Tom and Jerry

Ada film kartun legendaris yang sangat digemari anak-anak. Film yang membuat masa kecil kita jauh lebih ceria. Film ini selalu mengundang gelak tawa penikmatnya. Orang-orang akan terpingkal-pingkal melihat aksi Tom dan Jerry, dengan segala macam pertengkaran yang tak ada habisnya.

Tom and Jerry berkisah tentang seekor kucing dan tikus yang selalu bertikai, meski sesekali terlihat bersahabat. Segala macam cara dan upaya dilakukan si Kucing Tom untuk menangkap Jerry, tapi kandas melulu dan berakhir sial bagi Tom. Usut punya usut, Jerry adalah tikus yang amat lihai dan licin, punya seribu macam trik dan tipu daya mengelabui Tom. Macam tikus-tikus negeri ini.

Film ini lucunya bukan main, persis negeri kita yang memang lagi lucu-lucunya. Menonton berita di TV, kadang menjadi pilihan hiburan terbaik saat ini. Dramanya natural dibanding film Indosiar. Lawakannya lucu-lucu dan lebih segar daripada Stand Up Comedy.

Seyogianya Gus Dur mendambakan negeri kita punya selera humor yang tinggi. Katanya, “Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor pikiran kita jadi sehat.” Humor yang diidamkan Gus Dur, pastilah humor yang sehat dan bermakna. Bukan humornya para pembatak negeri ini.

Tom (Lembong) dan Jerry

Film Tom and Jerry adalah representasi paling modis dari elegi mantan Menteri Perdagangan RI, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong. Tom dalam film Tom and Jerry, acapkali dianggap bersalah oleh si Tuan, karena membuat isi rumah berantakan saat mengejar Jerry. Padahal Tom hanya menjalankan perintah sang Tuan. Tetapi mungkin si Tuan melihatnya sebagai bentuk ketidaksetiaan atau perlawanan. Alhasil, Tom kerapkali berakhir di kandang anjing bernama Spike untuk dihakimi. Sedangkan Jerry si tikus keluar sebagai pemenang dan menikmatinya sebagai tontonan di bilik persembunyiannya.

Apa yang dialami Tom si kucing, setali tiga uang dengan yang menimpa Tom Lembong. Ia berakhir di meja hijau untuk dihakimi. Persidangan dan vonis Tom adalah wujud kejenakaan lembaga hukum, agar kita melupakan sejenak kesulitan hidup – mungkin kasus mega korupsi lainnya. Sekaligus sebentuk peringatan bagi siapa saja yang hendak berhadap-hadapan dengan penguasa.

Tom Lembong kini akan dibui selama 4 tahun 6 bulan dan denda ratusan juta. Walau Hakim yang mulia—yang di tangannya keadilan dititipkan, di pundaknya muruah hukum bertengger —menerangkan dengan sangat jelas, Tom Lembong tak menikmati hasil korupsi sepeser pun. Terbukti tak ada niat jahat yang dilakukannya. Tetapi tetap dinyatakan bersalah, karena dianggap merugikan negara dalam kasus importasi gula.

Tom disinyalir lebih memihak—jangan dibaca Anis Baswedan—ekonomi kapitalis, daripada prinsip demokrasi ekonomi yang dimandatkan negara. Secara administratif, Tom dituding bersalah karena menerbitkan surat izin impor gula kristal merah. Waima Tom mengklaimnya sebagai manuver atas intruksi presiden guna menstabilkan harga gula.

Terlepas dari apakah Tom Lembong menikmati hasil korupsi atau tidak, ia memang membuat geram beberapa orang yang tak kebagian jatah. Musababnya ia lebih memilih koperasi sebagai distributor gula daripada BUMN terkait. Ditambah aksi politiknya yang berseberangan kala itu.

Tom Lembong tampaknya lupa petitih Einsten, bahwa politik itu lebih rumit dari Fisika. Kadang jauh lebih rumit dari wanita manapun. Goerge Orwell dalam Politics and the English Language, pun jauh hari telah bertitah perihal bahayanya politik. Sebab bahasa politik selalu dikemas sedemikian rupa, agar tampak elok dan terdengar sebagai sebuah kejujuran. Bahkan bahasa politik bisa menjadikan pembunuhan begitu dihormati.

Memaknai Ulang Keadilan

Peristiwa Tom Lembong bukan sekadar peristiwa hukum biasa. Bukan tentang berapa lama vonis yang diterimanya, tapi pantaskah ia menikmati getahnya, saat orang lain yang menikmati buahnya? Kini Tom Lembong bakal menjadikan penjara sebagai prasastinya, sedang Jerry—dalangnya—masih sibuk main mata membangun dinastinya. Lalu Jerry-Jerry lain dengan korupsi yang lebih besar, makin masyuk menggasak instansi-instansinya.

Dalam buku Manusia Istana, anggitan Radar Panca Dahana, ada puisi yang menawan, sekaligus memasygulkan. Keserakahan dan korupsi jadi urat nadi negeri ini. Kita adalah darahnya saudarasaudara! Keparat dan bajingan yang melulu bising, mengisi kantor dan rekening. Lalu kita, jadi nasabahnya, saudara! Korupsi ini laiknya pesugihan yang selalu minta tumbal dan sama-sama gaib. Prosesnya saja yang berbeda. Tujuannya sama-sama mau kaya. Tumbalnya adalah rakyat semuanya.

Parodi Tom Lembong dan “Jerry”, satu lelucon hukum yang membuat kita mempertanyakan kembali makna keadilan. Adakah keadilan di ruang-ruang sidang atau hanya sekadar simbol semata? Keadilan apakah yang membuat kita layak menghakimi Tom padahal tak terbukti menikmati sepeser pun? Barangkali betul tragedi ini sebentuk ultimatun kepada siapa pun yang hendak berseberangan dengan kekuasaan. Cara para pasak kunci menebarkan benih-benih ketakutan, yang kelak bakal mengakar dalam hati setiap rakyat. Sehingga katakutan itu menjadi racun dalam setiap kata-kata perlawanan.

Elegi Tom Lembong pun menggambarkan kepada kita semua, para rakyat, bagaimana muruah keadilan di negeri ini diberangus, hingga ke akar-akarnya. Keadilan telah ditumbangkan pada ruang di mana seharusnya ia tegak. Bukan secara sembunyi-sembunyi, tapi secara terang-terangan keadilan itu dilucuti martabatnya.

Buya Hamka sang empu Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, mengibaratkan adil sebagai sebuah timbangan yang sama berat. Berani menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar. Mengembalikan hak kepada yang empunya dan tidak berlaku zalim di atasnya.

Pada vonis Tom Lembong, keadilan kembali absen, sebagaimana biasanya. Putusan hakim dinilai janggal dan keliru, pun terlihat amat politis. Padahal meja hijau itu bukanlah meja main bola ping pong. Pukul sana, pukul sini seenak jidat para pemain.

Ruang sidang adalah tempat hukum ditegakkan seadil-adilnya berdasar konstitusi. Tanpa melibatkan tafsir personal yang buntutnya keberpihakan, hingga pasal-pasalnya pun dipaksakan. Apatah lagi putusannya adalah pesanan yang sudah ditentukan, bahkan sebelum sidang dilaksanakan.

Hukum dan kekuasaan telah menikah siri. Maharnya rupiah dan posisi. Itulah mengapa di atas meja hijau tempat berlangsungnya resepsi, keadilan tak disajikan lagi. Kasus Tom Lembong dan banyak kasus lain yang serupa, mendefinisikan ulang keadilan sebagai sesuatu yang bertuan. Palu sidang tak lagi bertuah menegakkan hukum negeri ini yang kian luruh.

Masih membekas dalam benak kita, betapa menggelitiknya romantika MK dan putusan soal batas umur wakil presiden, yang akhir ceritanya lebih plot twist dari kisah manapun. Atawa serial barunya yang lebih serius, UU pemisahan pemilu. Kita berharap saja, ini bukan drama bergenre honor yang sarat percintaan dalam alurnya.

Olehnya, lembaga kehakiman harus dibenahi dan dievaluasi secara tegas, agar hukum tak melulu jadi mainan Jerry-Jerry berdasi. Toh, lembaga ini juga dihuni manusia-manusia yang kerap lupa dan salah. Manusia yang gampang teperdaya muslihat manusia lainnya, pun gampang berubah berdasar kepentingan di baliknya. Mana yang menguntungkan dan mana yang bikin buntung. Walakhir, Iwan Fals ingin menyapa:

Kalau cinta sudah dibuang.

Jangan harap keadilan akan datang.

Kesedihan hanya tontonan, bagi mereka yang diperbudak jabatan…..

Kami muak dengan ketidakpastian.

Dan keserakahan

Di jalanan kami sandarkan cita cita.

Sebab di rumah tak adaLagi yang bisa dipercaya.

Sumber gambar: Antarafoto/Bayu Pratama S


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *