Minimnya Pemahaman Filsafat sebagai Akar Arogansi Ilmiah

Banyak orang membayangkan filsafat sebagai bidang yang abstrak, jauh dari “realitas praktis” sains dan teknologi. Padahal, filsafat justru merupakan kerangka reflektif yang memungkinkan ilmuwan memahami batas, asumsi, dan implikasi dari pengetahuan yang mereka hasilkan.

Minimnya pemahaman filsafat ibarat seseorang yang mengemudikan kendaraan berkecepatan tinggi, tanpa mengetahui rambu lalu lintas atau peta jalan—kemajuan mungkin tercapai, tetapi risiko kesalahan fatal sangat besar.

Secara epistemologis, filsafat membantu kita membedakan antara pengetahuan (knowledge) dan keyakinan (belief). Tanpa filsafat, seorang ilmuwan bisa terjebak dalam keyakinan bahwa metodologi yang ia kuasai adalah satu-satunya sarana untuk mencapai kebenaran.

Pandangan ini biasanya lahir dari positivisme sempit, yang hanya mengakui validitas pengetahuan empiris dan mengabaikan dimensi-dimensi nonempiris.

Akibatnya, ilmuwan yang tidak memahami filsafat mudah jatuh pada klaim-klaim absolutis yang secara ironis bertentangan dengan prinsip ilmiah itu sendiri, yakni falsifiabilitas.

Minimnya pemahaman filsafat juga memengaruhi cara berpikir lintas disiplin. Filsafat mengajarkan bahwa setiap ilmu berdiri di atas seperangkat asumsi dasar—ontologis, epistemologis, dan metodologis—yang tidak selalu identik antara satu disiplin dengan disiplin lain. Misalnya, asumsi yang digunakan fisika kuantum berbeda secara fundamental dengan yang digunakan sosiologi atau antropologi.

Tanpa kesadaran ini, ilmuwan cenderung melakukan imperialisme epistemik, memaksakan metodologi satu bidang untuk menjelaskan semua fenomena. Fenomena ini terlihat, misalnya, ketika model statistik ekonomi dipaksakan untuk memprediksi perilaku manusia seolah-olah manusia hanyalah “variabel” dalam persamaan matematis yang deterministik.

Sejarah filsafat ilmu menunjukkan bahwa kesadaran epistemik adalah vaksin terhadap arogansi ilmiah. Karl Popper mengingatkan bahwa teori ilmiah tidak pernah bisa dibuktikan benar secara absolut; ia hanya dapat diuji dan, bila keliru, harus digugurkan.

Thomas Kuhn menambahkan bahwa perkembangan ilmu bukanlah akumulasi linier pengetahuan, melainkan serangkaian pergeseran paradigma yang dipicu oleh krisis internal.

Sementara itu, Paul Feyerabend bahkan mengingatkan bahwa metodologi ilmiah yang terlalu kaku dapat menghambat kemajuan, dan bahwa pluralisme metodologis adalah kekuatan, bukan kelemahan.

Sayangnya, pandangan-pandangan filosofis ini jarang dipelajari oleh praktisi sains di luar lingkaran akademik filsafat. Banyak insinyur, dokter, atau ahli teknologi yang memiliki kemampuan teknis luar biasa, tetapi tidak pernah diajak merenungkan asumsi dasar dari praktik mereka.

Akibatnya, ketika mereka mencapai keberhasilan besar, rasa percaya diri itu mudah berubah menjadi arogansi epistemik—sebuah keyakinan bahwa keberhasilan mereka membuktikan kebenaran mutlak dari metode yang mereka gunakan.

Dalam konteks sosial, minimnya pemahaman filsafat juga membuat ilmuwan mudah terjebak dalam kolaborasi yang merugikan kemanusiaan. Sejarah mengingatkan kita bahwa para ilmuwan yang membangun teknologi nuklir pada masa Perang Dunia II tidak semuanya mempertimbangkan implikasi etis dari temuan mereka. Tanpa kerangka filosofis yang memadai, sains bisa menjadi alat yang membutakan hati nurani.

Dengan kata lain, filsafat bukanlah ornamen intelektual, melainkan kebutuhan mendasar agar ilmu pengetahuan tidak terjerumus pada kesombongan yang justru merusak esensi pencariannya sendiri. Filsafat menanamkan kesadaran bahwa setiap pengetahuan adalah terbatas, kontekstual, dan selalu terbuka pada koreksi. Kesadaran inilah yang menjadi benteng paling efektif melawan arogansi ilmiah.

Kerendahan hati ilmiah (intellectual humility) adalah sikap menyadari keterbatasan pengetahuan sendiri, bersedia menerima koreksi, dan tetap terbuka pada perspektif lain. Sikap ini bukanlah bentuk kelemahan, tetapi justru kekuatan epistemik yang memastikan ilmu pengetahuan terus berkembang tanpa terjebak pada dogmatisme. Filsafat, dengan karakter reflektif dan kritisnya, menawarkan landasan untuk membentuk sikap ini secara berkelanjutan.

Kerendahan hati ilmiah perlu dibangun sejak tahap awal pendidikan. Hal ini tidak berarti semua orang harus menjadi filsuf, melainkan membekali pelajar dengan kesadaran filosofis tentang apa itu pengetahuan, bagaimana ia diperoleh, dan apa batasannya.

Mahasiswa sains, misalnya, perlu mempelajari filsafat ilmu untuk memahami bahwa hukum-hukum yang mereka pelajari bukanlah kebenaran final, melainkan model yang selalu bisa direvisi. Mahasiswa kedokteran perlu memahami etika medis, yang bersumber pada refleksi filsafat moral, agar praktiknya tidak semata berorientasi pada efisiensi biologis, tetapi juga martabat manusia.

Filsafat membantu menciptakan ruang dialog antara berbagai disiplin. Dengan memahami asumsi dasar dari masing-masing bidang, ilmuwan dapat bekerja sama tanpa saling merendahkan atau memaksakan metodologi mereka.

Dialog ini penting untuk menghindari “imperialisme epistemik” yang sering menjadi akar konflik antar-disiplin. Misalnya, dalam mengatasi perubahan iklim, para ahli iklim, ekonom, sosiolog, dan etikus perlu duduk bersama. Tanpa kerangka filosofis, kolaborasi ini mudah terjebak pada persaingan ego sektoral yang menghambat solusi.

Kerendahan hati ilmiah juga lahir dari kesadaran bahwa ilmu tidak eksis di ruang hampa. Penemuan ilmiah selalu membawa implikasi sosial, politik, dan ekologis. Filsafat moral mengajarkan bahwa tanggung jawab seorang ilmuwan tidak berhenti pada validitas data atau keberhasilan eksperimen, tetapi juga pada dampak pengetahuan itu terhadap kehidupan.

Inilah yang dimaksud Hans Jonas ketika ia menekankan the imperative of responsibility—bahwa semakin besar kekuatan teknologis, semakin besar pula kewajiban moral untuk mempertimbangkan konsekuensinya.

Filsafat mengajarkan nilai pengakuan “tidak tahu” (aporia) sebagai pintu masuk menuju pengetahuan baru. Socrates, yang terkenal dengan pernyataan “Aku tahu bahwa aku tidak tahu”, memberi teladan bahwa kesadaran akan ketidaktahuan adalah syarat awal kebijaksanaan.

Sikap ini menjaga ilmuwan dari jebakan klaim absolut yang menjadi inti arogansi ilmiah. Dengan menerima bahwa pengetahuan selalu bersifat sementara, ilmuwan dapat terus belajar tanpa terhambat oleh gengsi intelektual.

Kerendahan hati ilmiah juga bisa dibangun melalui penerimaan bahwa tidak ada satu metode pun yang mampu menjelaskan seluruh realitas. Filsafat sains kontemporer, seperti yang diusulkan Feyerabend, mendorong pluralisme metodologis—penggunaan berbagai pendekatan untuk memahami fenomena. Sikap ini membuka ruang bagi ilmu untuk belajar dari kebijaksanaan lokal, pengetahuan tradisional, dan bahkan wawasan spiritual, tanpa mengorbankan standar kritis yang menjadi ciri khasnya.

Filsafat memainkan peran sentral dalam membentuk kerendahan hati ilmiah. Pertama-tama, ia mengajarkan bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan proses yang terus bergerak. Setiap teori, sekuat apa pun bukti yang mendukungnya, selalu bersifat tentatif dan terbuka untuk direvisi.

Pemahaman ini membantu ilmuwan menghindari sikap berlebihan dalam memandang kebenaran yang ia yakini. Dengan kesadaran ini, pencapaian sains tidak dilihat sebagai puncak mutlak, melainkan sebagai langkah sementara dalam perjalanan panjang memahami realitas.

Kesadaran ini tidak muncul dengan sendirinya; ia dibentuk melalui pendidikan dan pembiasaan. Sayangnya, sistem pendidikan modern cenderung menekankan spesialisasi teknis tanpa cukup memberikan ruang bagi refleksi filosofis.

Padahal, pembekalan filsafat sejak tahap awal pendidikan dapat menanamkan rasa ingin tahu yang sehat sekaligus kesadaran batas pengetahuan. Mahasiswa teknik yang mempelajari filsafat ilmu akan memahami bahwa rumus-rumus yang mereka gunakan lahir dari konteks historis tertentu, dan mahasiswa kedokteran yang mempelajari etika akan lebih peka terhadap dilema moral di ruang praktik mereka.

Kerendahan hati ilmiah juga tumbuh dalam dialog lintas disiplin. Filsafat membekali kita dengan kemampuan untuk melihat bahwa setiap bidang ilmu memiliki asumsi dasar dan metode yang berbeda. Alih-alih memaksakan satu cara pandang untuk semua fenomena, dialog lintas disiplin mengajarkan saling menghormati perbedaan metodologis. Hal ini sangat penting di era sekarang, ketika tantangan besar seperti krisis iklim, pandemi, atau ketimpangan sosial tidak mungkin dipecahkan oleh satu bidang ilmu saja.

Dimensi lain dari kerendahan hati ilmiah adalah kesadaran etis. Pengetahuan selalu memiliki konsekuensi, dan tanggung jawab ilmuwan tidak berhenti pada validitas eksperimen atau keakuratan data. Ia juga mencakup dampak sosial, politik, dan ekologis dari temuannya.

Kesadaran ini, yang banyak dibahas dalam filsafat moral, menjadi rem terhadap godaan menggunakan ilmu untuk kepentingan sempit. Sejarah telah memberi banyak contoh betapa berbahayanya pengetahuan yang dilepaskan dari etika—mulai dari senjata nuklir hingga rekayasa genetika yang tidak terkendali.

Selain itu, filsafat mengajarkan pentingnya mengakui ketidaktahuan. Socrates pernah berkata bahwa kebijaksanaan sejati dimulai dari pengakuan bahwa kita tidak tahu. Sikap ini mematahkan arogansi dan membuka ruang bagi pembelajaran terus-menerus. Dalam dunia ilmiah, pengakuan “tidak tahu” bukanlah kelemahan, tetapi tanda kejujuran intelektual yang mendorong pencarian jawaban baru.

Pada akhirnya, membangun kerendahan hati ilmiah melalui filsafat berarti menempatkan ilmu pengetahuan pada posisi yang tepat: bukan sebagai penguasa realitas, tetapi sebagai mitra dalam pencarian kebenaran. Ilmu bekerja bersama filsafat, seni, agama, dan kebijaksanaan tradisional untuk membentuk gambaran yang lebih utuh tentang dunia.

Kesadaran akan keterbatasan inilah yang melindungi kita dari kesombongan intelektual, sekaligus memastikan bahwa kemajuan pengetahuan tetap berpihak pada kemanusiaan.

Kredit gambar: IStok


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *