Saya sering bertanya pada diri sendiri. Seberapa jauh perasaan harus diseret agar seseorang bisa menjadi manusia? Seberapa panjang jalan menuju kemanusiaan yang harus kita tapaki dalam luka yang dibentangkan sejarah, saban waktu, tanpa jeda?
Nama Palestina hadir bukan sekadar sebagai nama tempat, tetapi sebagai luka purba yang belum juga sembuh, bahkan ketika waktu mencoba menyembunyikannya di sela-sela berita dan meja-meja diplomasi.
Setiap kali membuka linimasa, kita berjumpa wajah-wajah anak kecil yang memegang batu dengan tangan mungil mereka, gedung-gedung runtuh dengan asap mengepul, dan perempuan-perempuan yang meratap di antara puing. Mereka memang tidak berbicara. Tetapi tubuh mereka yang luka, mata mereka yang basah, dan tanah yang mereka pijak telah bercerita banyak hal. Mereka menjadi pengingat bahwa penderitaan bukanlah cerita usang yang selesai diceritakan. Mereka adalah nyawa yang terus menanti pembelaan. Kita menyebut mereka Palestina. Tetapi, cukupkah hanya dengan menyebut?
Pada dasarnya, membela Palestina bukan semata keberpihakan kita terhadap suatu bangsa atau agama, tetapi justru lebih dalam dari itu. Membela Palestina adalah afirmasi terhadap martabat manusia itu sendiri. Kita tidak sedang membela geopolitik atau sekadar wilayah terjajah, tetapi sedang mempertahankan nilai paling asasi dari keberadaan kita, harga diri manusia, dignity, bahkan sebagai titik mula segala keberadaban.
Dalam diskusi publik bertajuk “Palestina dan Kita: Refleksi 20 Mei sebagai Seruan Keadilan Global” yang diselenggarakan oleh Free Palestine Network Pokja Makassar, Kamis, 29 Mei 2025 di Makassar, Furqan AMC – salah satu narasumber yang sekaligus Sekretaris Jenderal FPN, menggambarkan bagaimana Palestina telah menjadi medan pertempuran dari berbagai narasi besar abad ke-20, seperti kolonialisme, nasionalisme, teologi, hingga kapitalisme militer. Sebuah simpul sejarah di mana banyak kepentingan bertubrukan dan saling menegasikan.
Namun bagi saya, lebih dari sekadar pertempuran narasi-narasi besar itu, Palestina juga mencerminkan apa yang pernah disebut oleh Hannah Arendt (1906-1975) sebagai banality of evil. Suatu keburukan yang dibuat tampak biasa, diterima begitu saja, bahkan terasa masuk akal, karena dijalankan oleh sistem yang bekerja tanpa nurani. Dalam sistem semacam ini, kejahatan bisa tumbuh bukan karena kebencian yang membara, tetapi lebih karena ketidakpedulian yang membeku.
Ketika pemerintah Israel menyebut pemboman terhadap anak-anak dan warga sipil sebagai “upaya mempertahankan diri”, sebenarnya kita sedang menyaksikan bagaimana bahasa dipakai untuk merapikan kekejaman. Arendt menyebut bahwa keburukan bisa tumbuh subur dalam masyarakat yang kehilangan kemampuan berpikir kritis, juga ketika sistem mengaburkan batas antara kekuasaan dan nurani. Dalam situasi seperti ini, yang menjadi korban adalah manusia sebagai makhluk berpikir dan merasakan.
Martin Heidegger (1889-1976) pernah menyebut manusia sebagai Dasein, yaitu makhluk yang hadir di dunia dengan kesadaran akan keberadaannya. Namun di Palestina, kesadaran untuk hadir, untuk menjadi, telah lama dilucuti secara sistematis. Mereka tidak dipandang sebagai subjek sejarah, melainkan objek statistik. Mereka dijumlahkan sebagai “kerugian sipil”, disebut “kolateral”, dan direduksi menjadi angka. Maka membela Palestina berarti membela hak seseorang untuk hadir di dunia ini sebagai manusia, dan bukan sekadar eksistensi fisik, tetapi lebih sebagai eksistensi yang bermartabat.
Begitu juga Jean-Paul Sartre (1905-1980). Ia pernah berkata bahwa manusia adalah proyek terbuka – kita adalah apa yang kita pilih untuk kita lakukan. Maka, diam terhadap penindasan adalah sebuah pilihan. Dan ketika kita diam, ketika kita pura-pura tidak melihat, kita sebenarnya sedang menyetujui kekerasan itu, secara diam-diam.
Bahkan Emmanuel Levinas (1906-1995), seorang filsuf Yahudi yang selamat dari Holocaust mengingatkan kita bahwa, sebuah etika atau moralitas, lahir bukan dari hukum atau logika, tetapi dari wajah orang lain yang hadir di hadapan kita. Bagi Levinas, wajah itu bukan sekadar bentuk, tetapi lebih sebagai seruan. Seruan yang tak terucap, namun begitu menggetarkan nurani: “Jangan bunuh aku.”
Wajah-wajah anak-anak Gaza yang tertimbun reruntuhan bukan hanya kisah memilukan tetapi perintah etis. Setiap mata yang terbuka menatap wajah-wajah itu, seharusnya bisa mendengar perintah sunyi itu. Tetapi mungkin dunia sudah terlanjur kehilangan pendengaran nuraninya. Banyak orang yang memilih berpaling, mengalihkan perhatian, bahkan menunggu narasi yang lebih netral. Namun membela Palestina bukan tentang netralitas, melainkan tentang keberpihakan yang muncul dari keberanian melihat wajah orang lain sebagai cermin jiwa kita sendiri.
Kita memang hidup di zaman yang membingungkan. Ketika bahasa yang dulunya menjadi alat untuk memahami kini justru dipakai untuk menyamarkan. George Orwell (1903-1950) sudah lama memperingatkan hal ini dalam Politics and the English Language. Kata-kata dipilih bukan untuk menerangkan, tetapi untuk mengaburkan. Bukan untuk menyampaikan makna, tetapi lebih untuk membingkai ulang realitas agar tampak normal. Maka tidak heran jika pembunuhan di Palestina disebut “operasi militer”, dan pendudukan oleh Israel disebut “pertahanan.”
Ketika Israel menggempur Gaza dan menyebutnya sebagai “upaya menjaga keamanan”, yang sebenarnya terjadi adalah pembenaran kekerasan lewat retorika. Kita sedang menyaksikan bagaimana kekuasaan memakai bahasa untuk membius nurani. Maka membela Palestina juga berarti membela kejujuran kata, menjaga agar makna tetap menjadi jembatan etika, dan bukan tirai kekuasaan.
Namun membela Palestina, bagi saya, bukan hanya perkara moral dan politik. Ia juga adalah jalan spiritual. Dalam ajaran Islam, solidaritas bukan sekadar empati emosional, melainkan bentuk iman yang berakar pada tauhid sosial. Ali Syariati (1993-1977) menyebut bahwa umat bukanlah kumpulan individu, tetapi komunitas moral yang saling memikul beban sejarah dan luka. Itu berarti, membela Palestina lebih sebagai ekspresi spiritual dari iman yang tidak membiarkan yang tertindas sendirian dalam penderitaannya.
Perlawanan warga Palestina bukan hanya gerakan politik, tetapi juga zikir dalam bentuknya yang paling tragis. Ketika seorang ayah menatap jenazah anaknya tanpa air mata, ia sedang menegaskan keberaniannya untuk tetap menjadi manusia. Dalam perspektif sufistik, luka yang dialami Palestina bukan hanya penderitaan duniawi, tetapi lebih dalam, itu adalah bentuk pengalaman mistik tersendiri. Sebuah jalan pengosongan diri, menuju penyatuan dengan sumber keadilan Ilahi.
Arus kehidupan modern sering kali memang mengalihkan perhatian kita dari hal-hal penting ke hal-hal remeh. Perlawanan juga bisa berarti ketekunan menjaga perhatian kita agar tetap tertuju ke luka yang belum selesai. Michel Foucault (1926-1984) menyebut bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja lewat negara, tetapi juga melalui wacana, bahasa, bahkan kebiasaan harian. Maka kita pun bisa melawan, bukan dengan senjata, tetapi dengan kesaksian, tulisan, ajakan, bahkan pilihan-pilihan kecil sehari-hari yang memihak pada kehidupan.
Memang sering kali kita merasa tak berdaya. Apa yang bisa dilakukan dari kejauhan seperti ini? Namun, seperti yang diyakini Foucault, kekuasaan bisa diretas dari titik-titik terkecil. Kita bisa memilih untuk tidak membeli produk yang mendanai penjajahan. Kita bisa memilih menulis dengan jujur, menyuarakan dengan rendah hati, atau mengedukasi dengan sabar. Karena dalam setiap suara yang berani menyebut kebenaran, dalam setiap narasi yang tidak memutihkan kekerasan, kita telah turut serta menjaga nurani dunia.
Saya percaya bahwa, luka yang dialami Palestina adalah luka kita juga. Luka yang mesti kita rawat sebagai ingatan. Karena hanya dengan mengingat, kita bisa bertindak. Frantz Fanon (1925-1961) dalam kisah perlawanan Aljazair, menyebut bahwa kekerasan kolonial tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga jiwa. Palestina telah terluka begitu dalam. Namun, mereka tetap berdiri, masih melawan, bahkan dengan apa yang tersisa dari tanah dan nama.
Dan kita, yang masih ingin disebut manusia, semestinya memang tidak tinggal diam. Kita adalah bagian dari dunia ini, dan jika dunia ini menyimpan luka bernama Palestina, maka bagian dari jiwa kita mestinya ikut merasakannya. Seperti kata Jalaluddin Rumi (1207-1273), “Luka adalah tempat cahaya masuk ke dalam dirimu.”
Maka biarlah luka Palestina menjadi cahaya yang menerangi perjalanan kita menuju kemanusiaan. Biarlah penderitaan mereka menjadi cermin bagi nurani kita, menjadi batu uji dari nilai-nilai yang selama ini kita banggakan, seperti kasih, keadilan, dan keberanian. Karena sejatinya, membela Palestina bukanlah urusan bangsa Arab, bukan juga urusan Muslim semata. Namun, ia adalah urusan siapa pun yang masih percaya bahwa dunia ini layak dihuni oleh cinta kasih.

Lahir di Enrekang, 5 Juli 1991. Mukim di Jl. Karunrung Raya 1 Makassar. Punya hobi traveling dan menonton.
Sederet pengalaman organisasi: IPM, JIMM, ICMI, Rumah Kajian Filsafat, dan Komunitas Literasi Perempuan.
Aktivitas mutakhir selaku pegiat literasi dan filsafat. Berprofesi sebagai penulis dan dosen.
Leave a Reply