Pagi itu, 17 Agustus datang seperti lukisan lama yang digelar ulang: langit cerah, bendera merah putih berkibar anggun, anak-anak tertawa riang mengikuti lomba makan kerupuk, dan para ibu-ibu tersenyum dalam balutan busana nasional. Di udara, lagu Indonesia Raya menggema, seolah mengukuhkan bahwa kemerdekaan adalah milik semua.
Tapi di balik gegap gempita itu, ada jiwa yang tidak turut bersorak. Di bawah pohon trembesi yang tua dan teduh, duduk seorang pemuda bernama Panjul. Ia tak ikut lomba, tak bernyanyi, tak bersorak. Bukan karena ia tak mencintai negeri ini, justru karena cinta, ia memilih diam. Ia memilih melihat lebih dalam: ke arah mereka yang tak diberi ruang bicara.
Di balik kemeriahan, Panjul mendengar suara-suara yang selama ini tak diberi panggung: suara mereka yang hidup dalam sunyi karena berbeda keyakinan, pandangan, dan identitas. Malam harinya, usai menyaksikan perayaan, Panjul duduk bersama teman-teman di pos ronda kampung.
Di bawah temaram rembulan, dengan kopi pahit dan udara dingin pegunungan, ia menyampaikan pertanyaan yang tak terdengar di panggung-panggung kemerdekaan, “Merdeka itu untuk siapa?
Mendengar itu, beberapa temannya tertawa, mengira Panjul sedang bercanda. Namun, ia tak bergeming. Dengan suara pelan tetapi tegas, Panjul bertanya kembali:
Apakah kita bisa disebut merdeka, jika untuk mendirikan rumah ibadah saja, kita harus meminta tanda tangan orang-orang yang menolak keberadaan kita? Apakah kita benar-benar merdeka, jika suara kita tak pernah dihitung, hanya karena kita bukan bagian dari kelompok mayoritas?
Seorang pemuda yang duduk tak jauh dari Panjul menimpali, dengan nada getir, ia berucap, “Untuk bisa menikmati kemerdekaan di negeri ini, kita harus jadi mayoritas terlebih dahulu.”
Gelak tawa pun pecah, sebagian menganggap pertanyaan itu konyol, bahkan mustahil. Terus bagaimana kalau mereka ditakdirkan terlahir sebagai kelompok minoritas? Tanya pemuda lain, suaranya nyaris tenggelam dalam angin malam.
Panjul menjawab tenang, “Kuasa ada di tangan dominan. Mereka yang minoritas harus tunduk. Hak mereka tak lebih dari bisikan sunyi di tengah gemuruh kekuasaan.”
Obrolan malam itu berubah menjadi ruang refleksi; tentang realitas yang kerap diabaikan. Tentang mereka yang harus melawan stigma, menghadapi penolakan, dan berjuang hanya untuk mendapatkan hak-hak dasar sebagai warga negara.
Obrolan itu makin hangat, saat diskusi mereka menyoal tentang mereka yang bahkan tak memiliki ruang aman untuk bertanya sederhana: Apakah kami juga bagian dari kemerdekaan? Sebab bagi mereka, jangankan berteriak merdeka, mendirikan rumah ibadah dan beribadah di rumah sendiri saja sering kali menjadi perjuangan yang tak pasti dan melelahkan.
Keadilan? Jangan tanyakan itu dalam konteks ini. Ia kerap menjadi teks indah dalam konstitusi, tetapi di banyak sudut negeri ini, suara mayoritas lebih sering menjadi sabda yang mengalahkan hukum tertulis.
Malam itu, Panjul tiba pada sebuah kesadaran, bahwasanya penindasan tak selalu datang dari kuasa politik atau ekonomi, tetapi juga dari manusia yang belum berhasil memerdekakan diri dari ego, prasangka, dan ketakutan akan perbedaan. Bagi Panjul, kemerdekaan hanyalah ilusi, jika manusia abai terhadap hak sesama.
Menurutnya, penindasan acap kali dilakukan oleh mereka yang merasa telah merdeka, padahal masih dijajah oleh ambisi, rasa paling benar, dan ketakutan pada keberagaman. Karena itu, kemerdekaan sejati dimulai dari dalam.
Baginya, merdeka dari ego adalah syarat untuk membebaskan yang lain. Sebagaimana bunyi pesan “Selesaikan dirimu terlebih dahulu, baru menyelesaikan masalah orang lain.
Bagi Panjul, pesan tersebut bukan sekadar nasihat pribadi, melainkan fondasi sosial. Mereka yang benar-benar merdeka adalah mereka yang berani memerdekakan orang lain. Dan tentu saja itu tidak mudah, sebab sebagian orang lebih suka memilih posisi aman ketimbang harus memperjuangkan hak-hak orang lain.
Kemerdekaan bukanlah sekadar kata yang meriah dalam pidato kenegaraan, atau perayaan tahunan yang berhenti di spanduk dan sorak-sorai. Kemerdekaan sejati lahir ketika kita tak lagi takut untuk berbeda; saat suara-suara kecil tak lagi tenggelam di tengah gemuruh dominasi; dan ketika setiap manusia diperlakukan secara manusiawi, tanpa memandang latar belakangnya.
Kemerdekaan bukan milik segelintir orang atau kelompok, melainkan janji luhur yang dirayakan bersama dalam semangat kemanusiaan. Ia tidak tumbuh di tanah yang tandus oleh ego, dan mustahil hadir dalam jiwa yang belum bebas dari prasangka, rasa paling benar, atau ketakutan terhadap keberagaman.
Kemerdekaan bukan sekadar bebas, tetapi membebaskan. Bukan hanya soal menuntut hak pribadi, melainkan tentang tanggung jawab menjaga hak orang lain. Karena itulah, Panjul berpesan, “Kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari keberanian menjadi manusia yang memanusiakan.”
Pada akhirnya, makna terdalam dari merdeka tak bergantung pada satu momen atau tanggal, melainkan terpahat dalam perjalanan hidup, dalam sikap yang merangkul, dalam empati yang bertumbuh serta terwujud dalam cara kita memperlakukan sesama.
Kredit gambar: lupadaratan.com

Seorang pekerja sosial di jaringan Gusdurian. Saat ini menjabat sebagai Koordinator Wilayah Gusdurian Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampapua). Selain aktif mengoordinasikan komunitas GUSDURian di wilayah Sulampapua, juga sebagai pengurus Lakpesdam NU Sulsel.
Leave a Reply