Jangan Lupa Merdeka

Umbul-umbul dan bendera merah putih, sudah berjejer di sepanjang jalan. Berbagai kemeriahan pun, juga ikut mewarnainya. Rakyat dan seantero sudut negeri ikut menyemarakkanya. Tampak ramai dan penuh kegembiraan. Tawa dan kesenangan, nampak begitu menghibur.

Demikianlah adanya, salah satu cara anak negeri merayakan momen kemerdekaan untuk negeri yang dicintainya.

Siapa yang paling berjasa menghadirkan kegembiraan dan kesenangan itu? Bukan mereka yang hidup sekarang, bukan generasi kini. Tetapi mereka yang sebagian besar telah wafat, mempertaruhkan jiwa, raga dan harta bahkan keluarganya.

Merekelah yang mengorbankan dirinya dengan linangan air mata dan tetesan darahnya. Merekalah orang-orang yang tak menuntut jasa. Tak menuntut gaji dan upah. Tak menuntut materi.

Mereka hanya punya satu cita-cita, generasi sesudahnya dapat menghirup udara kemerdekaan. Tanpa dentuman meriam, letupan senjata dan bara api geranat di sekitarnya. Dan itu, telah dirasakan oleh generasi kini.

Demikianlah, betapa besar dan berharganya jasa-jasa para pahlawan perjuangan dan kemerdekaan di masanya. Semoga jasa-jasa dan pengorbanannya, tak dilupa oleh generasi kini, di tengah hingar bingarnya kegembiraan dalam merayakan kemerdekaan.

Maka tak mengapa, saat tangan sudah ditegakkan oleh generasi sekarang, jemari sudah dikepalkan, tinjukanlah ke udara, lalu pekikkan kata merdeka. Semoga pekikan-pekikan kemerdekaan itu didengar oleh para pahlawan di alamnya. Biar mereka nampak bahagia dan tersenyum, melihat kenikmatan merdeka yang dirasakan oleh generasi sesudahnya. Sebagaimana yang dicita-citakan olehnya.

Lebih dari itu, para pendahulu, para pejuang kemerdekaan itu, mendambakan kemerdekaan yang hakiki. Bentuknya, tak ada lagi penjajahan dalam bentuk apapun. Kita bisa merdeka dan leluasa bergerak. Beraktivitas seperti biasa. Layaknya orang yang sudah tak dipenjara. Ya, benar saja. Kita sudah tak terkurung dalam “penjara” penjajahan fisik dari bangsa dan negara mana pun.

Namun, sungguh ironis, sekiranya di sekitaran kita, masih merajalela aroma kemiskinan, bau kebodohan, akrobat tipu menipu, sengatan kebohongan. Jika itu terjadi, sungguh ia bagaikan penjara dan jajahan dalam bentuk yang lebih moderen.

Sayangnya lagi, jika ia diperankan oleh “bangsa sendiri”. Tak datang dari negara dan bangsa luar. Rakyat dihisap dan saling menghisap. Diperas atau bahkan saling peras. Ditipu dan saling menipu. Dibohongi dan saling membohongi. Diadu domba dan saling mengadu domba.

Anehnya, yang benar dihianati. Yang hianat dibenarkan. Kebenaran, bukan lagi tentang siapa yang betul-betul benar. Tetapi tentang siapa yang paling tenar.  Yang dibela, bukan karena betul-betul pantas dibela, tetapi siapa yang licik membelah.

Yang berkuasa, memanfaatkan kekuasannya. Yang dikuasai, senang dimanfaatkan. Pemegang amanah, sesekali tampil dengan penuh amarah. Yang memberi amanah pun, sudah tak menyapa dengan ramah.

Penguasa memandang rakyatnya sebagai barang “jualan”. Rakyat memandang penguasanya sebagai sumber “kapital.” Ada yang begitu lumrah menghamburkan modal. Ada yang begitu murah untuk terjual.

Di ujung, masing-masing saling memeras. Awalnya penguasa menguras modalnya. Lalu memeras. Awalnya rakyat suka menguras, sekalipun akhirnya diperas. Penguasa pun senang dengan kedudukannya. Sementara rakyat, pun senang “diduduki”. Semoga hal yang demikian, tak menjadi realitas di negeri ini.

Namun, di sudut negeri, selalu ada nalar yang tetap normal. Buah-buah pikirannya masih berpijak pada rasionalitas. Sikap jiwa yang berdasar pada beningnya hati. Gerak langkah yang tegak di atas cita-cita para pendahulunya.

Ia memandang bahwa relasi yang dibangun atas dasar saling peras adalah bentuk pelanggengan kemiskinan. Dan itu adalah bentuk jajahan yang moderen.
Ia memandang bahwa relasi yang terbangun atas tipu menipu dan kebohongan, adalah pelanggengan kebodohan. Dan itu juga adalah bentuk jajahan versi kekinian.

Akhirnya, bentuk jajahan itu, tidak lagi dalam bentuk letupan senjata, dentuman meriam dan bunyi mesiu geranat. Tetapi bentuk jajahan terbaru adalah kemiskinan dan kebodohan.

Namun entahlah, apakah kemiskinan yang terjadi, murni karena memang miskin, ataukah karena pemiskinan. Apakah kebodohan yang menjangkit, murni karena memang kebodohan, ataukah pembodohan.

Alhasil, bahwa kegembiraan, kemeriahan dan ketulusan dalam mengibarkan umbul dan bendera sebagai penanda kemerdekaan, mesti dibarengi dengan berkibarnya kebebasan anak negeri dari gelapnya nasib “sial” yang dialaminya.

Anak negeri lantang bernyanyi dan bersorak ria dengan segala jenis lagu kebangsaan, benar-benar berangkat dari nyanyian yang bermakna, “tarian” yang asli. Bukan tarian di atas linangan kesedihan dan penderitaan hidup kesehariannnya.

Hadirnya negeri yang merdeka, mesti menjelma untuk menyejahterakan penghuninya. Bukan menghisapnya. Anak negeri, mesti saling percaya dengan sesama anak negeri bahwa ada nasib yang perlu diperjuangkan. Ada idaman hidup yang perlu diperjuangkan. Ada cita-cita hidup yang butuh digerakkan. Dan itu butuh kebersamaan.

Penguasa negeri mesti membuka mata batinnya. Bahwa kedudukannya adalah amanah tanpa hianat. Kursinya adalah kejujuran tanpa kebohongan. Singgasananya adalah kewenangan tanpa penyelewengan.

Anak negeri mesti memberikan kepercayaan kepada figur yang menyayanginya. Yang tak memanfaatkannya. Yang tak memandangnya sebagai barang “jualan”.

Penguasa negeri mesti memberikan layanan tanpa pamrih. Layanan tanpa intrik. Layanan penuh kasih. Menunaikan kepercayaan dengan penuh dedikasi.

Dengan demikian, empat tujuan utama hadirnya sebuah negeri, sebagaimana yang sering dibacakan ketika membaca pembukaan UUD 1945 sedari usia SD hingga upacara-upacara resmi, dapat terwujud. Yaitu, Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Waima negeri kita dalam kondisi apa pun, tetaplah merdeka. Biar tetap menjadi kalimat penyemangat, agar negeri selalu punya harapan. Punya bara api asa yang terus menyala, bersuara tentang kemerdekaan yang hakiki.

Sebab, jika penghuni sebuah negeri sudah apatis dengan negerinya sendiri, hendak kemana negeri ini akan berharap. Mungkinkan ia datang dari penghuni negeri lain? Itu adalah “hil” yang “mustahal”. Itu di luar “nurul”.

Apa pun alasannya, jangan lelah mencintai negeri ini. Jangan lelah untuk “Merdeka”.
Wallahu A’lam.

Kredit gambar: CNN Indonesia


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *