Memaknai Sebuah Rumah: Metafora Rumah bagi Mahasiswa Perantau

Letih mengembara rumah ke rumah, kadang ku lupa akanmu amalia, siap sedia tiap ku bercerita, aku beruntung jadi anakmu bunda” (Hindia)

Penggalan lirik di atas diambil dalam sebuah lagu yang berjudul Rumah ke Rumah. Sebuah lagu yang tidak asing di telinga pecinta musik utamanya Gen Z. Lagu ini dipopulerkan oleh Daniel Baskara Putra atau dengan nama panggung Hindia.

Dalam penggalan lirik tersebut menceritakan seseorang yang telah mengembara atau berpindah dari rumah ke rumah atau dari satu tempat ke tempat lain. Dalam lirik lagu tersebut menyiratkan makna bahwa sejauh apapun seseorang pergi, seorang bunda (ibu) adalah sebuah rumah.

Rumah yang hadir tanpa sebuah penghakiman dan rasa was-was. Rumah sejati adalah kasih seorang bunda (ibu) sebuah pelukan dan tempat hangat di mana kita dapat diterima sepenuhnya, tanpa syarat, tanpa perlu berpura-pura. Ini adalah contoh kecil pandangan sebuah “rumah” dari sudut pandang seorang musisi.

Berbicara mengenai rumah, tentunya setiap orang memiliki perspektif yang berbeda-beda dengan kata ini. Mulai dari musisi, novelis, akademisi, hingga politisi memiliki pandangan yang bervariasi tentang rumah. Hal ini sangat bergantung pada pengalaman dan latar belakang pengetahuan yang pernah dialami atau didapatkan.

Apabila dimaknai secara leksikal atau dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), rumah adalah sebuah kata benda (nomina) yang bermakna bangunan tempat tinggal; bangunan pada umumnya (seperti gedung). Definisi ini memberikan gambaran bahwa rumah adalah sebuah struktur fisik yang melindungi penghuninya dari panas matahari, hujan, dan segala macam ancaman.

Dari definisi juga terlihat bahwa rumah dilihat sebagai struktur fisik yang dapat diraba dan disentuh. Hal ini mengingatkan saya dengan salah satu mata kuliah saya di Magister Linguistik, yaitu Linguistik Kognitif. Dalam mata kuliah ini dibahas konsep ruang dan salah satu cara berpikir manusia, yaitu melalui metafora konseptual. Dalam linguistik kognitif dikenal konsep ruang.

Sebelum saya menjelaskan lebih jauh mengenai konsep ruang dalam bidang ilmu ini, saya ingin menjelaskan secara singkat apa itu linguistik kognitif. Linguistik kognitif merupakan salah satu sub disiplin ilmu linguistik yang mempelajari hubungan bahasa dan pikiran manusia (Arimi, 2015). Menurut Evans & Green (2006) linguistik kognitif merupakan sebuah studi yang mempelajari bagaimana seseorang berpikir akan sesuatu yang diujarkan melalui bahasanya.

Pada intinya, ekspresi kebahasaan menjadi kajian utama dalam linguistik kognitif. Akan tetapi, sebuah ekspresi kebahasaan manusia tidak terbentuk begitu saja. Sebuah rahim makna tidak lahir dari kekosongan, terdapat latar belakang pengetahuan yang melatarinya.

Mari kita kembali pada konsep ruang. Dalam linguistik kognitif, ruang terbagi menjadi dua jenis, yaitu ruang metrikal dan ruang nonmetrikal (Arimi, 2015). Ruang metrikal adalah jenis ruang yang dapat diukur secara matematis atau saintis, seperti luas, panjang, lebar, rata-rata, dsbnya.

Selanjutnya, ruang nonmetrikal adalah ruang pemaknaan manusia yang bersifat abstrak seperti hubungan sosial, hubungan emosional terhadap suatu tempat, atau bayangan mental seseorang terhadap suatu tempat. Jadi, lahirnya sebuah ekspresi kebahasaan mengenai konsep rumah adalah ruang nonmetrikal. Ruang ini hadir dari penggabungan beberapa ranah pengetahuan atau pengalaman.

Asosiasi rumah ini merupakan sebuah konsep yang dikenal dengan metafora konseptual. Jika mendengar kata metafora tentulah tidak begitu asing di telinga kita semua. Mungkin kita akan mengatakan metafora adalah salah satu jenis majas. Pernyatan ini tidaklah salah karena kita diajarkan dalam pelajaran bahasa Indonesia apalagi saat menulis puisi kita dapat mempergunakan majas metafora.

