Sahabat inovator, saya sedih dan Anda mungkin lebih sedih. Tapi, tentu kita tak akan membiarkan satu hasil menentukan seluruh perjalanan kita.
Tidak lolos bukanlah akhir, tapi tanda bahwa proses belajar sedang berlangsung. Bahkan ide-ide besar dunia pun pernah ditolak, diremehkan, bahkan dianggap mustahil, hingga akhirnya dunia mengakuinya.
Kegagalan dalam kompetisi bukan berarti ide kita buruk, bisa jadi hanya belum dikemas optimal, belum meyakinkan juri, atau belum pada waktunya. Tapi satu hal yang pasti: kita sudah melangkah lebih jauh dari banyak orang yang bahkan belum berani mencoba.
Ingat, tujuan utama berinovasi bukan untuk menang lomba, tapi untuk memperbaiki layanan dan menyentuh hidup masyarakat. Itulah kemenangan sejati. Jangan berhenti di kompetisi, jadikan ini proses pembelajaran menuju inovasi yang lebih berdampak.
Kini saatnya evaluasi tanpa menyalahkan, belajar tanpa berhenti, dan bangkit tanpa ragu. Perkuat tim, perbaiki narasi, sempurnakan implementasi. Karena tim yang hebat bukan yang tak pernah gagal, melainkan yang selalu kembali lebih kuat.
Kita bukan sekadar peserta lomba. Kita adalah agen perubahan.
Tahun ini kita belajar. Tahun depan kita menang.
Tetap Semangat. Tetap Optimis
Hormatku,
“ARR”
Rangkaian pesan saya kirimkan ke semua teman-teman Inovator dan Timnya yang telah berjuang di Kompetisi Inovasi Nasional. Sebuah pesan berantai yang semoga dapat menjadi penguat dan pembangkit semangat untuk berjuang lebih baik lagi ke depan.
“Inovasi sejati tidak pernah gagal, ia hanya belajar lebih cepat dari yang lain.”
Di sudut ruang kerja yang mulai lengang, sebait pengumuman terpampang di layar monitor. Di sana, tercantum nama-nama inovasi yang berhasil melaju ke tahap selanjutnya Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) Tahun 2025. Nama-nama yang ditunggu dengan harap dan debar selama berminggu-minggu. Tapi satu nama tidak ada di sana. Nama yang telah menjadi kebanggaan kecil di tengah lelah: inovasi dari pemerintah daerah kami.
Hening menyelimuti ruangan. Tak ada suara selain embusan napas yang berat dan pandangan kosong ke layar ponsel. Dalam sekejap, gemuruh semangat yang dulu menggema dalam ruang-ruang diskusi, kini seperti direnggut oleh sunyi. Aku memandangi mereka satu per satu teman-teman seperjuangan yang telah mencurahkan ide, waktu, dan tenaga. Mata-mata yang tadi bersinar, kini redup seperti pelita yang kehabisan minyak.
Namun, ini bukan awalnya.
Beberapa bulan lalu, ruangan yang sama itu pernah menjadi saksi sebuah loncatan harapan. Saat itu, Pejabat Daerah datang dengan kabar gembira. Kementerian PAN-RB membuka lagi pintu kompetisi nasional, tempat di mana inovasi-inovasi terbaik negeri bisa bersuara dan bersinar. Ia berkata, “Ini saatnya kita keluar dari bayang-bayang. Saatnya tunjukkan bahwa kita bisa berinovasi bukan karena anggaran besar, tapi karena niat besar.”
Itu seperti percikan api yang menyambar jerami kering. Teman-teman langsung terpacu. Setiap bagian dari OPD mulai menggali kembali program-program unggulan yang pernah dikerjakan. Malam-malam panjang dilalui dengan diskusi daring, tumpukan dokumen didalami ulang, dan kisah sukses pelayanan publik dikemas ulang menjadi narasi strategis.
Mereka tahu, menembus KIPP bukan perkara mudah. Tapi mereka juga tahu, inovasi yang dibawa lahir dari kenyataan. Bukan sekadar konsep, tapi buah dari kerja lapangan yang penuh peluh. Mereka punya program tentang penanganan stunting yang melibatkan tokoh masyarakat, guru, dan bidan. Mereka punya program layanan cepat bagi warga terpencil, yang bahkan akses jalannya belum dilapisi aspal.
Mereka belajar menyusun proposal seperti belajar menulis puisi. Setiap kata harus punya makna. Setiap data harus punya nyawa. Mereka saling menyemangati. Belajar mendengar, belajar menulis ulang, bahkan belajar menerima kritik yang menusuk. Di balik itu semua, ada semangat yang satu: ingin membawa daerah mereka diperhitungkan.
Ketika pengumuman lolos administrasi keluar, mereka bersorak. Ruangan yang biasanya hanya diisi rutinitas kerja, berubah jadi ruang perayaan kecil. Mereka merasa diakui. Meski hanya tahap awal, tapi mereka tahu betul, ini adalah validasi pertama atas kerja keras mereka.
Lalu, menunggu. Hari demi hari, tanpa kabar. Tapi itu tidak membuat mereka diam. Mereka mulai menyiapkan kemungkinan ke tahap berikutnya. Mulailah membuat simulasi pitching. Membuat infografik, video singkat, bahkan belajar cara menjawab pertanyaan juri dari pelatihan daring. Mereka membayangkan berdiri di depan para evaluator nasional dan mengatakan, “Inilah inovasi kami. Inilah bukti kerja nyata dari daerah kecil seperti kami.”
Namun, pengumuman hari ini menyudahi semua bayangan itu. “Kita gagal,” gumam Umroh, pegawai muda dari Puskesmas yang ikut dalam tim penulisan proposal.
Aku melihatnya menatap layar, lalu menatapku. Tak ada air mata, hanya tatapan kecewa yang dalam. Bukan karena ambisi, tapi karena harapan yang telah dirajut bersama.
Kepala Puskesmas, Pak Imran, menarik napas panjang. Lalu ia berdiri. “Teman-teman…,” katanya lirih tapi tegas, “Hari ini, kita tidak lolos. Tapi hari ini juga saya ingin katakan: ini bukan akhir.”
Semua menoleh. “Kita sedang membangun sesuatu yang lebih besar dari sekadar ikut lomba,” lanjutnya. “Kita sedang belajar membiasakan budaya inovasi. Dan semua proses yang kita lalui, brainstorming, menulis, mengemas data, berdebat, itu bagian dari transformasi. Hari ini kita kalah, tapi kita tidak berhenti.”
Suasana mulai menghangat. Nikmah mulai angkat suara, “Mungkin memang belum rezeki. Tapi sejujurnya, saya pribadi merasa tumbuh selama proses ini. Saya jadi paham cara berpikir sistemik. Dulu, saya hanya kerja sesuai SOP. Sekarang saya mulai berpikir: bisa nggak ini dibuat lebih efektif?”
Tawa kecil terdengar. Staf lain pun ikut menimpali, “Dulu saya cuma bisa buat laporan kegiatan. Sekarang, saya bisa bedakan mana data untuk administrasi, mana data untuk advokasi. Itu baru satu langkah kecil, tapi saya yakin kita semua sudah bergerak ke arah yang benar.”
Teman-teman lain mulai bicara. Semangat yang tadinya redup, mulai menyala kembali, pelan-pelan. Seperti bara yang ditiup angin.
Pak Imran lalu mengangkat secarik kertas kosong. “Tahun depan, kita ikut lagi. Tapi kali ini, kita mulai dari sekarang. Bukan ketika pengumuman dibuka. Kita dokumentasikan inovasi kita sejak dini. Kita pelajari inovasi dari daerah lain. Kita. Kita buat forum belajar. Kita bentuk taskforce yang benar-benar siap tempur.”
Tahun depan. Kalimat itu seperti janji. Tapi bukan janji yang diucapkan sambil menatap langit, melainkan janji yang ditulis di atas tanah, di mana kita bisa melangkah dan menanam kembali.
Beberapa hari setelah itu, ruangan rapat kembali diisi semangat. Kali ini, bukan untuk menyiapkan lomba. Tapi untuk menyiapkan refleksi. Mereka mulai mendokumentasikan proses yang telah dilewati, apa yang kurang, apa yang berhasil. Mereka membuat catatan belajar kolektif, bahkan mengundang inspirator dan inovator yang pernah juara KIPP untuk berbagi pengalaman.
Kenangan lama menyeruak, inovasi mereka termasuk dalam 300 besar dari ribuan proposal. Tidak masuk Top 5 terbaik, memang. Tapi cukup jadi pengingat: bahwa mereka berada di jalur yang tepat, meski belum di garis akhir.
Kini, ketika mereka mengenang semuanya, mereka sadar: kalah di kompetisi bukan berarti kalah dalam perjalanan. Justru, dalam kegagalan itulah mereka menemukan hal yang lebih penting-ketangguhan.
Inovasi bukan hanya soal ide cemerlang, tapi tentang keberanian mencoba, kegigihan memperbaiki, dan kesabaran menghadapi penolakan. Inovasi adalah nyala yang harus dijaga, bukan untuk lomba semata, tapi untuk perubahan yang nyata. Dan nyala itu kini menyala lebih terang dari sebelumnya.

Konsultan/Praktisi Inovasi Pelayanan Publik. Kini, sebagai Direktur Bonthain Institute. Untuk keperluan konsultasi inovasi, bisa dihubungi pada nomor kontak: +62 852-9924-7191.


Leave a Reply