertakan belum berhenti. Dan yang datang selanjutnya bukan lagi ormas atau perusahaan tetangga. Di kejauhan, kabar mulai berhembus, Brimob bersiap masuk.

Brimob Datang

Senin 28 Juli. Pagi di depan gerbang Huadi dimulai dengan warna yang berbeda. Seragam kerja lengkap, baju warna oranye biru, sepatu safety, helm kuning membentuk lautan buruh di bawah matahari. Bukan untuk masuk kerja, tapi untuk menunjukkan solidaritas. Hari itu adalah jadwal perundingan ketiga dengan manajemen, dan mereka ingin manajemen tahu bahwa buruh datang dengan rapi, teratur, dan bersatu.

Tenda aksi tetap berdiri di sisi jalan, enam bendera SBIPE warna merah berkibar di pagar gerbang. Separuh jalan basah oleh siraman mobil tangki yang lewat tiga kali sehari, separuh lagi tetap kering tapi bersih karena setiap pagi buruh menyapunya sendiri. Ada yang duduk di bawah tenda, ada yang menggelar alas di bawah pohon rindang di tanah kosong di samping pabrik, membuat sudut teduh yang seperti rumah sementara.

Sekitar pukul 13.00, tujuh orang perwakilan SBIPE termasuk ketua dan kuasa hukum dari LBH Makassar melangkah masuk melewati pos keamanan menuju kantor Huadi. 150 meter jaraknya dari gerbang aksi, tapi di sepanjang jalan itu mereka melewati barisan aparat TNI-Polri yang berdiri di bawah pohon, sebagian duduk sambil mengamati.

Di ruang rapat, meja panjang dan pendingin ruangan tak mampu mengubah hawa panas pembicaraan. Tuntutan buruh tetap sama pembayaran kekurangan upah lembur, pembayaran UMP 2025 bulan Januari–Juni, dan kepastian upah bagi karyawan yang dirumahkan.

Namun lagi-lagi, hasilnya buntu. Manajemen tetap pada angka Rp1,5 juta per bulan untuk buruh yang dirumahkan, jumlah yang jelas tidak cukup untuk hidup, apalagi di tengah harga kebutuhan yang merangkak naik. SBIPE khawatir ini hanyalah PHK terselubung.

Saat perwakilan SBIPE keluar dari ruangan, sebelum melewati pagar, wajah mereka sudah cukup jadi jawaban. “Gagal lagi,” kata Junaid Judda datar. Serentak terdengar desahan kecewa, “Huuuu…” dari ratusan buruh yang menunggu di tenda.

Tapi belum sempat mereka merapikan kembali posisi, deru mesin terdengar dari arah jetty, satu mobil Isuzu D-Max diikuti bus, dua truk, dan satu mobil boks bergerak menuju gerbang. Brimob datang.

Sekitar 120 aparat gabungan dari TNI, Polres Bantaeng, dan pasukan berseragam hitam dengan baret biru dongker, mereka berjejer di dalam pagar. Di tengah barisan, terlihat manajemen Huadi, Karaeng Rita dengan kemeja putih bergaris kotak-kotak hitam selaras dengan rambut pendek putih sambil berbicara dengan aparat. Dari luar pagar, buruh hanya bisa melihat gestur dan potongan kalimat, tidak jelas apa yang direncanakan.

Andi Adriati Latippa atau akrab disapa oleh para buruh “Karaeng Rita” adalah tokoh yang dianggap berpengaruh di jajaran manajemen Huadi.

Bahkan dalam pertemuan Forkopimda, Jos Stenfan Hideky menyampaikan bahwa apa pun keputusan Karaeng Rita saya ada di belakangnya. Namun para buruh tidak yakin semua keputusan yang dibuat oleh manajemen diketahui oleh Jos. Terutama kebijakan soal upah lembur yang melanggar aturan dan tentu merugikan perusahaan.

Beberapa nama seperti Muhlis, Dilla, dan Rey adalah wajah-wajah jajaran HRD yang kerap muncul di meja perundingan. Nama-nama ini jarang berbicara ketika Karaeng Rita hadir. Bagi buruh, jajaran HRD Huadi tak ada bedanya, sama-sama menutup ruang demokratis bagi pekerja untuk berdialog.

Saat buruh menyampaikan protes, kata-kata seperti “banyak orang yang antri di luar sana” atau “pintu terbuka lebar jika tidak mau ikut aturan” kerap keluar kalimat yang terdengar logis, namun juga bekerja seperti mantra, menekan agar buruh patuh dan bungkam.

Dalam perundingan kali ini pun, Karaeng Rita masih sempat melontarkan kalimat, “Terima kasih kepada SBIPE telah menunjukkan kepada kami orang-orang yang mau bekerjasama. Orang yang telah lama bersama kami tapi masih ragu.”

Sebuah sindiran atau mungkin pesan terselubung yang disampaikan langsung kepada pekerja.

Apa yang selama ini hanya dibicarakan buruh di sela-sela jam kerja, kini terdengar di ruang resmi perundingan. Tekanan mental, hilangnya hak menyampaikan pendapat, dan sikap kritis yang dibungkam adalah potret nyata hubungan kerja di Smelter Bantaeng.

Setelah perundingan buntu, dan serikat kembali ke gerbang. Terlihat Kapolres Bantaeng AKBP Nur Prasetyatoro Wira Utomo keluar dari barisan, berjalan menuju pos keamanan. Karaeng Rita terlihat hendak mengikuti, tapi diarahkan mundur. Dua polisi intel menghampiri tenda aksi, memanggil perwakilan SBIPE untuk bertemu di ruang pertemuan pos keamanan.

Di ruangan itu, Kapolres duduk di kursi tengah, diapit Kasat Intel, Kapolsek Pa’jukukang, dan Kasat Sabhara. Pertemuan itu menjadi yang pertama antara Kapolres dengan perwakilan serikat. Meski tegas, ia memberi ruang untuk mendengar.

Edi berbicara dengan suara yang pelan tapi mengunci perhatian semua yang ada di ruangan, “Tidak ada yang menginginkan ini terjadi. Pendudukan ini bukan kegaduhan, ini tuntutan. Tapi selama 15 hari ini, saya tidak melihat siapa pun yang mau berpikir soal solusi. Tidak DPR, tidak Bupati, apalagi perusahaan.”

“Dengan kekuatan aparat, bapak bisa membubarkan kami hari ini. Tapi tiga hari atau seminggu kemudian, demo akan kembali. Karena akar masalahnya tidak dihentikan.”

“Pelanggaran yang dilakukan Huadi terjadi di depan mata pemerintah dan penegak hukum di Bantaeng. Itu yang harus dihentikan, bukan aksinya.”

“Pertemukan kami dengan Bupati. Pastikan ada perlindungan untuk hak buruh.”

Kapolres mengangguk, berjanji akan menghubungi Bupati. Pertemuan berakhir dengan jabat tangan, dan sore itu pasukan Brimob mundur pelan, satu per satu kendaraan meninggalkan gerbang. 

Ekspor Terus Dilaksanakan, Buruh Dibenturkan

29 Juli 2025. Pagi itu, kabar beredar pelan seperti asap dari tungku yang masih menyala di dalam pabrik, “Ekspor akan dipaksakan hari ini.”

Al Asry (bukan nama sebenarnya) baru keluar dari shift malam. Sepatu boot-nya masih berdebu, helm kuningnya menggantung di tangan. Ia berjalan pelan menuju portal samping pos keamanan dan berhenti di dekat tenda aksi. “Kalau ekspor dipaksakan dan teman-teman di luar dibubarkan paksa,” katanya lirih, “bantuan dari dalam siap bergabung.”

Matanya merah, bukan hanya karena kurang tidur. “Sudah banyak yang muak dengan pembodohan ini. Perintah manajemen jelas mau membenturkan kami yang masih di dalam dengan buruh yang demo. Tapi kami tahu siapa yang benar.

”Saat ditanya berapa banyak yang siap bergabung? “Setidaknya 50 persen dari kami di dalam. Saya pastikan.” Jawabnya tegas, sambil menatap jalan Huadi, di luar, buruh dengan tenda dan bendera, di dalam, buruh dengan tungku panas dan aturan yang kian menyesakkan.

Tak lama kemudian, Risal menghampiri tiga truk kontainer berwarna biru parkir hanya 25 meter dari tenda aksi. Sopirnya masih duduk santai, mesin mati. Tapi semua yang hadir tahu, itu hanya soal waktu. Kontainer itu akan bergerak menuju Jetty, membawa feronikel keluar Bantaeng, keluar dari Indonesia, sambil meninggalkan puluhan masalah ketenagakerjaan yang belum selesai.

Buruh di tenda mulai resah. Bukan karena takut, tapi karena mereka tahu perusahaan akan memaksakan kehendak dan tidak membuka pintu negosiasi.

Di tengah situasi itu, tenda aksi terasa seperti benteng kecil di medan yang lapang. Bendera SBIPE berkibar kencang, menandai bahwa perjuangan belum selesai. Ada tatapan-tatapan yang saling bertemu dari buruh di luar dan buruh di dalam seolah mengatakan: “Jika mereka memaksa, kita tidak sendiri.”

Di tengah situasi yang mendesak buruh mengancam akan beralih pendudukan di kantor Bupati. Undangan pertemuan datang, bupati siap hadir. Pertemuan akan digelar di kantor bupati Bantaeng.

16 Hari Didesak, Kesepakatan Lahir di Kantor Bupati

Meja rapat berbentuk lonjong memanjang, Bupati Bantaeng duduk di depan berdampingan dengan Kapolres Bantaeng. Pengurus serikat dan buruh di barisan kursi bagian kiri bertatapan langsung dengan Kepala dinas ketenagakerjaan, Kuasa Hukum Huadi, Kasat reskrim, Kasat Intel, dan Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Selatan Wilayah IV.

Kepala Disnaker memimpin perundingan, bupati dipersilahkan membuka perundingan. Setelah itu dipersilahkan ke perwakilan serikat.

Abi membuka map rapi berisi catatan dan bukti pelanggaran. Dengan suara tenang namun tegas, ia membacakan tuntutan buruh, upah lembur yang tak dibayar, hak-hak dasar yang diabaikan, hingga praktik “dirumahkan” tanpa dasar hukum. Kata-katanya menekan ruang pertemuan, membuat suasana kian serius.

Hasbi dari LBH Makassar menambahkan, menjelaskan pasal-pasal yang dilanggar dan menegaskan bahwa bupati punya kewenangan memastikan hukum ditegakkan. Kuasa hukum PT. Huadi mencoba menangkis dengan bahasa formal dan alasan efisiensi. Namun, fakta-fakta yang disodorkan lebih kuat daripada alasan yang berputar-putar.

Perundingan berlangsung alot, tapi akhirnya ditutup dengan ditandatanganinya Perjanjian Bersama antara SBIPE dan PT. Huadi, disaksikan langsung oleh Bupati Bantaeng, Kapolres, Dinas Ketenagakerjaan, dan Pengawas Ketenagakerjaan.

Isi perjanjian yang lahir dari ruang perundingan itu akhirnya dirangkum dalam beberapa keputusan penting. Persoalan upah lembur, yang sejak awal menjadi bara utama aksi, diputuskan akan dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial hingga memperoleh putusan tetap. Hasilnya kelak tidak hanya berlaku untuk buruh saat ini, tetapi juga menjadi rujukan bagi kasus serupa di masa depan.

Selain itu, perusahaan menyatakan kesediaannya untuk membayar selisih kekurangan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan sejak Januari hingga Juli 2025. Pembayaran itu dijadwalkan cair pada Agustus, sebuah pengakuan terlambat namun tetap berarti bagi kantong buruh.

Sebagai bagian dari kesepakatan, SBIPE pun menyetujui untuk mengakhiri aksi pendudukan di gerbang pabrik, sementara perusahaan kembali menjalankan produksinya secara normal. Namun, bagi buruh yang tergabung dalam serikat, pilihan yang disodorkan tetap terasa pahit, mereka bisa menerima opsi dirumahkan selama tiga bulan dengan upah Rp1,5 juta per bulan ditambah premi BPJS, atau memilih pemutusan hubungan kerja, dengan hak normatif dibayarkan maksimal 14 hari setelah nama mereka diserahkan.

Satu-satunya penghibur dalam perjanjian itu adalah janji perusahaan untuk mempekerjakan kembali mereka yang dirumahkan jika kondisi finansial membaik. Janji yang terdengar sederhana, tetapi di mata buruh, ia masih samar, akan ditepati, atau kembali berubah jadi abu seperti banyak janji sebelumnya.

Enam belas hari pendudukan di depan gerbang pabrik akhirnya berbuah pada sebuah kesepakatan bersama. Sebuah capaian yang layak disebut kemenangan kecil. Namun, semua orang tahu, kesepakatan itu baru menjadi nyata jika benar-benar dijalankan. Perlu pengawalan, perlu komitmen, agar ia tidak berhenti sebagai kertas tanda tangan belaka.

Buruh belajar bahwa untuk mendapatkan keadilan yang sederhana saja, upah yang layak, dialog yang jujur, perlindungan dari PHK sewenang-wenang, mereka harus duduk di terik matahari, tidur di atas aspal, dan bertahan hingga enam belas hari. Padahal, jika sejak awal perusahaan dan pemerintah hadir dengan niat baik, persoalan itu bisa selesai dalam hitungan jam.

Hari ini, Indonesia merayakan 80 tahun kemerdekaan. Tetapi di gerbang smelter Bantaeng, buruh menyadari kemerdekaan masih jauh dari mereka. Mereka belum merdeka dari upah murah. Belum merdeka dari ancaman PHK massal. Belum merdeka dari investasi yang mengabaikan hak-hak pekerja.

Maka kemenangan kecil ini bukan akhir. Ia hanyalah tanda bahwa jalan masih panjang. Kemerdekaan buruh adalah bagian dari kemerdekaan bangsa. Dan selama buruh belum merdeka, kemerdekaan Indonesia pun belum sepenuhnya nyata.

Kredit foto: Qolbi Qodrianto_Balang Institute


Comments

3 responses to “Kemerdekaan Masih Jauh: Cerita Buruh 16 Hari di Depan Pabrik Huadi”

  1. Anshar/Ancha Avatar
    Anshar/Ancha

    Tetap Semangaaaattt..
    💪💪🫡

  2. Junaid Judda Avatar
    Junaid Judda

    Catatan penting dimasa yang Akan datang

  3. Adam Kurniawan Avatar
    Adam Kurniawan

    keren

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *