Selama satu bulan terakhir, saya menapaki perjalanan yang penuh dinamika—mendampingi sejumlah pemerintah kabupaten di Sulawesi Selatan dan juga Bappelitbangda Provinsi Sulsel dalam proses pengisian Indeks Inovasi Daerah atau yang lebih dikenal dengan Innovation Government Award (IGA) yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri.
Seperti halnya menulis catatan sejarah, pekerjaan ini bukan hanya soal mengisi kolom dan indikator. Ia adalah proses menyusun ulang narasi inovasi daerah: tentang keberanian mencoba hal baru, tentang niat tulus memperbaiki layanan publik, dan tentang tekad untuk menjawab tantangan zaman.
Memahami Esensi Inovasi
Pertanyaan pertama yang selalu saya ajukan kepada para inovator daerah adalah sederhana tapi mendalam: Apakah yang Anda buat benar-benar sebuah inovasi?
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2017, inovasi daerah adalah semua bentuk pembaharuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan versi Kemenpan RB dalam lingkup pelayanan publik memaknai inovasi sebagai terobosan jenis pelayanan yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat.
Dari definisi tersebut, saya mengajak mereka menggali lebih dalam: Apakah ada pembaharuan dalam program ini? Apa manfaatnya bagi masyarakat? Apakah inovasi ini mengurangi beban birokrasi atau justru menciptakan kerumitan baru? Apakah ia lahir dari kebutuhan nyata dan bisa direplikasi di tempat lain?
Pertanyaan-pertanyaan itu membantu inovator memurnikan gagasan mereka, bukan sekadar karena “ini sudah kami lakukan,” tapi karena “ini memang diperlukan dan berdampak.”
Profil Inovasi Daerah: Narasi yang Perlu Ditegaskan
Salah satu aspek penting dalam pengisian IGA adalah menyusun Profil Inovasi Daerah. Saya selalu menekankan bahwa ini bukan sekadar formulir formalitas. Profil ini adalah wajah dari inovasi. Ia adalah ringkasan cerdas tentang siapa yang menginisiasi, dari institusi mana, sejak kapan diimplementasikan, dan apa hasilnya.
Isian dalam profil inovasi memang terbagi menjadi dua bentuk: pilihan (droplist) dan naratif. Tapi dalam bagian naratif inilah inovator punya ruang untuk bercerita. Bukan asal bercerita, tetapi menyampaikan pesan secara terstruktur: latar belakang masalah, ide solusi, dasar hukum, metode pembaharuan, serta bagaimana tahapan implementasinya berjalan.
Saya selalu mengingatkan, jangan pernah meremehkan kekuatan narasi. Sebuah inovasi bisa terlihat kuat atau lemah hanya dari cara ia diceritakan.
Satuan Inovasi Daerah: 21 Indikator yang Harus Jelas
Dalam IGA 2025, masing-masing inovator diminta mengisi 21 indikator utama yang mencerminkan kesiapan dan keberlanjutan inovasi. Indikator-indikator ini mencakup banyak aspek mulai dari (a) ketersediaan regulasi pendukung (b) struktur dan kapasitas tim pelaksana (c) dukungan anggaran (d) jejaring dan aktor kolaborasi (e) pelibatan masyarakat (f) manfaat yang dirasakan dan (g) hingga output penting seperti video inovasi.
Saya tekankan bahwa ini bukan sekadar soal lengkap atau tidak, tetapi soal kejujuran dan ketepatan data. Jangan memilih parameter hanya karena terlihat menarik, tapi sesuaikan dengan kondisi lapangan. Jika belum ada regulasi resmi, jangan diklaim sudah. Jika belum ada evaluasi dampak, maka jujurlah dan sertakan rencana tindak lanjutnya.
Bukti Dukung: Jangan Biarkan Nilai Hilang karena File yang Tidak Rapi
Setelah semua narasi dan indikator selesai, pekerjaan berikutnya adalah penyediaan bukti dukung. Di sinilah saya melihat betapa pentingnya perhatian pada detail.
Saya sering menemukan file bukti dukung yang diunggah dalam kondisi miring, buram, tidak diberi nama yang jelas, atau justru tidak relevan dengan indikator yang dimaksud. Padahal, nilai dan kredibilitas inovasi bisa hilang hanya karena ketidaktertiban teknis.
Karena itu, saya menetapkan beberapa prinsip sederhana. Pertama, gunakan format file sesuai ketentuan: PDF untuk dokumen, JPEG/PNG untuk foto.
Kedua, scan dengan rapi: tidak miring, bersih, mudah dibaca.
Ketiga, beri highlight pada poin penting di dokumen.
Keempat, sesuai parameter yang dipilih: jangan asal unggah.
Kelima, susun bukti dukung seperti Anda menyusun laporan untuk orang yang baru pertama kali membaca inovasi Anda.
Keenam, tujuannya satu: membuat Tim Penilai merasa nyaman dan mudah memahami informasi yang disampaikan. Ingat, kenyamanan pembaca adalah kunci komunikasi yang efektif.
Lebih dari Sekadar Lomba
Sebagian orang mungkin memandang IGA sebagai ajang kompetisi biasa. Tapi bagi saya, ini adalah momentum refleksi. Saat kita berhenti sejenak untuk melihat apa yang sudah kita ubah, kita jadi lebih peka akan hal yang masih perlu dibenahi.
Saya menyaksikan sendiri, bagaimana pendampingan ini membuka ruang diskusi yang hidup. Di sela-sela formulir dan indikator, ada kesadaran yang tumbuh: bahwa inovasi bukan soal proyek besar, tapi tentang niat untuk memperbaiki dan keberanian untuk mencoba.
Merekam Perubahan, Menyemai Harapan
Menutup pendampingan ini, saya tak hanya melihat daftar isian yang selesai atau folder dokumen yang rapi. Saya melihat lebih dari itu-saya melihat semangat. Semangat untuk terus belajar. Semangat untuk berinovasi dari keterbatasan. Dan semangat untuk tidak diam di tengah tantangan birokrasi.
Indeks Inovasi Daerah bukanlah akhir. Ia hanyalah alat ukur. Namun, lebih dari itu, ia adalah cermin. Cermin yang memperlihatkan siapa kita sebagai pelayan publik: apakah kita bergerak atau diam. Apakah kita membiasakan pembaharuan atau terjebak dalam rutinitas yang nyaman.
Saya percaya, jika semangat inovasi terus dijaga, maka setiap daerah, sekecil apa pun, bisa menjadi pusat perubahan. Dan kita semua, para pendamping, inovator, administrator, dan pemimpin adalah bagian dari gerakan besar itu.

Konsultan/Praktisi Inovasi Pelayanan Publik. Kini, sebagai Direktur Bonthain Institute. Untuk keperluan konsultasi inovasi, bisa dihubungi pada nomor kontak: +62 852-9924-7191.


Leave a Reply