Misalnya “hidup adalah perjalanan”, “cinta adalah api yang membara”, “waktu adalah uang”. Akan tetapi, bagi seorang George Lakoff, ia melihat metafora tidak hanya sebagai majas, tetapi sebagai cara berpikir manusia. George Lakoff sebagai seorang ahli linguistik kognitif, mendefinisikan metafora sebagai cara memahami dan mengalami satu hal dalam kerangka hal lain.

Lakoff menekankan bahwa metafora bukan sekadar ornamen bahasa, melainkan proses berpikir yang membentuk cara manusia memahami dunia. Sebuah metafora dibangun dalam tiga struktur, yaitu ranah sumber (x), ranah target (y), dan ranah gabungan (z). Ranah gabungan inilah yang merupakan hasil dari penggabungan dari ranah target dan ranah sumber atau pertautan dari dua asosiasi makna yang dikenal dengan istilah (conceptual blending integration).

Ketika kita berbicara tentang “rumah” beberapa metafora akan muncul seperti rumah sebagai “pelabuhan”, “tempat pulang”, atau “pelukan yang hangat”. Tanpa kita sadari kita sedang menggunakan metafora untuk menyalurkan makna yang melampaui bentuk fisiknya.

Dalam kerangka ini, metafora adalah bagian dari mekanisme kognitif manusia: kita memproses konsep abstrak melalui pengalaman yang lebih konkret. “Rumah” dapat menjadi simbol keamanan, identitas, atau masa lalu yang ingin kita jaga.

Bagi seorang perantau, misalnya, rumah bukan lagi sekadar lokasi di peta. Rumah adalah titik emosional yang hidup di ingatan terkadang hadir lewat aroma masakan ibu, suara adzan di masjid kampung, atau kursi kayu di teras yang menua bersama waktu.

Secara pribadi konsep rumah bagi saya tentunya berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Sebagai seorang perantau yang terhitung telah 7 tahun meninggalkan rumah, memiliki konsep tersendiri mengenai rumah.

Saya memutuskan hijrah dari Kabupaten Bantaeng ke Kota Makassar pada tahun 2018. Saya merantau selama empat tahun di Kota Makassar yang akrab disebut dengan Kota Daeng untuk menempuh studi sarjana di Universitas Hasanuddin. Jika diestimasi, jarak antara Kabupaten Bantaeng dengan Kota Makassar sekitar 120 km. Perjalanan dapat ditempuh dengan jalur darat kurang lebih 3 jam menggunakan mobil atau sepeda motor.

Tatkala rindu menerjang, saya dapat dengan mudah mengusahakan untuk pulang. Memperhatikan kalender, mencermati dengan teliti tanggal yang memberikan rambu cuti bersama, atau melihat beberapa tanggal merah. Saya berprinsip “di mana ada libur panjang, saya dapat pulang ke Bantaeng”. Sungguh senang rasanya, pulang kembali ke rumah (Bantaeng) menikmati masakan mama. Anak indekos akrab dengan istilah “perbaikan gizi”.

Saat berkuliah di Universitas Hasanuddin, saya masih memaknai rumah sebagai bangunan fisik. Tempat saya dapat tidur dengan nyenyak tanpa harus mengeluhkan sakit punggung karena kasur yang tipis. Rumah sebagai tempat saya dapat berhemat karena tidak harus mengeluarkan uang untuk membeli lauk.

Pastinya, semua kebutuhan pangan sudah terpenuhi di rumah. Rumah sebagai tempat saya dapat membawa baju sobek untuk dijahit oleh mama. Maklum mama saya senang menjahit, tetapi tidak membuka jasa jahit. Jadi, saya tidak pernah kerepotan untuk mencari tukang jahit. Sebenarnya, nyaman-nyaman saja dengan kondisi ini.

Akan tetapi, kata beberapa orang bijak bertutur “kita tidak boleh berlarut-larut dalam zona nyaman, karena bisa jadi zona nyaman dapat menjadi racun untuk diri kita sendiri”. Oleh karena itu, setelah menyelesaikan studi sarjana, saya memutuskan untuk melanjutkan studi di magister di tempat yang baru. Sebagai upaya keluar dari zona nyaman.

Saya memilih Kota Yogyakarta sebagai persinggahan saya selanjutnya. Saya memutuskan melanjutkan studi di Program Studi Magister Linguistik, Universitas Gadjah Mada, bermodalkan beasiswa LPDP. Perjalanan magister ini menjadi titik balik dalam kehidupan saya. Saya berhasil menemukan arti berbeda dari sebuah rumah.

Pulang ke rumah adalah hal yang begitu mahal bagi saya. Tidak hanya persoalan jarak yang begitu jauh atau harga tiket pesawat yang cukup mencekik, tetapi juga padatnya hiruk-pikuk dunia magister memaksa saya untuk harus mengubur sementara keinginan untuk pulang ke rumah.

Belum lagi diperhadapkan dengan beberapa culture shock, seperti iklim akademik yang sangat jauh berbeda antara kampus Sulawesi dan Jawa. Hal ini benar-benar menampar dan membuat saya ngos-ngosan. Cakapku dalam hati “gila banget mahasiswa sini”.

Belum lagi banyaknya tugas seperti membuat makalah, review jurnal internasional, hingga submit beberapa paper. Hal ini menjadi pukulan telak bagi saya, yang kadang sudah merasa puas dengan apa yang saya miliki, tetapi kenyataannya belum ada apa-apanya.

Menjadi asing di tanah rantau, tanpa keluarga, dan benar-benar tidak memiliki siapa-siapa menjadi fase menyedihkan pada saat menginjakkan diri di Kota Yogyakarta. Saya benar-benar dibombardir oleh penyakit rindu rumah (home sick).

Seiring berjalannya waktu, saya merenungi bahwa merantau telah menjadi keputusan paling tepat yang pernah saya ambil dalam hidupku. Seiring berjalannya waktu semua ketakutan itu terluluhlantahkan.

Banyak hal yang saya pelajari di tanah rantau. Bertemu dengan begitu banyak orang baik, melihat tempat baru, dan melihat keramahan warga Jogja adalah sisi lain dari merantau yang benar-benar saya syukuri.

Setelah menggenapkan diri selama dua tahun di Kota Pelajar (Yogyakarta) makna sebuah rumah benar-benar berubah bagi diri saya. Konsep rumah berubah 360 derajat dalam kepala saya. Dalam tulisan ini, saya memetakan empat konsep rumah setelah saya berdomisili di Yogyakarta.

Pertama, rumah adalah tempat yang tidak asing. Rumah dipahami sebagai ruang yang paling dikenali, baik secara fisik maupun emosional. Ketika kita memasuki rumah, segala sesuatu terasa akrab: aroma, suara, dan suasana yang membentuk ingatan sejak kecil.

Awalnya, saya begitu asing dengan lingkungan di Jogja. Belum lagi makanannya yang dominan manis. Saya merasa seperti berada di dunia yang sama sekali berbeda. Jalan-jalan kecilnya yang berliku, bahasa yang meski sama tetap terdengar lain di telinga, hingga ritme hidup yang lebih pelan dari yang biasa saya jalani.

Namun perlahan, rasa asing itu mulai terkelupas. Saya belajar menerima manisnya gudeg dan teh hangat/es teh yang selalu disajikan di angkringan. Saya mulai mengenali jalan-jalan yang dulu membuat saya tersesat, bahkan mampu mengingat di mana pohon rindang atau pemarkah tertentu. Orang-orang yang awalnya hanya wajah asing kini menjadi teman yang menanyakan kabar dan mengajak saya makan bersama.

Kedua, rumah adalah kenyamanan. Kenyamanan di sini bukan hanya soal fisik (kasur empuk dan makanan yang selalu hangat), tetapi juga rasa lega karena berada di ruang tanpa ancaman atau penilaian. Rumah adalah asosiasi kenyamanan.

Akan tetapi, jika kita dapat menemukan lingkungan yang suportif kita tidak akan pernah kehilangan rasa nyaman. Saya bersyukur kuliah di UGM. Di UGM saya bertemu sesama perantau Sulawesi Selatan. Orang Pinrang, Gowa, Bone, Sengkang, Enrekang hal ini menjadi penawar bagi saya. Setidaknya saya punya wadah untuk kembali bertutur (mi, pi, ji). Rasanya saya benar-benar memiliki keluarga baru di Jogja.

Selain itu, lingkungan S-2 saya dipertemukan dengan teman-teman yang sudah sangat matang baik dalam pengambilan keputusan dan kecerdasan emosional. Tidak ada lagi senggol bacok seperti S-1, tidak ada lagi lontaran kata-kata bureng (buru rangking), solkar (solo karier), atau ccm depan dosen (cari-cari muka). Semua saling support dan saling membantu. Karena kita sama-sama ingin belajar

Ketiga, rumah adalah tempat saya bisa diterima. Rumah serupa ruang di mana kita tidak perlu menyembunyikan kelemahan, kesalahan, atau kekurangan diri. Kita diterima apa adanya. Asosiasi rumah adalah tempat kita dapat menjadi diri sendiri tanpa takut di intervensi. Di kelas saya, yaitu Linguistik A 2023, berjumlah kurang lebih 28 orang. Di kelas itu saya sendiri yang berasal dari Universitas Hasanuddin, awalnya saya cukup minder dan takut tidak memiliki teman.

Akan tetapi, teman-teman saya bisa menerima saya. Meskipun saya harus membiasakan lidah saya dengan istilah (aku-kamu). Tidak apa-apa, harus dibiasakan. Di lain sisi, saya juga diajar sedikit demi sedikit beberapa bahasa Jawa-Yogyakarta oleh teman saya yang asli Yogyakarta.

Keempat, rumah kita adalah diri kita sendiri. Rumah tidak selalu berarti kembali ke alamat asal. Rumah dapat berarti keadaan ketika kamu nyaman dengan siapa dirimu sekarang, di mana pun kamu berada. Bagian yang paling penting: rumah yang kamu temukan di perantauan seringkali berisi versi dirimu yang berbeda lebih matang, lebih berani, lebih mengenal nilai yang benar-benar penting untukmu.

Merantau membuat saya meninggalkan rumah luar, hanya untuk menemukan rumah dalam diriku sendiri. Dan saat itu, aku sadar rumah bukan hanya titik di peta, tapi titik di hatiku yang kini mengenal siapa aku sebenarnya. Sebagai seorang perantau saya benar-benar berdiri di atas kaki sendiri dan mengandalkan diri sendiri dalam keadaan apa pun. Sebab saya percaya sejauh ini yang benar-benar saya miliki adalah diri saya sendiri serta yang benar-benar yang dapat saya andalkan adalah diri saya sendiri.

Konsep dan asosiasi rumah dipandang sebagai cara berpikir manusia menurut Lakoff ini benar adanya. Cara berpikir ini terefleksi dari pengalaman yang didapatkan manusia dalam hidupnya. Proses berpikir ini mereduksi beberapa ekspresi kebahasaan yang merupakan kajian dalam ilmu linguistik kognitif. Begitu pun saya memproduksi beberapa ekspresi kebahasaan tentang rumah karena pengalaman saya jauh dari keluarga.

Pengalaman merantau mengubah makna rumah. Saat jarak membentang, rumah menjadi metafora akan akar dan diri. Di tanah rantau, rumah bisa menjelma dalam bentuk sahabat yang menemani makan malam, lagu daerah yang tiba-tiba terdengar di radio, atau bahkan sekadar panggilan video singkat dengan keluarga.

Pada akhirnya saya sadar bahwa rumah terlalu sempit jika hanya dimaknai tentang tempat fisik dan keluarga saja. Jika berbicara mengenai rumah (keluarga) sebenarnya ia tidak pernah benar-benar pergi. Ia selalu bersemayam dalam hati kita. Selagi kita masih mengingatnya dan mendoakannya. Begitu pun ketika seseorang telah meninggal, ia akan tetap ada selagi kita masih mengingatnya.

Memasuki masa-masa akhir sebagai mahasiswa pascasarjana yang sebentar lagi merayakan selebrasi wisuda, rasa rindu kampung halaman tidaklah semembekas seperti dulu. Kini, saya menyibukkan meromantisasi diri dengan kesederhanaan kota ini. Saya berani mengatakan Yogyakarta telah menjelma menjadi rumah ketiga saya setelah Bantaeng dan Makassar. Saya sadar setelah ini saya harus meninggalkan rumah ini demi merajut kembali visi hidup saya selanjutnya.

Bagiku rumah yang dirindukan seorang perantau adalah rekah senyum ibu yang menyambut di pintu rumah, aroma masakan ibu yang menyeruak tatkala perut keroncongan menerjang, atau omelan Ayah karena ulah cucunya yang sering menghamburkan mainan di ruang tamu. Apa pun itu, rumah tidak lagi kumaknai sebagai bangunan fisik, tetapi sebuah perjalanan penerimaan terhadap diri sendiri.

Akhirnya, “Hanya dengan pergi seseorang akan paham betapa nikmatnya kata pulang. Sebab dengan mahalnya proses menuju pulang seseorang akan paham betapa bermaknanya sebuah rumah.”

Sehat-sehat selalu untuk orang-orang yang telah menjadi rumah untuk saya!



Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *